Dinasionalkan
hari khusus untuk mengagungkan dan menjadikannya spesial. Diperingati sebagai
momen penghargaan dan penegasan kembali bahwa memang perlu alarm untuk
membagunkan apa yang terlelap. Sebagaimana keberadaan Ibu dihadirkan satu hari
untuk hari ibu, kemerdekaan RI supaya suasana dan semangat juang para pahlawan
tetap ada maka ditempatkan satu hari kemerdekaan, demikian pula untuk sumpah
pemuda, kebangkitan nasional, pendidikan, buruh, tembakau dan momen penting
lainnya. Tidak banyak yang diharapkan hanya sekedar sebagai alarm peringatan.
Sama halnya dengan tingkah lucu, lugu, polos, dan genuine dari anak yang layak
diperhatikan masa emas perkembangan dan perjalanannya yang setiap 23 Juli
digelorakan dengan hari anak Nasional. Selamat.
Setali
dua uang, pengharapan demikian pulalah yang hendak disampaikan oleh petinggi
utama Indonesia. Agar anak Indonesia di masa depan bisa banyak prestasinya dan
juga menjadi pribadi yang unggul dan sejahtera maka terucap nasehat dalam pidato Presiden dalam Theater Imax Keong Emas, TMII, Jakarta
Rabu 29 Agustus 2012 kemarin “kita berkewajiban memenuhi hak anak kita”.
Berhenti berpidato lantas tertunjuk satu tangan pada seorang tunas emas yang
terlelap tidur ditengah beliau sedang antusias dan semangat berpidato; kemudian
mengucapkan permintaan pada orang tua anak yang bersangkutan untuk membangunkan
generasi emas yang terlelap tidur di sampingnya. Entah bernagkat dari pikiran
tidak inginnya petuah emas itu terlewatkan oleh anak-anak yang saat itu hadir
atau berharap totalitas semua audiens terpusat padanya, mendengar, mencerna dan
menelan pidatonya.
Tak
lama kemudian berlanjut dengan teks pidatonya “mengasuhlah dengan penuh kasih
sayang”.
Wow,
apa-apaan? Tak kaget, karena inilah Indonesia. Inilah aparatnya dan inilah
pemimpinnya. Menyadur ungkapan wartawan tribun “teguran memanglah baik untuk
perbaikan kita ke depan. Namun teguran kepada anak-anak dalam suasana tersebut
sepertinya tidak perlu disampaikan. Biarkan anak-anak dengan dunianya”.
Sekilas,
memang halus dan simpel apa yang diucapkan; tapi ada hati yang teriris di sana.
Ditegur ditengah hadapan umum, orang tua mana yang tidak merasa malu dan
terjatuhkan? Saat semua mata hadirin tertuju padanya, saat sorot redup RI 1 mengarah
ringan namun tajam tepat di hadapannya. Dengan sekuat tenaga menahan malu guna
memenuhi seruan presiden untuk mendidik dengan penuh kasih sayang, memenuhi
hak-hak anak sehingga terucaplah intonasi meninggi yang tertekan, “Nak,
Bangunlah! Bunda Malu pada Presiden!
Kembali
mengungkap sejenak tentang apa yang digaungkan oleh Abraham Maslow. Pengakuan
orang lain yang merupakan salah satu sumber hadirnya harga diri sebagai kebutuhan tertinggi dari seorang
Individu. Aktualisasi diri mungkin telah terinjak, dan seiring dengan itu pula
masyarakat Indonesia lebih bisa mengetahui seperti apa budaya Indonesia masa
kini.
Spekulasi
yang bertaburan; mungkin memang itulah salah satu bentuk protes sindiran anak
akan wakil rakyat yang mewakilinya. Atau mungkin anak-anak yang hadir tidak memahami
tentang apa yang dipetuahkan RI 1 dalam pidato resminya; kalau berkenan
disarankan bahasa-bahasa pidato kala itu lebih tepat digunakan untuk pembukaan
smart parenting dan training-training pengasuhan orang tua dan momen-momen
sebangsanya.
Bijaklah
kalau mau berbaik sangka berapa lama persiapan yang mereka lakukan untuk
mempersiapkan dan berusaha menghadiri acara peringatan tersebut. Mungkin mereka
lelah persiapan atau juga mungkin mereka tak mengerti dengan pidato yang
disampaikan. Berevaluasilah presidenku. Berevaluasilah pemimpinku. Dan
berevaluasilah Indonesiaku.
Biodata Penulis;
Erna Dwi
Susanti|Aktivis KAMMI Bandung|Mahasiswa STKS Bandung
Ern Hidayatul Ulya
0 komentar:
Posting Komentar