Erna Dwi Susanti Personal Site

Home » » Caraku Menempatkanmu

Caraku Menempatkanmu


Dalam teori dan konsep di bangku kuliah, memang diajarkan pada kami (calon pekerja sosial) untuk memahami masing-masing dari individu. Setiap orang itu tidak sama, berbeda, penuh ragam dan memiliki segudang kekhasan. Satu sama lain tak dapat digeneralkan. Unik. Itulah bahasa lugasnya.


Otak radikalku masih kerap egois memberikan doktrin, di mana “teori tak selalu benar, kadang praktik jauh lebih menjelaskan, namun terkadang juga malah menjerumuskan. Bulshit, jangan pernah kedepankan teori”. Saatnya mencari makna dari kehidupan. Ya, tepat. Hari ini ada suatu pembuktian dari teori itu. Tanpa sengaja, dan sebenarnya sudah berulang; dibuat tersipu malu aku oleh kenyataan.

Hampir setengah harian penuh dibuat geleng-geleng  kepala ini. Bukan geleng karena jengah ataupun ogah. Tapi sumringah-bungah itulah ekspresi yang aku temukan. Menyenangkan. Bagaimana tidak?

Bermula dari keisenganku duduk di meja resepsionis, yang secara jobdesk, memang menjadi salah satu tempat bagiku untuk melakukan counseling emergency di tempat ini. Siang ini, masyarakat yang aku biasa menyebut dengan kalayan, datang lengkap dengan jinjingan tas ala kadarnya. Entahlah apa saja benda beruntung yang menjadi isiannya. Ohya, mereka bertiga. Diungkapkan oleh satu diantara mereka;

“Bu, menawi ajeng ngurus kartu Sarasmelati niku leres dateng mriki?”, dengan lugu sang ibu bertanya. Tuhan, sangat gak etis kalau aku cekikan tertawa di hadapan mereka.

“Oh, inggih bu, leres. Nyuwun sewu, mboten Sarasmelati tapi Saraswati”.

“Ingkang didamel mondok kaleh prikso niko lho”, sang ibu satunya membalas – menimpali.

“Oh, inggih. Saraswati”, masih dengan nada menyembunyikan rasa ingin tertawa. Mereka bertiga rata-rata berusia 35-47 tahunanlah, kayaknya.

Lanjutku, “menawi serat-seratipun sampun dijangkepi, bu?” tanyaku dengan mengedarkan pandangan pada ketiganya. Dua duduk memperhatikan dengan wajah agak menahan canggung karena ruangan, yang satu tampak begitu bingung mendengar pertanyaan.

Tuhan, ijinkan aku menggunakan bahasa ibuku dengan sesantun mungkin, “Fotokopi KK, KTP, surat saking kelurahan sampun diasto bu?”, jelasku menambahkan.

Ketiganya saling bertatap dan sungguh raut itulah yang berjamaah mengiris hatiku. Di hadapanku sekarang, sedang ada ketiga ibu paruh baya sedang mengiba meminta jaminan kesehatan daerah untuk memperjuangkan kelangsungan hidupnya. Adakah kemarin, juga di hadapanku tengah berdiri dengan emosi dan bentakan kasarnya seorang calon anggota dewan yang memaksa membuatkan kartu jamkesda untuk amunisi kampanyenya. Yang jelas kala itu ia tengah memperjuangkan kelangsungan hidupnya. Sudahlah, Tuhan tidak pernah tidur. Kutarik kembali alam sadar dari lamunanku. Hai, come on!

Ketiganya, bersama-sama, serempak, seolah ada yang memberi aba-aba, (1-2-3) sudah menyodorkan berkas-berkas yang banyak, entah apa saja itu urutannya. Ada fotokopi KTP seluruh anggota keluarganya, ada berkas-berkas lain yang tentu saja tak kupahami jenisnya. Bingung dan cukup uji kesabaran tentunya.

“Sekedap nggih bu, setunggal-setunggal. Ibu tenggo sekedap nggih”. Ibu, ke sinilah, bantu anakmu menggunakan lagi bahasamu.

Mereka paham, saling mengalah dan satu-satu menyodorkan berkas itu. Tidak lama berselang, sesaat setelah kuberikan penjelasan untuk seorang dari ketiganya, sreettt, ketiganya langsung mendekat semua.

Sudahlah, gak apa-apa. Karena mereka masih asing dengan keteraturan seperti yang diwajibkan. Have fun. Itulah yang aku prinsipkan. Biar sekalian menerangkan; ketiganya aku jajarkan. Aku layani secara bersamaan, biar sama-sama segera paham. Biar sama-sama merasa senang.

Geleng kepala dan helaan nafas panjang, itulah reaksi yang aku lakukan setelah punggung ketiganya hilang dibalik pintu keluar. Rasa gelitik menahan tawa tadi sudah hilang seiring perenungan singkat barusan. Mereka seperti itu karena mereka tidak tahu, mereka seperti itu karena mereka berasal dari pedalaman desa. Pendidikan mungkin tidak tinggi, dan informasi berita mungkin juga tidak mereka ikuti. Pemakluman dan toleransi. Itulah yang harus selalu dikedepankan kali ini. Pun bagaimana tidak, setiap pribadi itu unik. Aku tak pernah bisa menggunakan perlakuan yang pernah aku berikan ke seorang calon anggota legislatif dari satu partai X di lusa kemarin. Prinsip orang congkak harus dicongkakin biar gak congkak, terbukti benar kala itu. Bentakan kasarnya berakhir pamitan santun. Aku pakai pola congkak dalam kelembutan.

Namun kali ini, sungguh berbeda. Aku harus benar-benar lembut menuntun mereka. Menjelaskan mereka. Menawarkan rasa ramah dalam pelayanan agar mereka merasa aman dan nyaman di kantor one stop services ini.

Ini baru dua contoh karakter individu yang dalam keseharian kita ajak berkomunikasi, berinteraksi dan berelasi. Perlakuan beda harus kita cari untuk hidup berdampingan dengan mereka. Bukankah kita makhluk sosial, yang dituntut punya seni dalam hidup dan kehidupannya. #PerjalanHidupAdalahHak

Mojomulyo, Sragen – 22 April 2014 17:50
Erna Dwi Susanti

2 komentar:

  1. Hmm... Mantapppsss lah. . Tulisan2 seperti ini insya Allah sangat berguna untuk membukukan "best practice" social worker in a workplace :)

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus