Home »
ARTIKEL LEPAS
» Gusti, Ke Mana Wiji Thukul Pergi
Gusti, Ke Mana Wiji Thukul Pergi
Posted by Erna Dwi Susanti
Posted on 01.22
with No comments
Sebagai seorang generasi ketiga dari peradaban ini, jujur tidak begitu mengenal dengan benar siapa sosok "Wiji Thukul" ini. Ia booming di era menjelang abad XX. Sekitaran tahun 1996, geliat tokoh reformasi ini dikenal dengan karya puisinya, identik dengan pergerakan massa, pemberontak dan musuh ekstrem yang ditakuti demokrasi ala Soeharto. Dia juga bagian dari Partai Rakyat Demokratik (PRR). Jangankan mengenal politik, ditahun itu saya masih berada dalam kategori seorang anak balita.
Ini adalah rangkuman rekam jejak Wiji Thukul sebelum ia dinyatakan hilang hingga hari ini;
27 JULI 1996
Massa pendukung ketua umum versi kongres Partai Demokrasi Indonesia di Medan, Soerjadi dibantu kepolisian dan TNI mengambil alih secara paksa kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro 58, jakarta Pusat. Kerusuhan meledak. Pemerintah menuding Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalangnya, sehingga para aktivis PRD diburu, termasuk Wiji Thukul.
AWAL AGUSTUS 1996
Thukul memutuskan lari dari Solo. Awal pelarian itu ditulis Thukul dalam puisi "Para Jenderal Marah-marah". Mula-mula ia ke Wonogiri, lalu ke Yogyakarta (kantor harian Bernas), Magelang, dan Salatiga. Pelarian di atas truk itu ia tulis menjadi puisi "Aku Diburu Pemerintahku Sendiri". Di Salatiga, ia bertemu dengan aktivis hak asasi manusia, Arief Budiman, yang menyarankan menemui Yosep Stanley Adi Prasetyo, yang juga aktivis HAM di Jakarta. Pertemuan dengan Arief direkam Thukul dalam puisi "Buat L.Ch & A.B".
PERTENGAHAN AGUSTUS 1996
Thukul mendatangi adiknya, Wahyu Susilo, di kantor Solidaritas Perempuan , Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur. Ia lalu disembunyikan di Bojong Gede, Bogor, kemudian di Kelapa Gading Jakarta Timur dan Bumi Serpong Damai, Tangerang, selama satu-dua pekan. Saat itu , ia menulis puisi, "kado untuk Pengantin Baru" buat Alex, salah satu tuan rumahnya yang baru menikah. Thukul kemudian sempat dibawa tim evakuasi ke Bandung.
AKHIR TAHUN 1996
Ia dilarikan ke Pontianak, menginap di rumah Martin Siregar. Menggunakan nama samaran Aloysius Sumedi, ia sempat menulis cerpen berjudul "Kegelapan".
JANUARI 1997
Pulang ke Solo, Kepada Sipon (istrinya) ia minta dibuatkan pakaian bayi sebelum kembali ke Kalimantan. Sipon menduga Thukul sudah menikah lagi dan istrinya hendak melahirkan. Namun menurut Martin, pakaian bayi itu sebagai hadiah untuk istri Martin yang sedang hamil.
MARET 1997
Thukul kembali ke Jakarta dan aktif lagi di PRD. Ia menjabat ketua divisi Propaganda PRD dan menjadi editor Suluh Pembebasan, suplemen kebudayaan PRD. Ia sempat tinggal dikontrakan aktivis PRD di Pekayon, Bekasi dan Rumah Susun emayoran. Saat di Pekayon, ia sempat mengajak Sipon dan anak-anaknya datang.
AGUSTUS 1997
Ketikaberkunjung ke rumah adiknya, Thukul mengaku sedang di Tangerang bersama Linda Christianty untuk mengorganisasi buruh dan tukang becak. Di Karawaci, ia tinggal di rumah kontrakan bersama Lukman dan Andi Gembul.
NOVEMBER 1997
Thukul meminta izin kepada Linda, yang berada di Sekretariat Mahasiswa Universitas Indonesia di Margonda Raya, Gang Salak, untuk pulang ke Solo, menengok Fajar Merah, anaknya, yang akan merayakan ulang tahun ketiga.
DESEMBER 1997
Thukul bertemu dengan Sipon dan anak-anaknya di Yogyakarta dan tinggal satu pekan di Parangtritis.
JANUARI 1998
Thukul pindah ke Cikokol. Sebelum Idul Fitri, yang jatuh pada akhir Januari, ia menelpon adiknya dan mengatakan hendak pulang ke Solo untuk berlebaran.
APRIL 1998
Thukul menelpon Cempe Lawu Warta, gurunya di Teater jagat, menanyakan kabar Sipon dan anak-anaknya. Ia berkata sedang di Bengkulu, Sumatera dan menitipkan anak-anakanya kepada Lawu.
MEI 1998
Kerusuhan meledak di Jakarta. Thukul menelpon Sipon, khawatir terhadap keadaan istri dan anak-anaknya karena Solo ikut rusuh. Ia juga mengatakan kondisinya baik-baik saja dan saat itu sdang di Jakarta. Tidak ada kabar dari Thukul setelah itu.
MARET 2000
Sipon melaporkan kehilangan Thukul ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
KINI, tidak ada yang tahu secara pasti bagaimana kabar pahlawan yang tak pernah membawa pulang gelarnya ini. Ada prediksi yang mengemuka 30 (tiga puluh) tahun mendatang ia akan menyapa, layaknya ikatan kuat seorang istri pada suami, Sipon pun keukeuh berkeyakinan suaminya hanya hilang, ia belum mati. Sosok yang kita kenal dengan kalimat "Hanya ada satu kata, LAWAN" ini adalah ladang kita untuk belajar. Entah kemana ia pergi, benar atau tidak ia akan kembali, saat inilah setelah kita pandang ia sebagai sejarah maka masih ada hak bagi kita untuk belajar dari kiprah dan semangat juangnya. Dari beragam perspektif, sejarah ini dapat dimaknai. Kalian yang lebih paham akan selera kalian.
Oleh : Erna Dwi Susanti
Referensi : Buku Wiji Thukul, Teka-teki Orang Hilang
0 komentar:
Posting Komentar