Hari ini konteks wacana kita terbingkai
dalam sepotong kata “Disabilitas” yang dalam bahasa Inggrisnya memiliki arti Disability,
berarti mempunyai cacat. Disabilitas dapat dikenakan beberapa sifat; mulai
dari fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan atau beberapa
kombinasi dari hal tersebut. Terminologi disabilitas sendiri biasa
dipergunakan sebagai istilah pengganti dari Penyandang Cacat.
![]() |
Sumber gambar : www.sdirj.sch.id |
Dalam kehidupan bermasyarakat, individu
yang menyandang disabilitas sering menerima perlakuan sebelah mata dari
masyarakat. Termasuk di dalam perlakuan tersebut adalah munculnya pandangan
masyarakat terhadap kaum difabel, di antaranya adalah mitos-mitos tentang
difabel. Beberapa mitos yang ada di masyarakat antara lain; mereka dinilai
sebagai pihak yang selalu bergantung kepada orang lain. Sehingga
perlakuan orang pada umumnya terhadap penyandang difabel adalah dengan membuat
mereka benar-benar tergantung kepada orang lain (tidak memandirikan). Penyandang
disabilitas adalah kaum yang harus dikasihani, mereka diidentikkan
dengan penerima santunan/bantuan karena keterbatasan yang dimiliki. Selain itu
mereka juga terkadang dinilai sebagai pihak yang tidak berguna sehingga
keluarga atau masyarakat yang ada di sekitar penyandang difabel enggan untuk
berinvestasi pada mereka, seperti halnya tidak menyekolahkan atau tidak
memberikan bekal keterampilan hidup. Keberadaan difabel juga sering dicap oleh
masyarakat sebagai penyakit kutukan atas suatu dosa, sehingga
dijauhi/dikucilkan oleh masyarakat. Bahkan kondisi yang demikian dinilai
sebagai sebuah bentuk dari takdir yang pahit, dan berakibat pada
tuntutan agar dilakukan penyesalan berlarut-larut.
Definisi Normalisme
Mitos yang berkembang di masyarakat
seperti halnya tersebut di atas muncul di masyarakat karena berpegang pada satu
asas wajib yang diterapkan di masyarakat. Normalisme. Kembali
mendefinisikan terlebih dahulu apakah sebenarnya definisi dari normalisme,
normalisme yang diartikan sebagai perwajahan suatu paham yang mengakui adanya
standar-standar kewajaran dengan menggunakan pendekatan generalisasi (sama
rata), sehingga seseorang akan dikatakan tidak normal/tidak wajar manakala
tidak memenuhi standar yang dipergunakan dalam suatu lingkungan tersebut. Paham
ini pada mulanya diperkenalkan oleh para psikolog dan ahli-ahli medis untuk
diterapkan kepada manusia, meluas dan sekarang dianut oleh masyarakat secara
umum.
Ciri-ciri yang dipergunakan dalam
normalisme adalah diukur berdasarkan standarisasi medis dan psikologis,
bermuara pada pelabelan bagi mereka yang tidak sesuai dengan standar tersebut,
treatment/rehabilitasii bertujuan menormalkan, yang tidak bisa dinormalkan
lantas dianggap cacat, dan berujung pada stigma yang merugikan subjek yang
dicacatkan.
Tolak Label Cacat
Cacat itu berarti tidak sempurna atau produk
gagal. Cacat itu diartikan tak berguna, murah dan dibuang. Cacat itu juga
diartikan tidak mampu. Padahal, mereka sebenarnya juga punya kapabilitas kalau
diberi kesempatan. Menyebut orang cacat berarti mengingkari firman Tuhan bahwa
manusia adalah makhluk yang paling semprna. Menyebut orang cacat juga berarti
menganggap Tuhan lalai dalam menciptakan manusia sehingga muncul “gagal
produksi”.
Kesadaran Kritis Masyarakat
Istilah difabel merupakan pengindonesiaan
dari kependekan istilah different abilities people (orang dengan
kemampuan yang berbeda). Dengan istilah difabel, masyarakat diajak untuk
merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau
tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman erhadap
difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan
aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula.
Dengan pemahaman baru itu masyarakat
diharapkan tidak lagi memandang para difabel (penyandang disabilitas) sebagai
manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para
difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya, juga memiliki potensi dan sikap
positif terhadap lingkungannya.
Pendidikan merupakan salah satu solusi
memberikan kesempatan tersebut kepada para difabel untuk memperoleh ruang
kreativitas.
Dasar Hukum
Kuatnya dasar hukum tentang pentingnya
memberikan ruang dan penghargaan kepada para difabel juga menjadi pertimbangan
dalam bersikap. Dasar hukum yang mengatur difabel di antaranya adalah dalam UUD
1945 pasal 28 C (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Selain dari UUD di atas terdapat pula
dasar hukum dalam UUD 1945 pasal 31 (1) yang berbunyi: “Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan”. Serta pada pasal 5 UU Sisdiknas mengenai Hak
dan Kewajiban warga negara, (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus.
Erna Dwi Susanti, S.ST
Pekerja Sosial Pelayanan Terpadu Gerakan
Masyarakat Peduli Kabupaten/Kota Sejahtera
0 komentar:
Posting Komentar