Apa yang menjadi
sebab, apa yang menjadi akibat, dan apa yang membersamai proses keduanya?
Itulah pertanyaan klasik yang sebenarnya dan yang seharusnya dibawa dan
senantiasa digunakan untuk standar perilaku seseorang. Seorang pribadi yang mendambakan
cerita indah ternama kesantunan dan kesopanan.
Akan ada analisa
dan pertanyaan yang tertuju pada diri masing-masing, apakah sebab sehingga ia
bisa berlaku sedemikian? Apa yang akan jadi akibat atas kelakuannya dan apa
yang membersamai dirinya sampai ia tuntas melakukan suatu tindakan. Unsur-unsur
demikian juga bisa digunakan untuk barometer muhasabah dan evaluasi diri.
Berulang
sebenarnya sudah ada kesadaran dari dalam diri, kenapa setiap barang yang
berpola datar, polos, simpel, monoton, satu warna, tidak terlampau aku sukai?
Hmm, sewajarnya aku harus bisa memahaminya. Karena keadaan ini tidak terjadi
satu, dua atau tiga kali saja. Tapi terus menerus, berulang di setiap
kesempatannya. Ide jahil selalu mengikuti tangan ini.
Sewaktu masih
duduk di bangku SD, layaknya anak kecil yang hobi beli mainan, terlebih
sticker-sticker kecil bergambar boneka cantik, yang pada saat itu sedang
populer hello kitty selalu aku hampiri lapaknya di setiap siang sepulang
sekolah. Tidak jauh, ada di halaman sekolah dipojok timur laut. Tentunya aku
tak sendiri, bersama teman-teman bermainku yang mayoritas laki-laki aku
menyambanginya. Menghabiskan uang saku yang sudah tak sebanyak tadi pagi. Tak
apalah, setidaknya 5 biji sticker bisa kubawa pulang setiap harinya.
Sesampai di
rumah, membanting tas panda bermodel ransel itu ke atas tempat tidur. Melempar
sepatu sekenanya ke atas rak sepatu dan segera berlari aku ke depan lemari hias
yang baru beberapa bulan di beli orang orang tua. Menempel sesukanya,
membentuknya dengan seni ala kadarnya anak SD. Tak kaget, tentulah ceramah
teguran dan nasehat sekian puluh menit mengalir menjadi dongeng pengantar tidur
siangku. Entahlah begitu bandelnya aku. Tapi itu semua terjadi karena satu
sebab, aku tak suka melihat yang polos.
Demikian pula
hingga di SMP, ketidaksukaanku pada hal yang polos, monoton dan tertekan khusus
pada kebendaan masih berlanjut. Tas ransel bentuk panda itu sudah dipandang
Ummi, tak selaras dengan usiaku. Meski aku tak meminta, aku dibelikan tas pinky
yang tampaknya memang terdesain khusus untuk perempuan, atau ABG muda lebih
tepatnya. Tas berslempang satu, dikenakannya pun disamping, meski ada gambar
boneka manis berjudul monokurobo tapi tanganku ini masih belum tenang
melihatnya. Otakku sedikit beputar, meraih benang-benang hias yang ada di loker
lemari Ummi, mengambil dan di slempang itu aku bubuhi tusuk-tusuk hias yang aku
pelajari di bangku SMP kelas 1, ada tusuk rantai, tusuk flanel, tusuk pipih,
tusuk silang dan bebebapa tusuk hias lainnya aku gunakan. Wal hasil, marah
besar Ummiku saat itu, tas yang baru beberapa hari dihadiahkan untukku sudah
aku permak sedemikian rupa. Ah anggap saja angin lalu.
Lepas dari
gudang kebandelan ketika di SMP, aku menginjakkan kakiku di SMA yang favorit di
kota. Hmm, meskipun terkesan aku dijerumuskan (dipaksa) masuk ke sana. Ide
jahil tanganku ini masih belum bisa berhenti. Daripada dengan langkah terpaksa
mengikuti pelajaran kimia, matematika dan fisika mending meloloskan diri dengan
surat dispensasi kegiatan dari beberapa oraganisasi siswa di kampus. Ya,
kemungkinan sebagian besar guru mengenalku bukan karena apa-apa, tapi akan
mengenal sebagai siswa yang namanya rajin tertumpuk di atas meja mengajarnya
untuk diijinkan tidak mengikuti pelajaran selama sekian hari karena harus ke
kota A, ke kota B, C dan D. Ya, ini momen yang aku suka. Meski tentunya orang
tua tidak menghendaki aku berkiprah dan berjaya di SMA dalam aspek organisasi
dan melupakan akademikku. Tak apalah, ikhlas yang penting tidak duduk layaknya
robot ketika harus mengerjakan tugas-tugas kimia dan fisika, tidak harus duduk
tegar seperti duduknya kalkulator saat menyelesaikan tugas matematika. Dan dari
beberapa kegiatan yang aku ikuti, banyak cinderamata yang aku bawa pulang.
Mulai dari cinderamata khas kegiatan, piala-piala kejuaraan, sticker lokasi,
foto-foto kebersamaan dan beberapa kenangan dokumentasi lainnya. Dan
keseluruhannya lagi-lagi aku pasang di lemari hias andalan yang berdiri kokoh
di ruang utama, menempelnya ke dinding luar kamar yang langsung bersinggungan
dengan ruang tamu dan sudah aku klaim sebagai galeri perjuanganku. Ah,
bandelnya aku.
Melaju di ranah
perguruan tinggi tampaknya semakin menjadi. Yang dulu setidaknya masih ada
aba-aba agar tidak kian menjadi parah keusilanku (dengan jengah melihat yang
polos), kini aku tak dikontrol siapapun. Teman kostan segaris dengan
teman-teman SD sampai SMA ku, mereka mendukung dan justru mengatakan aku
sebagai anak kreatif atas kejahilanku. Hmm, entahlah tapi aku merasa enjoy
dengan kebandelanku (upss, maaf ummi; tak ada niat dari anakmu ini tak
menghiraukan nasehatmu. Peace. heheheh). Mendapat hadiah sebuah tas laptop
tentulah menjadi keuntungan tersendiri. Ya setidaknya aku tak harus
mengeluarkan uang lagi untuk mengalokasikan belanja barang tersebut. Tapi, lagi-lagi
tas itu polos, tak bermotif sama sekali. Dan ukurannya 14 ‘inch. Hmm, is not
suitable for mine. Ambil gunting, memotongnya dan menyamakan ukuran dengan
laptop, menjahitnya kembali, membubuhkan kain perca dan jreng-jreng... Aku
punya tas laptop dengan desain yang baru. Hmm senyum lebar sudah bisa aku
hadirkan. Ah, lagi-lagi aku bandel.
Beberapa hari
kemudian liburan sudah dimulai, kesempatan untuk pulang ke kampung halaman
sudah di depan mata. Duabelas jam perjalanan telah membawaku kembali menghirup udara
di kampung halaman. Sambutan hangat dari kedua orang tua aku rasakan. Sebelum
istirahat aku putuskan menata pakaian dari dalam koper ke lemari. Ummi
membantuku, karena tampaknya masih lekat diingatan beliau, anak bungsunya ini
belum bisa mandiri. ^^. Dan tanpa kusadari tas laptop dengan desain terbaru itu
sudah berada di tangan Ummi. Wow, spot jantung saat itu. Khawatir Ummi akan
memarahiku lagi, tapi ada senyum tipis yang berhasil kuintip di sana, gelengan
kepala masih ada. Yaa Rabb, maafkan hamba yang masih suka bandel dengan ide
jahil ini. Ummi (panggilku dengan nada memanja, dan.... ^^, pelukan hangat dan
bisikan kecil itu aku dengarkan. Lanjutkan kebandelanmu, sholehah.
Dan aku
bersyukur, ummi mendukungku. Semoga bisa jadi seorang pengusaha ^^
Bandung, 11
Agustus 2012
Ern Hidayatul
Ulya
ernastksbandung@yahoo.co.id
0 komentar:
Posting Komentar