Sumber gambar : www.fashionwithaconscience.org
Oleh : Erna Dwi Susanti
Dengan
sengaja, dua
kata tersebut saya bold, underline
dan italic–kan. Ya, dengan sengaja
saya kirimkan satu pertanyaan ke beberapa teman, ikhwan (laki-laki) dan akhwat
(perempuan).
Redaksi
yang ke ikhwan :
“Tanya dong, kalau nih,
antum nikah dengan seseorang akhwat dan
di rak bukunya antum temukan beberapa buku dengan bubuhan nama dan tanda tangan
ikhwan, apa yang antum rasakan dan apa yang akan antum lakukan?”
Yang ke
akhwat :
“Tanya dong, kalau nih, anti
nikah dengan seseorang ikhwan dan di rak bukunya anti temukan beberapa buku
dengan bubuhan nama dan tanda tangan akhwat, apa yang anti rasakan dan apa yang
akan antum lakukan?”
Dan jawaban dari merekapun “B-E-R-A-G-A-M”
Pertama,
“Argggghhhhh, tidaaaaaaaaaaaaakkk! Amit amit. Na, kamu lagi kesambet apa sih
malam-malam riset gak jelas kayak gini? “
Kedua,
“Sakit
banget lah teh. Nama dan tanda tangan itu pastilah
pernah singgah di hatinya. Padahal saya sangat-sangat menjaga diri dulunya. Ah,
hancur lah. Gak kebayang apa yang harus saya lakukan. Banyak berdoa aja deh
dari sekarang, semoga ga nemu yang kayak gitu-gituan”.
Ketiga,
“Jujur sebenarnya ngerasa gak enak hati de’. Dongkol lah ya, tapi ya mesti
komunikasiin dulu latar belakang dan simak ceritanya. Semoga siap menerima.
Tapi syukurnya, istri saya gak seperti itu. Alhamdulillah.
Keempat,
“Gak
percayalah. Masak aktivis sekaliber beliau menerima yang seperti itu?”
Kelima,
“Ada
pertanyaan lain gak de? Jangan mancing sesuatu yang tidak diinginkan lah!!”
Keenam,
“Ga ada masalah itu masa lalu”
Ketujuh,
“Gantian dong aku sandingkan dengan
koleksi bukuku yang dihadiahin dari temen-temen dulunya. Biar dirasakan juga
apa yang aku rasakan. Fair kan?”
Kedelapan,
“Semua
konsekuensi sudah ana terima atas pilihan ini. Saya dipertemukan dengan orang seperti beliau karena ada sesuatu
yang pernah saya lakukan sehingga saya pantas dipertemukan dengan beliau. Ambil
hikmah dan belajar bijak aja.”
Kesembilan,
“Buat
kesepakatan untuk menyumbangkan buku itu saja. Selesai. Biar gak ada sakit
antara kami”
Kesepuluh,
“Aku ora opo-opo. Yo
kate lapo maneh? Hadiah iku ra masalah rek, tompo wae. Ora usah ribet. Mungkin
mbiyene dheweke akeh penggemar. Sante wae sist”
Bisa
menyimpulkan rata-rata muara dari jawaban mereka? – Jangan!! Itulah kesimpulan
yang saya temukan. Mereka ingin dipasangkan dengan yang spesial, dengan yang
tidak membagi cintanya.
Terjaga
itu menjaga dan dijaga. Kalau kita ingin dipertemukan dengan mereka yang bersih
hatinya, maka hari ini wajib hukumnya kita membersihkan hati. Jika kita ingin
disandingkan dengan mereka yang menundukkan pandangan maka wajib hukumnya
sekarang kita tundukkan pandangan. Jika bulat visi kita dipertemukan dengan
yang tidak menggoreskan nama-nama lawan jenis sebelum nama kita maka jangan
coba-coba menggoreskan nama orang lain sebelum kedatangannya.
Hadiah,
yang sekarang menjadi studi kasus pembelajaran kita menjadi bahan refleksi
bersama. Hadiah itu boleh, sangat dianjurkan malah. Rasulullahpun tidak
menerima sedekah tapi menerima jika itu suatu hadiah. Hanya saja, utamakan ke
saudara yang sekufu (penj, ikhwan ke ikhwan dan akhwat ke akhwat) saja.
Mengurangi resiko.
Bukan
karena apa-apa atau gimana-gimana, tapi
hati itu sangat sensitif. Sangat perasa dan sangat mudah ternoda. Ketika ada
sebuah pemberian dari seseorang (lawan jenis), buku bacaan misalnya, yang
awalnya sama sekali tak ada rasa, dengan menerimanya setan berhasil
menghadirkan rasa. Yang terkadang, ketika lantunan doa kebarokahan telah kita
panjatkan sebelum membaca yang terlintas wajah dan suara sang pemberi buku.
Jangankan menyerap ilmu di dalamnya; yang terbayangkan hanya segala hal terkait
dengan si dia, pengirim buku.
Belum
lagi tanpa bisa kita prediksi, perasaan seperti apa yang disertakan sang
pengirim bersamaan dengan kirimannya. Iya kalau itu sekedar pemberian, tapi
kalau ada definisi lebih dari pengirim kepada pihak tujuan? “Ah, itukan urusan dia, dia aja yang ke-GRan,
ke-PDan”, mungkin itulah yang kita ucapkan. Tunggu kawan, nda bisa
kita sepihak menyalahkan. Karena kita turut berkontribusi memberikan peluang
padanya untuk membuat noktah hitam dalam hati pun memori. Memberikan kesempatan
untuk menumbuhkembangkan perasaan yang tidak semestinya, tidak sewajarnya dan
tidak seharusnya itu sama saja.
Ini
baru satu contoh kecil, berkedok hadiah. Lebih baik mencegah daripada
mengobati. Mending ke tukan buah daripada ke dokter ahli :) . Yakinlah kawan,
semua ingin yang terjaga. Berikan yang terbaik untuk pendamping terbaikmu sekarang
ataupun kelak.
Sragen, 07 Mei 2014 _ 22:13
0 komentar:
Posting Komentar