Culas,
curang, egois dan ingin cari muka. Itulah labelan sifat yang aku identikkan
pada makanan yang satu ini. Terlepas dari favorit setengah mati dengannya, aku
tidak sependapat dengan pemaknaannya.
Redaksi
bahasa yang selalu aku gunakan ke Mbak yang
ada di kantin, “Mbak telor ceplok setengah mateng ya”.
Aku
menggunakan paduan kata telor - ceplok di sana, bukan telor mata sapi.
Simpel alasan yang aku miliki, dan
mungkin orang lain menyebut aku lebai dalam melabeli. Abaikan, yang jelas dari
hal terkecil seperti inilah kita bisa memahami bagaimana orang berkarakter dan
bagaimana orang mempelajari kata ‘menghargai’.
“Siapa yang punya telor siapa yang punya
nama”
Itulah
yang aku junjung tinggi redaksi kalimat tanyanya. Ayam adalah pemilik syah dari
telor tersebut. Bukan harta gono gini yang kita perebutkan di sini, tapi wujud
penghargaan pada sang ayam. Eyang Maslow menempatkan eksistensi diri sebagai
kebutuhan tertinggi dari seorang individu maka ayam pun juga butuh dan punya
hak untuk itu bukan? Ayam yang bertelur maka ayam yang harusnya memiliki hak
atas telurnya, bukan sapi yang berhak menerima penghargaan itu.
Dalam
tulisan ini, kita bicara mental. Tak dielakkan, begitu banyak orang yang main
serobot kesempatan yang sebenarnya bukan haknya, yang numpang eksist dengan
menjajah pihak lain, yang booming dengan
menenggelamkan orang lain. Mencari nama di balik kerja orang lain.
Tak
ada niat untuk sebut nama, mari bersama masing-masing dari kita introspeksi diri
saja. Seperti halnya ayam yang pasti merasa sakit hati dan tertindas dengan
alih hak miliki atas telor, mereka, sauadara, rekan atau teman kita juga merasa
hal yang senada jika diperlakukan demikian. Hapuskan redaksi kata, telor mata
sapi. Hilangkan mental serobot sana sini untuk ke-eksist-an diri! Kalau mau
punya nama, usaha dong.
Erna Dwi Susanti – Mojo Mulyo, Sragen 17
April 2014 – 05:33
0 komentar:
Posting Komentar