Dalam
kitab besar sejarah Indonesia, politik ataupun sastra, ia bukan sebuah judul
atau tokoh di tengah halaman. Ia ada di bawah lembar pagina, mungkin malah di
akhir bab, dengan huruf kecil-kecil.
Tapi,
seperti tiap catatan kaki, ia
mengingatkan kita bahwa ada satu informasi yang penting. Atau ia mengimbuhkan
sebuah nota yang layak diperhatikan – dan menunjukkan bahwa sejilid teks yang “lengkap”
sekalipun selalu meninggalkan satu-dua perkara yang masih merundungnya.
Pada
saat yang sama, ia juga bagian yang mendapatkan makna karena buku besar itu. Wiji Thukul
terpaut dengan sejarah perubahan politik Indonesia menjelang akhir abad ke-20,
ketika demokratisasi bergerak lagi melintasi penindasan, kekerasan, bahkan
pembunuhan. Dalam arti tertentu, ia ikut mendapatkan kemenangan. Tapi ia
pemenang yang tak membawa pialanya ke rumah. Ketika rezim yang dilawannya
runtuh, ia hilang. Mungkin ia diculik dan dibunuh, seperti beberapa aktivis
prodemokrasi lain, tanpa meninggalkan jejak.
Saya
sedih tiap kali mengingat itu. Kami gagal bertemu senja di Kedai Tempo di Jalan
Utan Kayu 68-H, Jakarta Timuir. Thukul, yang berminggu-minggu berhasil
disembunyikan di sebuah loteng yuntuk menghindari penangkapan militer,
seakan-akan melanjutkan status kaburnya. Ia mendadak jauh dari jangkauan
teman-teman sendiri, ketika kami semua menduga bahwa para pembunuh, setelah
Soeharto jatuh, sudah tak punya daya lagi dan mereka yang di bawah tanah bias bebas
ke luar.
Tak adakah
happy end bagi orang kerempeng ini?
Diakah kelanjutan si bocah cilik yang selamanya kalah dalam “Megatruh
Solidaritas”?
akulah bocah cilik
kurus itu
yang tak pernah
menang bila berkelahi
Tapi
bila potret diri dalam sajak ini muram, tak berarti ia kelam. “Megatruh” jauh
dari sikap mengasihani diri. Di dalamnya ada kesakitan yang lebih menggores
ketimbang kekalahan “aku” si anak sial itu
…….kudengar kabar
seorang kawan kita
mati terkapar
mati ditembak mayatnya
dibuang
kepalanya kayak
darahnya mengental
dalam selokan.
Dalam
beberapa bait saja, sajak ini berhasil memotret satu ruang dan waktu sosial-politik
Indonesia. Ada anak yang menjual gelang emaknya untuk bias bermain dadu lalu
mengais-ngais tempat sampah untuk beroleh beberapa butir kacang. Ada seorang
pemuda yang mati ditembak dan ditelenrarkan di selokan (entah kenapa).
Agaknya
satu ciri sastra Indonesia pasca – kemerdekaan adalah kemiskinan, represi dan
kekerasan politik yang tak cuma sekali muncul dalam puisi. Pada 1961 terbit
sajak Agam Wispi, “Matinya Seorang Petani”, karya penyair Lekra yang terkenal
ini bercerita tentang petani yang ditembak mati ketika memprotes ketidakadilan
di Tanjung Morawa:
Dia jatuh
rubuh
satu peluru dalam
kepala
ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa Cuma dapat
bangkainya
Sajak
itu dilarang beredar oleh penguasa ,iliter di awal “Demokrasi Terpimpin”. Ironis
atau tidak, peristiwa yang mirip terjadi di akhir masa itu, 1996. Seorang mahasiswa
di Jakarta mati terkena peluru tentara ketika ia ikut berdemonstrasi menentang
kenaikan harga-harga yang menekan hidup orang sekelas penjual rambutan di tepi
jalan. Taufiq Ismail (yang menerbitkan sajaknya dengan nama samara; ia termasuk
sastrawan pendukung “Manifes Kebudayaan” yang diberangus) menulis suasana
protes dan berkabung di kampus Salemba saat itu:
Tiga anak kecil
dalam langkah
malu-malu
datang ke Salemba
sore itu,
ini dari kami bertiga
pita hitamm pada
karangan bunga
sebab kami ikut
berduka
bagi kakak yang
ditembak mati
siang tadi
Tak perlu
ditegaskan lagi: sajak Thukul, Wispi dan Taufiq adalah tiga rekaman tentang
yang traumatic, tapi berulang, dalam sejarah Indonesia modern. Anai kita tak
kenal data biografis masing-masing penyair (yang berada dalam posisi politik
yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan), kita akan menemukan variasi atas
satu thema: kekuatan yang bersenjata membunuh orang yang tak bersenjata dan
kekuasaan dicoba tegaskan.
Tapi
saya rasa Thukul berbeda: ia adalah kepolosannya. Sementara tiga anak kecil
dalam sajak Taufiq adalah satu device buat
menegaskan kontras yang tajam antara kepolosan dan efektifnya kekuasaan, dalam
sajak Thukul si anak dan si polo situ tak Cuma dating dari luar. Kekuasaan yang
laten dan brutal menyengat langsung tubuhnya.
Mungkin
sebab itu sajaknya (tak hanya yang saya kutip ini) terasa longgar, seperti
suara anak yang seenaknya dalam ekspresi. Sajak Taufiq menjaga bentuknya dalam
imaji-imaji yang yang minimalis, lugas, deskriptif. Sajak Wispi menata
langkahnya ke klimaks dengan ketegangan di tiap baris, ketika dengan pathos yang diam sang pencerita
menyatukan diri dengan si korban.
Sajak
Thukul lain: ekspresinya yang longgar terasa ketika dibiarkannya dirinya
memakai kata Jawa seperti nang (“buyung”)
dan simbok (“emak”), tak peduli akan
pahamkah pembacanya di Fakfak. Ia terbebas dari beban keinginan menampakkan
kepiawaian puitik. Mungkin karena ia begitu berkelindan dengan kemelaratan, ia
cuekkan keindahan.
Tapi
bisakah keindahan dicuekkan di “rumah-rumah miring”? Kathe Kollwitz, perupa
sosialis Jerman (1867-1945), hidup dengan kaum buruh yang melata di Berlin. Aneh
atau tak aneh, baginya kaum buruh semata-mata “indah”. Das Proletariat war fur mich eben Schon.
Tapi
“yang indah” memang bias meluas: semacam tarikan cinta yang misterius, yang
membuat sajak-sajak Thukul tak melihat dengan jijik benda-benda penanda
kekumuhan di sekitarnya. Itu sebabnya ia, seperti Kollwitz, tak hanya
menggoreskan teriak, tapi puisi: suara lirih yang akrab dan tajam di catatan
kaki.
Catatan
Pinggir Goenawan Mohamad
-Erna
Dwi Susanti -
0 komentar:
Posting Komentar