Erna Dwi Susanti Personal Site

Home » » Menyoal Wajib Terdidiknya Anak Disabilitas

Menyoal Wajib Terdidiknya Anak Disabilitas

Hari ini konteks wacana kita terbingkai dalam sepotong kata “Disabilitas” yang dalam bahasa Inggrisnya memiliki arti Disability, berarti mempunyai cacat. Disabilitas dapat dikenakan beberapa sifat; mulai dari fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan atau beberapa kombinasi dari hal tersebut. Terminologi  disabilitas sendiri biasa dipergunakan sebagai istilah pengganti dari Penyandang Cacat. 
 

Sumber gambar : www.sdirj.sch.id

Dalam kehidupan bermasyarakat, individu yang menyandang disabilitas sering menerima perlakuan sebelah mata dari masyarakat. Termasuk di dalam perlakuan tersebut adalah munculnya pandangan masyarakat terhadap kaum difabel, di antaranya adalah mitos-mitos tentang difabel. Beberapa mitos yang ada di masyarakat antara lain; mereka dinilai sebagai pihak yang selalu bergantung kepada orang lain. Sehingga perlakuan orang pada umumnya terhadap penyandang difabel adalah dengan membuat mereka benar-benar tergantung kepada orang lain (tidak memandirikan). Penyandang disabilitas adalah kaum yang harus dikasihani, mereka diidentikkan dengan penerima santunan/bantuan karena keterbatasan yang dimiliki. Selain itu mereka juga terkadang dinilai sebagai pihak yang tidak berguna sehingga keluarga atau masyarakat yang ada di sekitar penyandang difabel enggan untuk berinvestasi pada mereka, seperti halnya tidak menyekolahkan atau tidak memberikan bekal keterampilan hidup. Keberadaan difabel juga sering dicap oleh masyarakat sebagai penyakit kutukan atas suatu dosa, sehingga dijauhi/dikucilkan oleh masyarakat. Bahkan kondisi yang demikian dinilai sebagai sebuah bentuk dari takdir yang pahit, dan berakibat pada tuntutan agar dilakukan penyesalan berlarut-larut.


Definisi Normalisme


Mitos yang berkembang di masyarakat seperti halnya tersebut di atas muncul di masyarakat karena berpegang pada satu asas wajib yang diterapkan di masyarakat.  Normalisme. Kembali mendefinisikan terlebih dahulu apakah sebenarnya definisi dari normalisme, normalisme yang diartikan sebagai perwajahan suatu paham yang mengakui adanya standar-standar kewajaran dengan menggunakan pendekatan generalisasi (sama rata), sehingga seseorang akan dikatakan tidak normal/tidak wajar manakala tidak memenuhi standar yang dipergunakan dalam suatu lingkungan tersebut. Paham ini pada mulanya diperkenalkan oleh para psikolog dan ahli-ahli medis untuk diterapkan kepada manusia, meluas dan sekarang dianut oleh masyarakat secara umum.


Ciri-ciri yang dipergunakan dalam normalisme adalah diukur berdasarkan standarisasi medis dan psikologis, bermuara pada pelabelan bagi mereka yang tidak sesuai dengan standar tersebut, treatment/rehabilitasii bertujuan menormalkan, yang tidak bisa dinormalkan lantas dianggap cacat, dan berujung pada stigma yang merugikan subjek yang dicacatkan.


Tolak Label Cacat


Cacat itu berarti tidak sempurna atau produk gagal. Cacat itu diartikan tak berguna, murah dan dibuang. Cacat itu juga diartikan tidak mampu. Padahal, mereka sebenarnya juga punya kapabilitas kalau diberi kesempatan. Menyebut orang cacat berarti mengingkari firman Tuhan bahwa manusia adalah makhluk yang paling semprna. Menyebut orang cacat juga berarti menganggap Tuhan lalai dalam menciptakan manusia sehingga muncul “gagal produksi”.


Kesadaran Kritis Masyarakat


Istilah difabel merupakan pengindonesiaan dari kependekan istilah different abilities people (orang dengan kemampuan yang berbeda). Dengan istilah difabel, masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman erhadap difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula.


Dengan pemahaman baru itu masyarakat diharapkan tidak lagi memandang para difabel (penyandang disabilitas) sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya, juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya.


Pendidikan merupakan salah satu solusi memberikan kesempatan tersebut kepada para difabel untuk memperoleh ruang kreativitas.


Dasar Hukum


Kuatnya dasar hukum tentang pentingnya memberikan ruang dan penghargaan kepada para difabel juga menjadi pertimbangan dalam bersikap. Dasar hukum yang mengatur difabel di antaranya adalah dalam UUD 1945 pasal 28 C (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.


Selain dari UUD di atas terdapat pula dasar hukum dalam UUD 1945 pasal 31 (1) yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Serta pada pasal 5 UU Sisdiknas mengenai Hak dan Kewajiban warga negara, (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.


Erna Dwi Susanti, S.ST
Pekerja Sosial Pelayanan Terpadu Gerakan Masyarakat Peduli Kabupaten/Kota Sejahtera

0 komentar:

Posting Komentar