Sumber gambar : www.projekdialog.com
Oleh : Erna Dwi Susanti
Kesadaran aktivis pergerakan
akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pelopor perubahan tampak sudah
berbeda dari sejarahnya. Sejarah menyeritakan bahwa tokoh mereka adalah
orang yang bertanggungjawab akan konsekuensi dari pilihan sebagai
aktivis. Harus menempuh aktivitas beresiko lebih dari yang lainnya,
mengurangi jatah tempo kesenangannya ataupun menghilangkan tradisi
santai dalam kamus kehidupannya. Sungguh-sungguh berjuang untuk
perubahan, perbaikan dan kesejahteraan (welfare state).
Dulu,
seorang tokoh bernama Wiji Thukul dengan semangat perjuangan yang
benar-benar militan menginjakkan kaki dari satu lokasi ke lokasi
lainnya. Ia sebarkan pendapat-pendapatnya, ia sadarkan massa dengan
pemikiran-pemikirannya. Meninggalkan kenyamanan lokasi asal tempat ia
dilahirkan, Solo. Menempuh bilik rumah-rumah persembunyian, menghindari
perburuan rezim penguasa. Meski tak terlampau mahir ia dalam bidang
seni, puisi-puisi protes karyanya melejit di sela-sela kursi Senayan,
mengebiri gerak-gerik para tahtawan, yang tak pernah tahu akan definisi
jeritan kemelaratan.
Entah perjuangannya dilatarbelakangi niat apa. Namun dengan slogan “Hanya ada satu kata, lawan!”
ia isyaratkan sebagai kegeraman pada para penguasa yang terlalu buta
akan nasib jelata para rakyatnya. Berfoya dalam kepongahan, dan
tersungging senyum di tengah kemiskinan. Meski ada kesan nekad, namun
langkah seorang Thukul dalam memberikan penyadaran rakyat benar-benar
terarah, tertata dan terskema. Maksimal ia jadi pahlawan.
Di
daerah Solo ia bergerak, di Jogjakarta ia berencana, di Kalimantan, di
Sumatera, di ruang-ruang persembunyiannya ia terus berkarya; mencari
cara agar masyarakat paham dengan kondisi yang ada dan seharusnya mereka
bertindak seperti apa. Taktis seperti inilah yang dilakukan para
pendahulu kita, mereka berusaha mengondisikan massa dengan
serapih-rapihnya. Beberapa aksi dengan gemilang mampu mereka tumpahkan,
ribuan masyarakat sudah tergugah dengan rasa yang sama, senasib
sepenanggungan atas cekikan ulah penguasa.
Hari ini,
masih ada peluang bagi kita untuk berefleksi. Bagi kita, kalangan muda
yang mengatasnamakan diri sebagai aktivis Indonesia, keseringan luput
dan kurang mahir mengondisikan massa. Hanya sekedar kajian sekali dua
kali atas suatu isu, melakukan konsolidasi, dan esoknya turun aksi. Hal
demikian dirasa sudah lebih dari cukup. Seolah menjadi aktivitas tanpa
ruhiyah, rutinitas tanpa makna.
Hasilnya? Sangat jauh
dari pertimbangan para penguasa. Massa yang turun bisa terhitung dengan
jari. Kemacetan lalu lintas menjadi sebab mereka dicaci, dengan dalih
mereka (para aktivis aksi) untuk membela nasib rakyat namun yang dibela
tidak tahu diri. Itu persepsi yang diakui. Bukan salah rakyat kalau
mereka tidak sadar, namun kembali lagi evaluasi yang harus ditatar,
apakah langkah dan strategi pengondisian massa yang dilakukan sejauh ini
memang sudah benar?
Sragen 07 Mei 2014
21:08 Indonesia Barat
0 komentar:
Posting Komentar