![]() |
Sumber gambar : id.gofreedownload.net |
Anak tidak pernah salah, kesalahan yang dilakukan anak adalah upaya untuk menutupi lubang yang digali orangtuanya. Selamanya, anak tidak pernah salah.
Definisi cerdas untuk sebuah estimologi ‘anak’. Masih mendasar pada aturan perundangan, kluster anak adalah usia 0-18 tahun dan belum menikah. Hingga detik ini, segudang pasal dalam Undang-undang yang mengatasnamakan perlindungan anak. Muncul lah banyak tata aturan baru. Anak haruslah dilindungi. Anak tidak pernah salah, anak dan anak adalah cermin siapa orang tuanya.
Cintai Anak Indonesia, Beri Cinta Sepenuh Jiwa
Setahunan lalu, Undang-undang No 23 Tahun 2012 memberikan pertimbangan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi mud
a penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Tutur pertimbangan demikian melengkapi harapan yang tertumpu pada anak bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Lantas satu strategi yang ditawarkan untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Hingga kini, saatnya kedua bola mata berbicara setelah dia melihat fakta. Apakah gerangan tragedi yang menyentuh bidadari kecil yang tak pernah salah itu? Eksploitasi dengan riangnya tengah merajalela. Jual beli anak bukan menjadi permasalahan yang gelap. Terang kenyataan itu muncul.
Gersang, Miris, dan Tragis
Jika dulu, beberapa waktu setelah warisan orde baru masih ada. Di bangku Sekolah Dasar, dengan bangga, ragu, atau bahkan malu seorang anak masih ditanya “Apa pekerjaan ibumu?”, namun kali ini 180 derajat jangka harus dimainkan, kita putar keadaan hingga wajar terlontar pertanyaan “Apa pekerjaan anakmu?”.
Dengan senyum lebar tanpa tabir, sang ibu akan bangga menjawab “Itu mengemis di perempatan X”, “Ngamen di lampu merah Y”, “Masih nongkrong aja sambil kadang nyemir sepatu di depan kantornya Pak Z”.
Miris melihat realita, fakta memang jarang berdusta. Himpitan ekonomi dengan bendera kemiskinan mengantarkan mereka para pemain kesengsaraan melakukan eksploitasi pada anak.
Terang lah sudah, jika ini benar siapa yang membenarkannya, jika ini salah siapa yang mempertanggungjawabkannya. Terang lah sudah, bukankah anak tidak pernah salah? Cintai anak Indonesia, beri cinta setulus jiwa. (Erna Dwi Susanti)
Telah dimuat di : http://news.okezone.com/read/2013/07/24/95/841590/anak-malaikat/large
0 komentar:
Posting Komentar