Erna Dwi Susanti Personal Site

Home » » Bandelnya Aku

Bandelnya Aku



Apa yang menjadi sebab, apa yang menjadi akibat, dan apa yang membersamai proses keduanya? Itulah pertanyaan klasik yang sebenarnya dan yang seharusnya dibawa dan senantiasa digunakan untuk standar perilaku seseorang. Seorang pribadi yang mendambakan cerita indah ternama kesantunan dan kesopanan.

Akan ada analisa dan pertanyaan yang tertuju pada diri masing-masing, apakah sebab sehingga ia bisa berlaku sedemikian? Apa yang akan jadi akibat atas kelakuannya dan apa yang membersamai dirinya sampai ia tuntas melakukan suatu tindakan. Unsur-unsur demikian juga bisa digunakan untuk barometer muhasabah dan evaluasi diri.

Berulang sebenarnya sudah ada kesadaran dari dalam diri, kenapa setiap barang yang berpola datar, polos, simpel, monoton, satu warna, tidak terlampau aku sukai? Hmm, sewajarnya aku harus bisa memahaminya. Karena keadaan ini tidak terjadi satu, dua atau tiga kali saja. Tapi terus menerus, berulang di setiap kesempatannya. Ide jahil selalu mengikuti tangan ini.

Sewaktu masih duduk di bangku SD, layaknya anak kecil yang hobi beli mainan, terlebih sticker-sticker kecil bergambar boneka cantik, yang pada saat itu sedang populer hello kitty selalu aku hampiri lapaknya di setiap siang sepulang sekolah. Tidak jauh, ada di halaman sekolah dipojok timur laut. Tentunya aku tak sendiri, bersama teman-teman bermainku yang mayoritas laki-laki aku menyambanginya. Menghabiskan uang saku yang sudah tak sebanyak tadi pagi. Tak apalah, setidaknya 5 biji sticker bisa kubawa pulang setiap harinya.

Sesampai di rumah, membanting tas panda bermodel ransel itu ke atas tempat tidur. Melempar sepatu sekenanya ke atas rak sepatu dan segera berlari aku ke depan lemari hias yang baru beberapa bulan di beli orang orang tua. Menempel sesukanya, membentuknya dengan seni ala kadarnya anak SD. Tak kaget, tentulah ceramah teguran dan nasehat sekian puluh menit mengalir menjadi dongeng pengantar tidur siangku. Entahlah begitu bandelnya aku. Tapi itu semua terjadi karena satu sebab, aku tak suka melihat yang polos.

Demikian pula hingga di SMP, ketidaksukaanku pada hal yang polos, monoton dan tertekan khusus pada kebendaan masih berlanjut. Tas ransel bentuk panda itu sudah dipandang Ummi, tak selaras dengan usiaku. Meski aku tak meminta, aku dibelikan tas pinky yang tampaknya memang terdesain khusus untuk perempuan, atau ABG muda lebih tepatnya. Tas berslempang satu, dikenakannya pun disamping, meski ada gambar boneka manis berjudul monokurobo  tapi tanganku ini masih belum tenang melihatnya. Otakku sedikit beputar, meraih benang-benang hias yang ada di loker lemari Ummi, mengambil dan di slempang itu aku bubuhi tusuk-tusuk hias yang aku pelajari di bangku SMP kelas 1, ada tusuk rantai, tusuk flanel, tusuk pipih, tusuk silang dan bebebapa tusuk hias lainnya aku gunakan. Wal hasil, marah besar Ummiku saat itu, tas yang baru beberapa hari dihadiahkan untukku sudah aku permak sedemikian rupa. Ah anggap saja angin lalu.

