“Mbak, mas, de, teh, kang, uda, uni, kak,
abang, ayuk.......dll.”
*) Beberapa orang mungkin
mempertanyakan, risih, tidak suka dengan label yang selalu saya sertakan dalam
berkomunikasi – tegur – sapa - dengan mereka. Terkesan ada barier, sekat atau ternilai formal dan banyak keluhan lainnya. Hari
ini, sebab itu akan perlahan saya jelaskan. Semoga tak ada dusta antara kita.
Hahahaha. Simak nah!
Ajaran konseptual paten dalam sapa -
menyapa secara jujur belum pernah saya temukan. Ketika menilik kembali pada
keberadaan norma (aturan) dalam masyarakat, di mana ada norma hukum, agama dan
adat istiadat, mungkin dari sinilah muara prinsip ‘etika menyapa’ itu saya
pergunakan.
Pertama dalam wujud ketaatan beragama,
agama mengajarkan bagaimana memberikan penghormatan kepada sesama, harga
menghargai dan tidak saling sakit menyakiti. Kemudian dalam tata aturan hukum,
adanya beberapa peraturan mendasar di negeri ini yang mengharuskan meletakkan
penghargaan dalam aspek kemanusiaan agar muncul kemartabatan, dan saling kasih
mengasihi. Hingga menuju pada aspek sosial – adat istiadat. Inilah yang secara
tidak tertulis namun menjadi penyeimbang bagi mereka yang belum sadar akan
norma hukum pun norma agama.
Bagaimanapun, keberadaan adat istiadat
yang memberikan hukuman bagi pelanggar berupa sanksi sosial. Oleh beberapa
kalangan, norma adat dinilai sebagai sanksi yang paling menjadikan jera
seseorang maupun kelompok masyarakat. Sama halnya dengan sebuah budaya menyapa
dalam pembahasan kali ini. Jera, itulah awal sebab saya harus berpura-pura
dalam etika.
Dilahirkan di tengah keluarga dengan
kultur kejawen (syarat budaya jawa).
Setidaknya meminta saya menjadi seorang anak yang pura-pura paham etika. Dengan
terbuka saya mengatakan sebagai tindakan pura-pura. Karena pura-pura adalah
suatu aktivitas melakukan sesuatu untuk menutupi sesuatu, secara pribadi demikian
itulah saya mendefinisikannya. Kenapa pura-pura? Kalau saya tidak mengikuti
pola aturan yang ditetapkan di keluarga maka beberapa sanksi (meskipun tidak
pernah memberatkan, tapi kalau keseringan juga berat) harus saya tanggung. Dan
itulah yang menjadikan saya jera untuk melanggar, hingga akhirnya saya memilih
untuk ber-pura-pura saja.
Singkat gambarannya;
Ibu dan Bapak tidak pernah mengijinkan
anaknya (kakak ataupun saya) untuk saling sapa dengan langsung sebut nama. Tidak sopan. Itulah dua kata yang
sampai detik ini menjadikan saya jera. Di masa golden age (yang menurut
para ahli psikologi dihitung dari 0 – 5 tahun) itulah didikan ini saya
dapatkan; tahu apa anak balita dengan arti dan definisi paten sebuah etika dan
sopan santun?. Ya, karena takut diberi sanksi pengurangan jatah uang jajan atau
sekedar di larang main sudah menjadi ancaman yang menakutkan tersendiri bagi
saya di kala itu.
Mikirnya, kalau dikurangi uang jajan gue jajan pake apa bro sist? Kalau dilarang
main, bakalan tua dalam rumah dong ane nantinya? :v hehhehe.
Karena terpaksa, saya memilih
berpura-pura; pura-pura memanggil mbak untuk
kakak perempuan bahkan ke saudara-saudara dari Bapak ataupun Ibu yang secara
usia berbeda beberapa waktu di atasku. Tidak harus berbeda tahun atau bulan,
berbeda hari pun saya sudah diwajibkan menyapanya dengan sapaan mbak, baru kemudian disertakan namanya. Dan
saya mengikutinya, meskipun dengan pura-pura. Begitupun untuk yang laki-laki,
saya harus dengan ikhlas memanggilnya mas.
Dan sebaliknya, kalau usia di bawah usia saya harus memanggilnya dengan adik, dek. Tidak boleh asal sapa nama,
meskipun ia jauh lebih muda.
Berangkat dari kepura-puraan itulah
akhirnya tindakan itu tengah melembaga dalam diri saya. Menjadi kebiasaan dan
pembiasaan tanpa kesadaran. Ya, dampaknya masih saya rasakan sampai sekarang,
alangkah tidak bisanya, alangkah beratnya dan betapa merasa bersalahnya ketika
saya berhadapan dengan orang dan harus menyapanya langsung dengan nama. Ora
nduweni sopan santun. Itu yang saya framekan dalam pikiran.
Beberapa di antara kalian,
teman-temanku banyak yang protes “Jangan pakai mbak/teh gitu lah, usia kita kan gak beda jauh”, “Hei kita seumuran keles, please dong jangan pake kak”,
dan tak jarang beberapa teman atau senior yang menaruh curiga ketika aku
menyebutkan nama rekan atau senior organisasi – organisasi dengan nama “Mas X”
“Kang Y”, “Kak Z” langsung tatapan curiga dan pertanyaan interogasi diarahkan,
“Kok, mas?” emang ada apa Erna dengan
X?” == Ada perbedaan frame yang tampak dalam ranah ini.
Ah, masih banyak hal lucu dan lugu
yang menjadi bumbu etika menyapa etika pura-pura ini. Buat kalian, ini alasanku. Gak ada niatan untuk
minta dipahami tapi cukuplah kalian mengerti (ah, sama aja, hehheehe). Udah ya,
ini ditulis dengan harapan “Biar tak ada dusta, biar tak ada curiga,
biar tak ada salah rasa antara kita”. Saya menyapa kalian menurut etika
yang saya anggap benar. Tapi saya tak pernah meminta kalian menyapa saya dengan
mbak atau de, cukuplah sapa saya dengan nama “Erna”. (Udah gitu aja). :v
Erna Dwi Susanti – Sragen, 11 Mei 2014
:: 22:22
0 komentar:
Posting Komentar