Kali ini kita akan mencoba bernalar dalam diskusi. Berbagi,
menginspirasi untuk sebuah kata bernama rejeki. Dalam ajaran suci sudah utuh
diyakini, bersamaan dengan jodoh dan pati, poin ini sudah digariskan Tuhan
secara pasti.
“Tak
akan ada yang bisa mendekatkan ketika jauh dan tak akan ada yang menjauhkan
ketika dekat, kecuali Tuhan”
Sebutlah tokoh utama kita dalam cerita ini bernama Bagus
Burhan. Kalau ngaku jadi orang Surakata
(Solo dan sekitarnya) tampak tak akan memicingkan mata dan melipatkan dahi buat
menganalisa dan menebak. Sosok inilah yang dikenal sebagai pujangga besar ‘terakhir’
di tanah Jawa. Keren bingits kan ya? Gak kebayang se – wah apa rangkaian prosa dan katanya.
Oke mari kita lanjutkan cerita. Mas Bagus Burhan ini karena kesaktiannya pada
beragam ilmu, ia dikenal sebagai juru ramal ulung di bumi Surakarta. Hingga
didaulatlah ia menjadi seorang pujangga Kasunanan Surakarta. Biar gak penasaran sapalah ia dengan nama
aslinya, Rangga Warsita.
Sang Raja, Pakubuwana VII suatu hari Rangga Warsita untuk
keliling desa, negeri tempatnya bertitah.
“Ngga”, sapaan gaul yang biasa digunakan sang raja pada
Rangga Warsita. “Temenin keliling desa melihat aktivitas rakyatku yuk”, lanjut
sang raja.
“Oh, nggih raja, sendiko dawuh gusti”, sambut Rangga
dengan antusiasnya. Rangga juga telah dikenal sebagai sahabat setia sang raja
karena ramalan-ramalannya.
Hingga berada di tengah pematang sawah. Sang raja berucap
“Ngga, kira-kira pak tani di seberang itu rejekinya jauh apa deket?” pinta raja
agar Rangga meramal.
“Wah masih jauh gusti”, jawab Rangga dengan santunnya.
“Oh, ya sudah kalau gitu saya mau mendekatkan rejekinya.
Ambil itu”, tunjuk sang raja pada buah semangka di badan pematang sawah yang
tak jauh dari tempat mereka berada.
Semangka dibelah sang raja menjadi dua bagian,
dikosongkan bagian dalamnya dan digantikan isinya dengan seraup perhiasan emas.
Bismillah, semangka terwujud bulatan
utuh seperti semula. Sang raja dan Rangga yang dari awal berpenampilan layaknya
orang biasa, kawula yang papa, mendekati pak tani yang sibuk dengan ayunan
cangkulnya.
“Pak ini ada semangka”, kalimat ringan diucap Rangga
sembari memberikannya.
“Oh, nggih mas, matur suwun nggih”, balas pak tani dengan
nada datarnya. Datar, karena dibalik ayunan cangkul yang ditebaskan di lahan
kosong pesawahan hanya untuk mengusir segala kejenuhan. Jenuh dengan omelan
istri, jengah dengan keluhan biaya anak sekolah. Tidak ada penghasilan, tidak
ada uang untuk mencukupi kehidupan. Mencangkul untuk melepaskan beban,
menghindar suara sumbang dan segala keluhan.
“Pak, kerjalah! Kerja! Kalau kayak gini terus kita makan
apa? Beras gak ada, anak-anak mau dikasih uang jajan apa?”, kalimat itu
berlanjut memenuhi pikiran pak tani.
Mendapat semangka dirasa sebagai suatu rejeki. Dihampirikannya
langkah menuju rumah tempat dimana barang sembako diperjual belikan di sana,
kelontong.
“Bu, tuker semangka dengan berasnya bisa?”, tanya pak
tani dengan ragu.
“Oh iya kang, bisa”, balas sang ibu penjaga kelontong.
#Tsaaah, selesai sudah kronologis perolehan rejeki anak
adam kali ini. Semangka yang penuh dengan emas perhiasan raib terganti dengan
beras. Namun lihatlah, apa pak tani merasa rugi? Tentu tidak, karena ia
mendapatkan beras yang dianggap sebagai rejekinya hari ini. Ia tidak tahu kalau
dalam semangka ada emas yang dihadiahkan padanya dari sang raja. Oh Tuhan,
tepat semua ada masa, ada cerita dan ada rejekinya.
Hanya kuasaNya yang bisa mendekatkan ketika jauh, hanya
ada kehendakNya yang menjauhkan ketika dekat.
Sendiko dawuhlah dalam menerima ketetapan. Seperti
ringannya sang Rangga ketika diajak sang raja berkelana. Iringi dengan
rangkaian ikhtiar berkesungguhan. Hari ini kita berusaha dan esok Tuhan akan
menjawabnya...
Ketemu
di edisi selanjutnya yaaaa :)
Sragen, 3 April 2014
Erna Dwi Susanti
Nice...inspiration...
BalasHapus