Lepas dari gudang kebandelan ketika di SMP, aku menginjakkan kakiku di SMA yang favorit di kota. Hmm, meskipun terkesan aku dijerumuskan (dipaksa) masuk ke sana. Ide jahil tanganku ini masih belum bisa berhenti. Daripada dengan langkah terpaksa mengikuti pelajaran kimia, matematika dan fisika mending meloloskan diri dengan surat dispensasi kegiatan dari beberapa oraganisasi siswa di kampus. Ya, kemungkinan sebagian besar guru mengenalku bukan karena apa-apa, tapi akan mengenal sebagai siswa yang namanya rajin tertumpuk di atas meja mengajarnya untuk diijinkan tidak mengikuti pelajaran selama sekian hari karena harus ke kota A, ke kota B, C dan D. Ya, ini momen yang aku suka. Meski tentunya orang tua tidak menghendaki aku berkiprah dan berjaya di SMA dalam aspek organisasi dan melupakan akademikku. Tak apalah, ikhlas yang penting tidak duduk layaknya robot ketika harus mengerjakan tugas-tugas kimia dan fisika, tidak harus duduk tegar seperti duduknya kalkulator saat menyelesaikan tugas matematika. Dan dari beberapa kegiatan yang aku ikuti, banyak cinderamata yang aku bawa pulang. Mulai dari cinderamata khas kegiatan, piala-piala kejuaraan, sticker lokasi, foto-foto kebersamaan dan beberapa kenangan dokumentasi lainnya. Dan keseluruhannya lagi-lagi aku pasang di lemari hias andalan yang berdiri kokoh di ruang utama, menempelnya ke dinding luar kamar yang langsung bersinggungan dengan ruang tamu dan sudah aku klaim sebagai galeri perjuanganku. Ah, bandelnya aku.

Melaju di ranah perguruan tinggi tampaknya semakin menjadi. Yang dulu setidaknya masih ada aba-aba agar tidak kian menjadi parah keusilanku (dengan jengah melihat yang polos), kini aku tak dikontrol siapapun. Teman kostan segaris dengan teman-teman SD sampai SMA ku, mereka mendukung dan justru mengatakan aku sebagai anak kreatif atas kejahilanku. Hmm, entahlah tapi aku merasa enjoy dengan kebandelanku (upss, maaf ummi; tak ada niat dari anakmu ini tak menghiraukan nasehatmu. Peace. heheheh). Mendapat hadiah sebuah tas laptop tentulah menjadi keuntungan tersendiri. Ya setidaknya aku tak harus mengeluarkan uang lagi untuk mengalokasikan belanja barang tersebut. Tapi, lagi-lagi tas itu polos, tak bermotif sama sekali. Dan ukurannya 14 ‘inch. Hmm, is not suitable for mine. Ambil gunting, memotongnya dan menyamakan ukuran dengan laptop, menjahitnya kembali, membubuhkan kain perca dan jreng-jreng... Aku punya tas laptop dengan desain yang baru. Hmm senyum lebar sudah bisa aku hadirkan. Ah, lagi-lagi aku bandel.

Beberapa hari kemudian liburan sudah dimulai, kesempatan untuk pulang ke kampung halaman sudah di depan mata. Duabelas jam perjalanan telah membawaku kembali menghirup udara di kampung halaman. Sambutan hangat dari kedua orang tua aku rasakan. Sebelum istirahat aku putuskan menata pakaian dari dalam koper ke lemari. Ummi membantuku, karena tampaknya masih lekat diingatan beliau, anak bungsunya ini belum bisa mandiri. ^^. Dan tanpa kusadari tas laptop dengan desain terbaru itu sudah berada di tangan Ummi. Wow, spot jantung saat itu. Khawatir Ummi akan memarahiku lagi, tapi ada senyum tipis yang berhasil kuintip di sana, gelengan kepala masih ada. Yaa Rabb, maafkan hamba yang masih suka bandel dengan ide jahil ini. Ummi (panggilku dengan nada memanja, dan.... ^^, pelukan hangat dan bisikan kecil itu aku dengarkan. Lanjutkan kebandelanmu, sholehah.

Dan aku bersyukur, ummi mendukungku. Semoga bisa jadi seorang pengusaha ^^

Bandung, 11 Agustus 2012
Ern Hidayatul Ulya
ernastksbandung@yahoo.co.id

0 komentar:

Posting Komentar