Lingkungan
baru, jadwal baru dan tetangga baru. Minimal tiga itulah yang aku dapati atas
keputusan pindah tempat tinggal sekarang. Pindah kostan saja sebenarnya.
Sebelumnya tercatat di RT 2 RW 5 daerah Gendingan, Sragen Tengah sekarang masuk
di RT 3 RW 9 Mojomulyo, Sragen Kulon. Dari yang berada di pusat kota sekarang
mulai menepi sedikit, tapi lebih deket dengan mall, hahaha. Sama saja keles.
Dengan dekat atau tidaknya dengan mall
sebenarnya sama saja, karena aku bukan sosok shopaholis. Sering ke kawasan mall tersebut sih, Harmony Mall namanya, tapi tempat yang
dituju adalah pedagang di sisi baratnya, ada beragam makanan di sana :D
Pembiasaan
baru aku temui sekarang, bagaimana tidak semenit saja itu aku acuhkan artinya
merusak tatanan emosi, mental dan pikiran. Hahahaha. Jam berangkat ke lokasi kerja.
Itulah yang menjadi wanti-wanti sekarang.
Jarak tempuh sekitar 2 km ke tempat kerja bisalah ditempuh 3-5 menitan dengan
motor, tapi akan beda masalahnya kalau jam berangkat kerja di satu menit
tertentu.
7.15
Itulah
waktu sakral yang tidak boleh dilanggar. Berangkat jam 7.15 itu artinya harus
mempersiapkan diri menunggu sesuatu yang tidak menyenangkan. Berhenti di
palangan stop kereta api. Pas di menit
tersebut KA Kahuripan dari Bandung ke Kediri tepat melintasi kota Sragen. Di
tempat baru inilah adaptasi baru yang harus aku miliki.
Selain
kurang suka dengan terpaan angin KA, dan getaran kereta yang tidak enak di
badan dan telinga, pilihan lain lebih saya suka; dengan berangkat setelah jam
7.15 atau sebelum jam 7.15. Intinya tidak lebih dari menit tersebut.
Biasanya,
kalau ada yang tidak sesuai dengan kehendak diri, langkah grumble itu sudah pasti ada. Demikian pula dalam hal ini, kali
pertama dan kedua, pas harus berhenti karena nungguin kereta yang jaraknya
masih jauh pun suaranya belum kentara; hati sudah ngomel dengan sendirinya.
Tidak suka.
Tapi
lama-lama di rasa, dengan atau tanpa aku mengomel tak akan ada perbedaan, tak
akan ada perubahan. Tetap sama saja. Mencoba memaklumi. Itulah yang aku tetapi
sampai sekarang. Oh, ternyata mencoba memaklumi adalah salah satu poin untuk
bisa menghadirkan toleransi.
Tepatlah,
dari Kereta Api aku diajarkan makna kecil dalam bertoleransi. Suatu karakter
itu muncul karena tindakan yang dibiasakan. Pembiasaan. Hingga dalam
berinteraksi dalam masyarakatpun, aku yang awalnya ternilai sebagai pihak
kritikus tulen, menjadi kembali berpikir. Orang punya beragam karakter dalam
hidupnya, dan pasti sungguh tidak akan bisa kalau aku memaksa mereka mengikuti
jadwal dan tata cara permainanku, mengikuti jalan sesuai dengan relku, bergerak
sesuai arah dan ketetapanku. Sungguh tak akan bisa dan tak akan sempurna jika
dipaksa. Biarlah masing-masing dari kita terus berketetapan dengan prinsip,
keadaan dan tata cara hidupnya sendiri. Asal tidak merusak tatanan orang, asal
tidak melanggar aturan Tuhan maka dengan lantang aku sampaikan, “Aku berani
bertoleransi”.
Erna
Dwi Susanti – Mojo Mulyo, 17 April 2014 – 05:16
0 komentar:
Posting Komentar