Dalam teori dan konsep di
bangku kuliah, memang diajarkan pada kami (calon pekerja sosial) untuk memahami
masing-masing dari individu. Setiap orang itu tidak sama, berbeda, penuh ragam
dan memiliki segudang kekhasan. Satu sama lain tak dapat digeneralkan. Unik.
Itulah bahasa lugasnya.
Otak radikalku masih kerap
egois memberikan doktrin, di mana “teori tak selalu benar, kadang praktik jauh
lebih menjelaskan, namun terkadang juga malah menjerumuskan. Bulshit, jangan pernah kedepankan teori”. Saatnya
mencari makna dari kehidupan. Ya, tepat. Hari ini ada suatu pembuktian dari
teori itu. Tanpa sengaja, dan sebenarnya sudah berulang; dibuat tersipu malu
aku oleh kenyataan.
Hampir setengah harian penuh
dibuat geleng-geleng kepala ini. Bukan
geleng karena jengah ataupun ogah. Tapi sumringah-bungah
itulah ekspresi yang aku temukan. Menyenangkan. Bagaimana tidak?
Bermula dari keisenganku
duduk di meja resepsionis, yang secara jobdesk, memang menjadi salah satu
tempat bagiku untuk melakukan counseling emergency di tempat ini. Siang ini,
masyarakat yang aku biasa menyebut dengan kalayan, datang lengkap dengan
jinjingan tas ala kadarnya. Entahlah apa saja benda beruntung yang menjadi
isiannya. Ohya, mereka bertiga. Diungkapkan oleh satu diantara mereka;
“Bu,
menawi ajeng ngurus kartu Sarasmelati niku leres dateng mriki?”, dengan
lugu sang ibu bertanya. Tuhan, sangat gak etis kalau aku cekikan tertawa di
hadapan mereka.
“Oh,
inggih bu, leres. Nyuwun sewu, mboten Sarasmelati tapi Saraswati”.
“Ingkang
didamel mondok kaleh prikso niko lho”, sang ibu satunya membalas
– menimpali.
“Oh,
inggih. Saraswati”, masih dengan nada menyembunyikan rasa ingin
tertawa. Mereka bertiga rata-rata berusia 35-47 tahunanlah, kayaknya.
Lanjutku, “menawi serat-seratipun sampun dijangkepi,
bu?” tanyaku dengan mengedarkan pandangan pada ketiganya. Dua duduk
memperhatikan dengan wajah agak menahan canggung karena ruangan, yang satu
tampak begitu bingung mendengar pertanyaan.
Tuhan, ijinkan aku
menggunakan bahasa ibuku dengan sesantun mungkin, “Fotokopi KK, KTP, surat saking kelurahan sampun diasto bu?”,
jelasku menambahkan.
Ketiganya saling bertatap
dan sungguh raut itulah yang berjamaah mengiris hatiku. Di hadapanku sekarang,
sedang ada ketiga ibu paruh baya sedang mengiba meminta jaminan kesehatan
daerah untuk memperjuangkan kelangsungan hidupnya. Adakah kemarin, juga di
hadapanku tengah berdiri dengan emosi dan bentakan kasarnya seorang calon
anggota dewan yang memaksa membuatkan kartu jamkesda untuk amunisi kampanyenya.
Yang jelas kala itu ia tengah memperjuangkan kelangsungan hidupnya. Sudahlah,
Tuhan tidak pernah tidur. Kutarik kembali alam sadar dari lamunanku. Hai,
come on!
Ketiganya, bersama-sama,
serempak, seolah ada yang memberi aba-aba, (1-2-3) sudah menyodorkan
berkas-berkas yang banyak, entah apa saja itu urutannya. Ada fotokopi KTP
seluruh anggota keluarganya, ada berkas-berkas lain yang tentu saja tak
kupahami jenisnya. Bingung dan cukup uji kesabaran tentunya.
“Sekedap
nggih bu, setunggal-setunggal. Ibu tenggo sekedap nggih”.
Ibu, ke sinilah, bantu anakmu menggunakan lagi bahasamu.
Mereka paham, saling
mengalah dan satu-satu menyodorkan berkas itu. Tidak lama berselang, sesaat
setelah kuberikan penjelasan untuk seorang dari ketiganya, sreettt, ketiganya langsung mendekat semua.
Sudahlah, gak apa-apa.
Karena mereka masih asing dengan keteraturan seperti yang diwajibkan. Have fun. Itulah yang aku prinsipkan.
Biar sekalian menerangkan; ketiganya aku jajarkan. Aku layani secara bersamaan,
biar sama-sama segera paham. Biar sama-sama merasa senang.
Geleng kepala dan helaan
nafas panjang, itulah reaksi yang aku lakukan setelah punggung ketiganya hilang
dibalik pintu keluar. Rasa gelitik menahan tawa tadi sudah hilang seiring
perenungan singkat barusan. Mereka seperti itu karena mereka tidak tahu, mereka
seperti itu karena mereka berasal dari pedalaman desa. Pendidikan mungkin tidak
tinggi, dan informasi berita mungkin juga tidak mereka ikuti. Pemakluman dan
toleransi. Itulah yang harus selalu dikedepankan kali ini. Pun bagaimana tidak,
setiap pribadi itu unik. Aku tak pernah bisa menggunakan perlakuan yang pernah
aku berikan ke seorang calon anggota legislatif dari satu partai X di lusa
kemarin. Prinsip orang congkak harus dicongkakin biar gak congkak, terbukti
benar kala itu. Bentakan kasarnya berakhir pamitan santun. Aku pakai pola
congkak dalam kelembutan.
Namun kali ini, sungguh
berbeda. Aku harus benar-benar lembut menuntun mereka. Menjelaskan mereka.
Menawarkan rasa ramah dalam pelayanan agar mereka merasa aman dan nyaman di
kantor one stop services ini.
Ini baru dua contoh karakter
individu yang dalam keseharian kita ajak berkomunikasi, berinteraksi dan
berelasi. Perlakuan beda harus kita cari untuk hidup berdampingan dengan
mereka. Bukankah kita makhluk sosial, yang dituntut punya seni dalam hidup dan
kehidupannya. #PerjalanHidupAdalahHak
Mojomulyo, Sragen –
22 April 2014 17:50
Erna Dwi Susanti
Hmm... Mantapppsss lah. . Tulisan2 seperti ini insya Allah sangat berguna untuk membukukan "best practice" social worker in a workplace :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus