Erna Dwi Susanti Personal Site

Komandan Terpaksa Bangkit





Oleh : Erna Dwi Susanti


Komandan,
Sudah bukan nyawa dari sebuah senjata
yang akan kami perbincangkan,                 
peluru sudah lancang mengumandangkan petakanya,
jika garis kiamat sudah terencanakan
maka busuknya jahanam yang akan kami suarakan.


Sudah bukan aroma darah segar
yang kami perdebatkan,
lincah tangkas mesiu tengah dideklamasikan,
hanya jika liciknya otakmu dua detik berbaik hati
cukuplah belati jadi penyangga berdiri


Merdeka 100 % sudah dimakamkan,
satu kata, Lawan! Sudah dihilangkan,
kabar liar yang mulai dituan agungkan,
sumbang inilah yang merintiskan ajaran
bangkit itu keterpaksaaan.


Untuk sebuah harga diri bangsaku, Indonesia. Bangkitlah dari kebangkitan konvensional.
20 Mei 2014 _ Sragen

Etika Menyapa



 “Mbak, mas, de, teh, kang, uda, uni, kak, abang, ayuk.......dll.”

*) Beberapa orang mungkin mempertanyakan, risih, tidak suka dengan label yang selalu saya sertakan dalam berkomunikasi – tegur – sapa - dengan mereka. Terkesan ada barier, sekat atau ternilai formal dan banyak keluhan lainnya. Hari ini, sebab itu akan perlahan saya jelaskan. Semoga tak ada dusta antara kita. Hahahaha. Simak nah!

 Sumber gambar : 4antum.wordpress.com
Ajaran konseptual paten dalam sapa - menyapa secara jujur belum pernah saya temukan. Ketika menilik kembali pada keberadaan norma (aturan) dalam masyarakat, di mana ada norma hukum, agama dan adat istiadat, mungkin dari sinilah muara prinsip ‘etika menyapa’ itu saya pergunakan.

Pertama dalam wujud ketaatan beragama, agama mengajarkan bagaimana memberikan penghormatan kepada sesama, harga menghargai dan tidak saling sakit menyakiti. Kemudian dalam tata aturan hukum, adanya beberapa peraturan mendasar di negeri ini yang mengharuskan meletakkan penghargaan dalam aspek kemanusiaan agar muncul kemartabatan, dan saling kasih mengasihi. Hingga menuju pada aspek sosial – adat istiadat. Inilah yang secara tidak tertulis namun menjadi penyeimbang bagi mereka yang belum sadar akan norma hukum pun norma agama.

Bagaimanapun, keberadaan adat istiadat yang memberikan hukuman bagi pelanggar berupa sanksi sosial. Oleh beberapa kalangan, norma adat dinilai sebagai sanksi yang paling menjadikan jera seseorang maupun kelompok masyarakat. Sama halnya dengan sebuah budaya menyapa dalam pembahasan kali ini. Jera, itulah awal sebab saya harus berpura-pura dalam etika.

Dilahirkan di tengah keluarga dengan kultur kejawen (syarat budaya jawa). Setidaknya meminta saya menjadi seorang anak yang pura-pura paham etika. Dengan terbuka saya mengatakan sebagai tindakan pura-pura. Karena pura-pura adalah suatu aktivitas melakukan sesuatu untuk menutupi sesuatu, secara pribadi demikian itulah saya mendefinisikannya. Kenapa pura-pura? Kalau saya tidak mengikuti pola aturan yang ditetapkan di keluarga maka beberapa sanksi (meskipun tidak pernah memberatkan, tapi kalau keseringan juga berat) harus saya tanggung. Dan itulah yang menjadikan saya jera untuk melanggar, hingga akhirnya saya memilih untuk ber-pura-pura saja.

Singkat gambarannya;

Ibu dan Bapak tidak pernah mengijinkan anaknya (kakak ataupun saya) untuk saling sapa dengan langsung sebut nama. Tidak sopan. Itulah dua kata yang sampai detik ini menjadikan saya jera. Di masa golden age (yang menurut para ahli psikologi dihitung dari 0 – 5 tahun) itulah didikan ini saya dapatkan; tahu apa anak balita dengan arti dan definisi paten sebuah etika dan sopan santun?. Ya, karena takut diberi sanksi pengurangan jatah uang jajan atau sekedar di larang main sudah menjadi ancaman yang menakutkan tersendiri bagi saya di kala itu.

Mikirnya, kalau dikurangi uang jajan gue jajan pake apa bro sist? Kalau dilarang main, bakalan tua dalam rumah dong ane nantinya? :v hehhehe.

Karena terpaksa, saya memilih berpura-pura; pura-pura memanggil mbak untuk kakak perempuan bahkan ke saudara-saudara dari Bapak ataupun Ibu yang secara usia berbeda beberapa waktu di atasku. Tidak harus berbeda tahun atau bulan, berbeda hari pun saya sudah diwajibkan menyapanya dengan sapaan mbak, baru kemudian disertakan namanya. Dan saya mengikutinya, meskipun dengan pura-pura. Begitupun untuk yang laki-laki, saya harus dengan ikhlas memanggilnya mas. Dan sebaliknya, kalau usia di bawah usia saya harus memanggilnya dengan adik, dek. Tidak boleh asal sapa nama, meskipun ia jauh lebih muda.

Berangkat dari kepura-puraan itulah akhirnya tindakan itu tengah melembaga dalam diri saya. Menjadi kebiasaan dan pembiasaan tanpa kesadaran. Ya, dampaknya masih saya rasakan sampai sekarang, alangkah tidak bisanya, alangkah beratnya dan betapa merasa bersalahnya ketika saya berhadapan dengan orang dan harus menyapanya langsung dengan nama. Ora nduweni sopan santun. Itu yang saya framekan dalam pikiran.

Beberapa di antara kalian, teman-temanku banyak yang protes “Jangan pakai mbak/teh gitu lah, usia kita kan gak beda jauh”, “Hei kita seumuran keles, please dong jangan pake kak”, dan tak jarang beberapa teman atau senior yang menaruh curiga ketika aku menyebutkan nama rekan atau senior organisasi – organisasi dengan nama “Mas X” “Kang Y”, “Kak Z” langsung tatapan curiga dan pertanyaan interogasi diarahkan, “Kok, mas?” emang ada apa Erna dengan X?” == Ada perbedaan frame yang tampak dalam ranah ini.

Ah, masih banyak hal lucu dan lugu yang menjadi bumbu etika menyapa etika pura-pura ini. Buat  kalian, ini alasanku. Gak ada niatan untuk minta dipahami tapi cukuplah kalian mengerti (ah, sama aja, hehheehe). Udah ya, ini ditulis dengan harapan “Biar tak ada dusta, biar tak ada curiga, biar tak ada salah rasa antara kita”. Saya menyapa kalian menurut etika yang saya anggap benar. Tapi saya tak pernah meminta kalian menyapa saya dengan mbak atau de, cukuplah sapa saya dengan nama “Erna”. (Udah gitu aja). :v

Erna Dwi Susanti – Sragen, 11 Mei 2014 :: 22:22

Aku juga pernah SMA



De, selamat ya atas kelulusanmu. Mungkin tadi malam orangtua dan keluarga besarmu juga sudah mengadakan syukuran. Hiruk pikuk berbagai makanan disajikan. Menu yang biasanya menjadi agak luar biasa, berbeda. Tetangga – tetanggamu pun tampaknya juga menemukan sosok yang tak sama, biasanya muka masam gak ketulungan yang kau pasang, namun kali ini senyum lebar berhias kebahagiaan besar yang kau haturkan. Seolah kau ingin teriak dihadapan mereka. “Hoey, gue udah lulus SMA”.

Sumber gambar : phinueisal.wordpress.com
 
 Iya, memang itu tidak salah dan gak bisa disalahkan. Karena memang wajar, setelah sekian bulan ditekan, dihantui galau kelulusan akhirnya kalian paripurna, dinyatakan lulus dari hasil Ujian. Menyenangkan.

Sama. Lima tahunan yang lalu, 2009 kalau tidak salah. Aku pernah merasakan perasaan yang serupa. Lulus SMA dengan nilai yang menentramkan pula. Tapi kita sedikit berbeda, orangtuaku sangat mewanti-wanti untuk tidak ikut konvoi dan ugal-ugalan di jalan. Jaket sudah disiapkan di atas sepeda motor. “Jangan dilepas sampai kamu pulang”, itu pesan mereka.

Oh, baru aku paham. Mereka tidak ingin aku berhura-hura karena kelulusan.

Sampai di sekolah, sebelum pengumuman di sampaikan. Dewan guru sudah memberlakukan aturan paten, “Tidak boleh ada 1 pun anak-anak dari almamater ini yang corat coret, hura-hura dan konvoi di jalanan”. Okay. Ternyata semua aman terkendali. Tak adapun satu cat pilok yang bertengger di seragam SMA-ku. Dan hingga kini. Tiga stel seragam itu masih tersimpan rapi.

Itulah de, ceritaku. Kalau kemarin kamu bilang, “Aku kan kelulusan jadi wajar dong kayak beginian”, -- iya, kamu benar. Aku pun juga pernah SMA, pernah kelulusan tapi menilai tindakan kayak gitu sangat tidak wajar.

Sempet juga aku dengar, “Bentar lagi kan sudah gak bareng-bareng, masa SMA sudah gak akan dilewati., biar dari baju ini jadi kenangan” – Iya, Aku pun juga pernah SMA. Tanpa coretan warna warni itu, baju SMA ku juga masih bisa bercerita tentang sejarah SMA.

De, banyak sekali aktivitas yang jujur, ‘aku merasa risih’ melihatnya. Bukan karena merasa lebih baik dari kalian. Tapi dalam skala kebaikan tampaknya tidak pernah salah kalau aku mengingatkan. Tantangan di depan masih panjang, gerbang ujian sebenarnya juga masih banyak. Ini hanya ujian kecil yang sempat memenjarakan logika kejujuran dan keikhlasan kalian. Baju itu masih layak kalian wariskan, kalian berikan pada adik kelas atau orang-orang yang lebih membutuhkan. Kegiatan brutal dan teriakan nakal di jalanan hanya sebentar saja kalian rasakan.

Dari sisi solidaritas, apa tidak terasa perihnya luka kawan kalian yang teriris karena ketidaklulusan? Jika atas nama perayaan semua ini kalian lakukan, maka ijinkan aku membawa nama kebangkitan mengajak kalian benar-benar bangkit dari pemikiran konvensional.

Sebagai seorang yang pernah tertekan dalam dunia pendidikan, aku turut bahagia. Setidaknya satu jenjang pendidikan formal sudah kau tuntaskan. Merdekakanlah pikiran kalian, merdekakanlah dari pola mengekor pada suatu yang tak jelas manfaatnya.

Jika mental ini masih terbawa sampai kalian mahasiswa, jangan pernah meminta moral agen of change tersematkan di pundak kalian. Indonesia tak butuh mahasiswa yang egla egle (red – jawa : Gak taat aturan, semau gue).

Erna Dwi Susanti
Sragen, 20 Mei 2014

Jalan Menuju Diri Sendiri (Lagi)





Oleh : Erna Dwi Susanti

Menjadi diri sendiri, itulah hal yang paling menyenangkan. Tidak ada tuntutan untuk harus perfect seperti idola, tidak harus menderita karena ada keinginan untuk tampil sama. Menjadi diri sendiri adalah apresiasi atas sebuah kehendak dalam berpikir, dalam berpendapat dan dalam bertindak. Kalau bahasanya Pak Tan Malaka “Merdeka 100%”. Itulah pencapaian kalau kita menjadi diri sendiri. Setidaknya merdeka atas diri sendiri.

Itulah sebab, setelah merasakan nyaman dengan suatu kegiatan. Yang setelah berulang-ulang aku rasakan ternyata menyenangkan. Di sanalah mulai aku dapatkan siapa diri aku. Menulis.

Mungkin, orang banyak yang beranggapan. Menulis adalah kegiatan yang identik dengan kalangan akademisi, orang pintar yang suka berdiplomasi, para penggiat akademisi dan tataran ilmuwan-ilmuwan peradaban. Terlepas dari suka atau tidak suka, benar atau tidaknya tak akan terlampau jadi pertimbangan. Aku nyaman dan aku senang. Inilah kegiatan yang akhirnya aku sebut sebagai ‘hobi’. Menulis.

Zat adiktif apakah yang sebenarnya telah menyihirku dan menjadikan kegiatan ini sebagai candu, aku tak tahu. Siapakah motivator yang telah tega menjerumuskan aku dalam kubang kenyamanan seperti ini. Apapun itu, siapapun itu aku bersyukur diantarkan ke titik ini. Menulis.

Setiap ada seminar pun pelatihan tentang jurnalistik, sastra dan kepenulisan apapun selalu dengan ringan aku ikuti. Setiap ke toko buku, bursa buku atau book fair yang terkait dengan kepenulisan selalu menarik pandanganku, menjadi prioritas pilihanku. Sungguh sihir yang nyata. Tampaknya virus gila itu tidak berhenti di sini, kompetisi-kompetisi apapun tentang menulis kuikuti, ada yang menang dan banyak yang kalah. Namun prinsip ‘jam terbang adalah penentu kualitas tulisan’ menjadi motivasi kuatku kala itu.

Sastra, genre itulah yang pertama kali aku sukai. Saat usiaku masih pantas duduk di kelas 3 SD. Aku tidak berharap karena kakek yang seorang senimanlah aku suka dunia seni. Hingga jaman SMP kegilaanku pada dunia sastra, terlebih puisi semakin menjadi-jadi. Banyak kawan yang suka diksi-diksiku, tapi keluhan yang mereka utarakan sama “aku gak bisa memahami maksudnya”. Ah, mungkin aku gak layak jadi sastrawan.

