Erna Dwi Susanti Personal Site

Home » » SENDIKO DAWUH, MAS RANGGA

SENDIKO DAWUH, MAS RANGGA



Kali ini kita akan mencoba bernalar dalam diskusi. Berbagi, menginspirasi untuk sebuah kata bernama rejeki. Dalam ajaran suci sudah utuh diyakini, bersamaan dengan jodoh dan pati, poin ini sudah digariskan Tuhan secara pasti.

“Tak akan ada yang bisa mendekatkan ketika jauh dan tak akan ada yang menjauhkan ketika dekat, kecuali Tuhan”

Sebutlah tokoh utama kita dalam cerita ini bernama Bagus Burhan. Kalau ngaku jadi orang Surakata (Solo dan sekitarnya) tampak tak akan memicingkan mata dan melipatkan dahi buat menganalisa dan menebak. Sosok inilah yang dikenal sebagai pujangga besar ‘terakhir’ di tanah Jawa. Keren bingits kan ya? Gak kebayang se – wah apa rangkaian prosa dan katanya.

Oke mari kita lanjutkan cerita.  Mas Bagus Burhan ini karena kesaktiannya pada beragam ilmu, ia dikenal sebagai juru ramal ulung di bumi Surakarta. Hingga didaulatlah ia menjadi seorang pujangga Kasunanan Surakarta. Biar gak penasaran sapalah ia dengan nama aslinya, Rangga Warsita.

Sang Raja, Pakubuwana VII suatu hari Rangga Warsita untuk keliling desa, negeri tempatnya bertitah.

“Ngga”, sapaan gaul yang biasa digunakan sang raja pada Rangga Warsita. “Temenin keliling desa melihat aktivitas rakyatku yuk”, lanjut sang raja.

“Oh, nggih raja, sendiko dawuh gusti”, sambut Rangga dengan antusiasnya. Rangga juga telah dikenal sebagai sahabat setia sang raja karena ramalan-ramalannya. 

Hingga berada di tengah pematang sawah. Sang raja berucap “Ngga, kira-kira pak tani di seberang itu rejekinya jauh apa deket?” pinta raja agar Rangga meramal.

“Wah masih jauh gusti”, jawab Rangga dengan santunnya.

“Oh, ya sudah kalau gitu saya mau mendekatkan rejekinya. Ambil itu”, tunjuk sang raja pada buah semangka di badan pematang sawah yang tak jauh dari tempat mereka berada.
Semangka dibelah sang raja menjadi dua bagian, dikosongkan bagian dalamnya dan digantikan isinya dengan seraup perhiasan emas. Bismillah, semangka terwujud bulatan utuh seperti semula. Sang raja dan Rangga yang dari awal berpenampilan layaknya orang biasa, kawula yang papa, mendekati pak tani yang sibuk dengan ayunan cangkulnya.

“Pak ini ada semangka”, kalimat ringan diucap Rangga sembari memberikannya.

“Oh, nggih mas, matur suwun nggih”, balas pak tani dengan nada datarnya. Datar, karena dibalik ayunan cangkul yang ditebaskan di lahan kosong pesawahan hanya untuk mengusir segala kejenuhan. Jenuh dengan omelan istri, jengah dengan keluhan biaya anak sekolah. Tidak ada penghasilan, tidak ada uang untuk mencukupi kehidupan. Mencangkul untuk melepaskan beban, menghindar suara sumbang dan segala keluhan.

“Pak, kerjalah! Kerja! Kalau kayak gini terus kita makan apa? Beras gak ada, anak-anak mau dikasih uang jajan apa?”, kalimat itu berlanjut memenuhi pikiran pak tani.
Mendapat semangka dirasa sebagai suatu rejeki. Dihampirikannya langkah menuju rumah tempat dimana barang sembako diperjual belikan di sana, kelontong.

“Bu, tuker semangka dengan berasnya bisa?”, tanya pak tani dengan ragu.

“Oh iya kang, bisa”, balas sang ibu penjaga kelontong.

#Tsaaah, selesai sudah kronologis perolehan rejeki anak adam kali ini. Semangka yang penuh dengan emas perhiasan raib terganti dengan beras. Namun lihatlah, apa pak tani merasa rugi? Tentu tidak, karena ia mendapatkan beras yang dianggap sebagai rejekinya hari ini. Ia tidak tahu kalau dalam semangka ada emas yang dihadiahkan padanya dari sang raja. Oh Tuhan, tepat semua ada masa, ada cerita dan ada rejekinya.
Hanya kuasaNya yang bisa mendekatkan ketika jauh, hanya ada kehendakNya yang menjauhkan ketika dekat.

Sendiko dawuhlah dalam menerima ketetapan. Seperti ringannya sang Rangga ketika diajak sang raja berkelana. Iringi dengan rangkaian ikhtiar berkesungguhan. Hari ini kita berusaha dan esok Tuhan akan menjawabnya...
Ketemu di edisi selanjutnya yaaaa :)

Sragen, 3 April 2014
Erna Dwi Susanti

1 komentar: