Erna Dwi Susanti Personal Site

Home » » Mental Telor Mata Sapi

Mental Telor Mata Sapi




Culas, curang, egois dan ingin cari muka. Itulah labelan sifat yang aku identikkan pada makanan yang satu ini. Terlepas dari favorit setengah mati dengannya, aku tidak sependapat dengan pemaknaannya. 

Redaksi bahasa yang selalu aku gunakan ke Mbak yang ada di kantin, “Mbak telor ceplok setengah mateng ya”.

Aku menggunakan paduan kata telor -  ceplok di sana, bukan telor mata sapi. Simpel alasan yang aku miliki, dan mungkin orang lain menyebut aku lebai dalam melabeli. Abaikan, yang jelas dari hal terkecil seperti inilah kita bisa memahami bagaimana orang berkarakter dan bagaimana orang mempelajari kata ‘menghargai’.

“Siapa yang punya telor siapa yang punya nama”

Itulah yang aku junjung tinggi redaksi kalimat tanyanya. Ayam adalah pemilik syah dari telor tersebut. Bukan harta gono gini yang kita perebutkan di sini, tapi wujud penghargaan pada sang ayam. Eyang Maslow menempatkan eksistensi diri sebagai kebutuhan tertinggi dari seorang individu maka ayam pun juga butuh dan punya hak untuk itu bukan? Ayam yang bertelur maka ayam yang harusnya memiliki hak atas telurnya, bukan sapi yang berhak menerima penghargaan itu.

Dalam tulisan ini, kita bicara mental. Tak dielakkan, begitu banyak orang yang main serobot kesempatan yang sebenarnya bukan haknya, yang numpang eksist dengan menjajah pihak lain, yang booming dengan menenggelamkan orang lain. Mencari nama di balik kerja orang lain.

Tak ada niat untuk sebut nama, mari bersama masing-masing dari kita introspeksi diri saja. Seperti halnya ayam yang pasti merasa sakit hati dan tertindas dengan alih hak miliki atas telor, mereka, sauadara, rekan atau teman kita juga merasa hal yang senada jika diperlakukan demikian. Hapuskan redaksi kata, telor mata sapi. Hilangkan mental serobot sana sini untuk ke-eksist-an diri! Kalau mau punya nama, usaha dong.

Erna Dwi Susanti – Mojo Mulyo, Sragen 17 April 2014 – 05:33

0 komentar:

Posting Komentar