Oleh : Erna Dwi Susanti
![]() |
Sumber gambar : foblog.psikomedia.com |
Berawal dari Apel Tritura di tanggal 15 Januari
1974 yang berujung pada peristiwa petaka Ibukota, jauh waktu sudah dirumuskan
gagasan-gagasan kecil, mulai dari diskusi 28 tahun kemerdekaan Indonesia
tanggal 13-16 Agustus 1973 yang menghasilkan kesepakatan untuk perlunya praktik
politik dan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah dengan bukan sekedar
diskusi-diskusi semata. Berlanjut pada diskusi petisi 24 Oktober 1973 jelang
peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan ‘Petisi 24 Oktober’ yang kemudian dibacakan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Beranjak ke 10 November masih di tahun yang sama, dalam rangka
peringatan hari pahwalan, para mahasiswa yang tergabung dari beberapa dewan
mahasiswa beberapa universitas kembali membacakan sebuah ikrar mengenai kesatuan
tekad dan peningkatan solidaritas sesama mahasiswa.
Dari tiga forum-forum mahasiswa tersebut dipantik
kobaran semangat demonstrasi para mahasiswa atas kedatangan ketua IGGI (Inter
Governmental Group on Indonesia), J.P. Pronk, sebuah organisasi bentukan
Belanda yang mengatur hutang Indonesia.
Pasca demonstrasi tersebut, sarjana-sarjana
sekaliber Mochtar Lubis, Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien yang terhimpun dalam
Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia kembali mengadakan mimbar-mimbar diskusi yang
menghasilkan sebuah ikrar yang disebut ‘Ikrar Warga Negara Indonesia’. Hingga
satu momentum kembali diciptakan, dipergantian 1973 ke 1974, Malam Tirakatan. Malam tersebut adalah peresmian pembakaran sumbu
kecil pergerakan secara terang-terangan untuk pertama kalinya. Hariman Siregar
dengan pidato yang berjudul ‘Pidato Pernyataan Dari Mahasiswa’ tampak lihai
membakar semangat para mahasiswa untuk peduli pada kondisi bagsa dan seruan
pengingat bahwa pemuda wajib bisa melakukan perubahan.
Dewan Mahasiswa dari berbagai universitas se Indonesia kembali terhimpun,
12 Januari 1974 mereka bertemu dengan Soeharto membawakan 6 (enam) tuntutan
terkait pemberantasan korupsi dan pembenahan ekonomi. Nihil, seolah tanpa
hasil. Diperparah citra tutup mata dan telinga Presiden kala itu dengan
datangnya Kakuei Tanaka, PM Jepang ditanggal 14 Januari 1974 ke Indonesia
semakin membangunkan macan tidur dari kandangnya, mahasiswa tergugah, mereka
bangun dan lantang bersuara atas nama perbaikan – pembenahan dan retorika
kepedulian pada Indonesia. Ibukota menjadi saksi demonstrasi mereka.
Puncaknya, tepat di 15 Januari 1974 para mahasiswa melangsungkan sebuah
apel akbar di halaman Universitas Trisakti dengan kembali membawakan tuntutannya.
Dalam apel tersebut Tritura Jilid II juga dibacakan oleh para mahasiswa; “Bubarkan Aspri, Hentikan Modal Asing, Hukum
para koruptor”.
Dua Muara dalam Belangga
Belangga huru hara kita masih sama, Malari – Malapetaka 15 Januari – namun
para pelaku sejarah telah meninggalkan fakta yang buta.
Aksi apel besar yang dipusatkan dihalaman Universitas Trisakti ini tadinya merupakan aksi damai, namun tanpa disangka yang terjadi adalah perbuatan anarki diberbagai tempat di wilayah ibukota. Mobil, motor dan produk elektronik Jepang semuanya dibakar, bahkan gedung-gedung dan pusat perbelanjaan di Senen, Harmoni, pun ikut dibakar. korban-korban berjatuhan, dari yang luka kecil bahkan sampai korban jiwa ada. Total terdapat 11 korban jiwa, 75 luka berat, ratusan luka ringan, 775 orang ditahan, 807 mobil dan 187 motor dibakar, 160 kg emas raib. Selain itu terdapat 144 gedung yang porakporanda termasuk gedung Astra Toyota Motors, coca-cola, Pertamina, dan puluhan toko di proyek Senen” (Kilas Balik Deskripsi Kejadian Malari)
Paradigma bebas memihak yang mana
menjadi hak seluruh warga ngara hari ini. Dihadapan kita ada 2 pernyataan, 2
pembelaan dan 2 pembenaran. Perspektif
aktivis dan perspektif birokrat.
Pihak
birokrat kala itu menyampaikan bahwa ini adalah sebuah strategi yang dimainkan
oleh oknum ketiga dengan tujuan mengisolasi pemerintahan dan menjatuhkannya, di
mana mahasiswa digunakan sebagai masa gerak. Justru dalam keadaan terisolasi
demikian, Pak Harto pun kembali ke ‘rumpun’ asalnya, militer. Dari situlah
militer mulai kuat memasuki lingkaran dalam pemerintah dan Pak Harto kembali
otoriter. Sedang di sudut pandang aktivis, Malari
adalah sebuah strategi kambing hitam pada mahasiswa, ada invicible hand yang disinyalir telah mengirimkan orang bayaran,
dimunculkannya provokator dalam aksi. Ali
Moertopolah sosok yang
terindikasi menghendaki peristiwa ini, namun sang pimpinan tertinggi negeri – Jenderal Soeharto tidak
luput dari dugaan pelaksana kekisruhan ini dalam rangka menghentikan aksi
mahasiswa yang
menyuarakan untuk dihentikannya penanaman modal asing dan anti asing serta
serangkaian tuntutan yang tidak didengarkan para
elite politik negara.
Demikianlah
ringkasnya sebuah pertanyaan sejarah akan telah dimatikan jawabannya seiring
dengan matinya juru kunci, Soeharto. Dalang pewayangan Orde Baru yang paham apa
dan bagaimana kejadian petaka di periode kepemimpinannya. Maka dengan demikian,
sebuah kejujuran pada sejarah hanya akan menjadi saksi bagi mereka yang telah
jujur mendefinisikan sejarah atas suara kebenaran. Bukan sebuah ekspektasi
untuk membela dan mencari plagiat serta penguat. Maka biarkanlah Indonesia
mengulang Malari-malari kecil hari ini, jika rugi, biarkanlah kerugian itu atas
nama Indonesia seluruhnya, bukan hanya kerugian yang
harus ditanggung rakyat jelata
Indonesia saja. Rakyat
yang menjadi hamba dari kalangan paduka.
Dan semoga kita tidak luput melihat juga, sesudah Malari,
di tahun berikutnya, terjadilah overkill di Pembatasan Modal Asing.
Pembatasan-pembatasan semakin diperketat
oleh pemerintah. Daftar larangan investasi dalam negative list semakin diperpanjang.
Kata birokrat juga, “Bukankah tidak ada salahnya presiden
memiliki tim penasihat? Bahkan
Presiden Amerika Serikat pun memiliki special
advisor. Kalau kepala negara tidak memiliki personal staff, lama kelamaan ia akan terjepit sendiri.
Manapun
perspektifmu, gunakan semangat malari untuk pedulimu pada negeri! Bukankah sosok seperti Hariman Siregar masih menjadi
niscaya untuk kembali dikobarkan? (Erna Dwi Susanti)
0 komentar:
Posting Komentar