De, selamat ya atas
kelulusanmu. Mungkin tadi malam orangtua dan keluarga besarmu juga sudah
mengadakan syukuran. Hiruk pikuk berbagai makanan disajikan. Menu yang biasanya
menjadi agak luar biasa, berbeda. Tetangga – tetanggamu pun tampaknya juga menemukan
sosok yang tak sama, biasanya muka masam gak
ketulungan yang kau pasang, namun kali ini senyum lebar berhias kebahagiaan
besar yang kau haturkan. Seolah kau ingin teriak dihadapan mereka. “Hoey, gue udah lulus SMA”.
Sumber gambar : phinueisal.wordpress.com
Iya, memang itu tidak salah dan gak bisa
disalahkan. Karena memang wajar, setelah sekian bulan ditekan, dihantui galau
kelulusan akhirnya kalian paripurna, dinyatakan lulus dari hasil Ujian.
Menyenangkan.
Sama. Lima tahunan yang lalu,
2009 kalau tidak salah. Aku pernah merasakan perasaan yang serupa. Lulus SMA
dengan nilai yang menentramkan pula. Tapi kita sedikit berbeda, orangtuaku
sangat mewanti-wanti untuk tidak ikut konvoi dan ugal-ugalan di jalan. Jaket
sudah disiapkan di atas sepeda motor. “Jangan dilepas sampai kamu pulang”, itu
pesan mereka.
Oh, baru aku paham. Mereka
tidak ingin aku berhura-hura karena kelulusan.
Sampai di sekolah, sebelum
pengumuman di sampaikan. Dewan guru sudah memberlakukan aturan paten, “Tidak
boleh ada 1 pun anak-anak dari almamater ini yang corat coret, hura-hura dan
konvoi di jalanan”. Okay. Ternyata semua aman terkendali. Tak adapun satu cat pilok yang bertengger di seragam SMA-ku.
Dan hingga kini. Tiga stel seragam itu masih tersimpan rapi.
Itulah de, ceritaku. Kalau
kemarin kamu bilang, “Aku kan kelulusan jadi wajar dong kayak beginian”, --
iya, kamu benar. Aku pun juga pernah SMA, pernah kelulusan tapi menilai
tindakan kayak gitu sangat tidak wajar.
Sempet juga aku dengar,
“Bentar lagi kan sudah gak bareng-bareng, masa SMA sudah gak akan dilewati.,
biar dari baju ini jadi kenangan” – Iya, Aku pun juga pernah SMA. Tanpa coretan
warna warni itu, baju SMA ku juga masih bisa bercerita tentang sejarah SMA.
De, banyak sekali aktivitas
yang jujur, ‘aku merasa risih’ melihatnya. Bukan karena merasa lebih baik dari
kalian. Tapi dalam skala kebaikan tampaknya tidak pernah salah kalau aku
mengingatkan. Tantangan di depan masih panjang, gerbang ujian sebenarnya juga
masih banyak. Ini hanya ujian kecil yang sempat memenjarakan logika kejujuran
dan keikhlasan kalian. Baju itu masih layak kalian wariskan, kalian berikan
pada adik kelas atau orang-orang yang lebih membutuhkan. Kegiatan brutal dan
teriakan nakal di jalanan hanya sebentar saja kalian rasakan.
Dari sisi solidaritas, apa
tidak terasa perihnya luka kawan kalian yang teriris karena ketidaklulusan?
Jika atas nama perayaan semua ini kalian lakukan, maka ijinkan aku membawa nama
kebangkitan mengajak kalian benar-benar bangkit dari pemikiran konvensional.
Sebagai seorang yang pernah tertekan
dalam dunia pendidikan, aku turut bahagia. Setidaknya satu jenjang pendidikan
formal sudah kau tuntaskan. Merdekakanlah pikiran kalian, merdekakanlah dari
pola mengekor pada suatu yang tak jelas manfaatnya.
Jika mental ini masih terbawa
sampai kalian mahasiswa, jangan pernah meminta moral agen of change tersematkan di pundak kalian. Indonesia tak butuh
mahasiswa yang egla egle (red – jawa
: Gak taat aturan, semau gue).
Erna Dwi Susanti
Sragen, 20 Mei 2014
0 komentar:
Posting Komentar