Sampai di masa setelah aku tertarik di dunia politik, inilah puncaknya kegilaanku. Mungkin. Kalau buku tamu perpustakaan itu harus kuisi setiap hari mungkin sampai tutup buku nama pengunjung terajin adalah Erna. Bukan rajin karena mencari literatur mata kuliah, tapi sibuk membaca tiga koran langganan perpustakaan kampusku. Jadi ada empat jenis koran yang aku kepoin setiap harinya. Gila banget ceritanya. Satu koran langganan sendiri, tiga koran langganan kampus. Dan yang jadi serangan pertama selalu headline, tajuk berita dan opini hari ini. Dari sanalah akhirnya aku menjadi seorang politikus amatiran, sastrawan amatiran yang banting stir ke politikus, amatiran juga. Setelah asik membaca, nuansa panas di otak aku ketikan saat itu juga. A-B-C-D. Edit. Edit. Dan kirim. Sebelum jam 12.00 siang opini sudah aku kirimkan ke redaksi media cetak.

Inilah kegilaanku berada di puncaknya. Ilmu di kampusku, seolah semakin memanjakan ide liarku. Analisis kebijakan sosial, masalah sosial dan masalah pengembangan sosial kemasyarakatan semakin menguatkan dalil dan opiniku. Satu dua dari tulisan ada yang tembus media. Tak jarang juga ada opini yang dikembalikan redaksi. Ah, aku tak merasa sakit hati, semakin tertantang untuk kirim dan kirim lagi. Hingga akhirnya ada beberapa media yang memberikan tempat khusus, dan selalu menerima tulisan kirimanku. Di samping media cetak, media online menjadi lahan basah untuk menumbuhkembangkan kegilaanku itu.

Inilah folder lama yang aktif aku operasionalkan sampai pertengahan tahun 2013. Mulai dari kegilaan menulis buku, ikutan kompetisi, mengumpulkan seluruh ide yang belum terjabarkan dalam bentuk tulisan, opini, tulisan-tulisan buat nge-broadcast, dan lainnya.


Lain dulu, lain pula yang sekarang. Momentum apa sebenarnya yang membuat putaran jangka itu sedikit berubah. Ada yang hilang. Apa? Entahlah. Seolah telah hadir seorang Erna dalam tempurung, bukan Erna yang sesungguhnya. Hanya bisa memaksa diri menjadi diri sendiri lagi, sembari mencari tau sebab kenapa aku berbeda. Muncullah beberapa kemungkinan yang aku coba pahami dan siasati.

Dan sekarang, ketika zona sudah berbeda. Saat beban dan tuntutan kerja sudah tak sama. Pola pendidikan yang aku gunakan untuk diri sendiri juga sudah berbeda. Karena suatu yang monoton itu tak menyenangkan. Beralihlah dari Local Disk (D;) menuju ke Lokal Disk (E;). Nama folder yang aku gunakan sudah tidak se-soft dulunya. Mungkin akan muncul kontroversial, tapi segala hal terkait aku dan passion aku maka aku rasa aku lebih bisa memilihnya. (Mulai egois ini). Tapi itulah faktanya.

Kesadaran akan menulis, mulai luntur. Banyak sebab yang melatar belakanginya. Tak etislah kalau satu persatu kuuraikan di sini. Khawatir ada satu di antara kalian yang merasa bersalah. Hahaha, enggak lah. Semua itu karena beberapa hal yang mengalihkan dunia menulisku. Baca? Hmm, lumayan, tapi bukan sebab utama. Karena jumlah bacaan itu rata-rata sebanding dengan jumlah tulisan.

Ada hal yang lebih menyita perhatianku sepertinya.

Dari sanalah, selain kewajiban dari Agama dan negara. Ku tetapkan sebuah kewajiban bagi seorang Erna untuk menulis setiap harinya. Minimal sehari satu artikel seperti awal mula aku menambahkan folder “KARYA”. Kalau setelah dicek hampir satu pekan tidak ada tulisan, itu artinya dalam sehari harus ada keberanian untuk mengganti tulisan di hari sebelumnya. Pakai sistem bayar ganti rugi pelanggaran. Terkesan jadi seorang militer untuk diri sendiri sebenarnya. Tapi ada keyakinan tersendiri, kalau tidak dengan jalan seperti ini bagaimana lagi aku mendidik diri untuk merasa butuh membaca dan menulis?





Di folder wajib menulis inilah, aku simpan beberapa folder juga. Mulai folder 2013 dan folder 2014. Dan tak dapat kuuraikan lagi, ada folder apa saja di dalam kedua tahun tersebut. Jelasnya, dari masing-masing folder aku simpan sebanyak 12 (dua belas) folder. Dalam masing-masing folder bulan aku simpan 30 – 31 folder, dengan penamaan sesuai dengan tanggal. Ah, rumit memang tapi ini jauh lebih menyenangkan daripada aku harus mengurung diri karena penyesalan.

Kenapa jarang mulai dipublikasi?

Insya Allah akan segera dalam waktunya. ^_^