Erna Dwi Susanti Personal Site

Home » » Seluk Beluk Menulis

Seluk Beluk Menulis




Sebenarnya, hanya ada beberapa hal yang  perlu diperhatikan dalam menulis kawan. Okay, tahap kali ini kita bahas tentang Olah Jiwa Lebih Utama daripada Olah Kata. Simak ya ^_^


 Sumber Gambar : menuliskreatif.com

Jangan berpikir jadi penulis. Jika itu yang dilakukan, kita akan terkonsentrasi membuat ‘tulisan yang baik’. Konsekuensinya, kita akan sibuk memikirkan kata-kata, paragraf, kata sambung, dan segala hal teknis penulisan lainnya. Harusnya menulis hanyalah berdakwah. Ya, berdakwah. Jadi, kita akan terkonsentrasi agar dakwah tersampaikan dengan baik. Bahwa setelah itu kita berpikir berbagai pendekatan, itu hanyalah bagian dari proses saja.

Pada intinya kita berharap pembaca terkena dakwah kita, tentunya wajar kalau kita berpikir pendekatan. Pendekatan dalam hal ini lebih pada demi ‘mereka’ (terdakwahi) bukan demi ‘kita’ (tulisan bagus).

Karenanya, seluruh pendekatan yang kita berikan adalah pendekatan dakwah. Di mana kita, yang menyampaikan, tak bisa lepas dari pikiran kita sendiri. Ketika kita berharap pembaca kagum pada suatu pikitan yang kita bela, kita sendiri harus kagum lebih dulu. karenanya, menulis bukanlah mensetting pembaca, membuat mereka kagum atau tersentuh. Menulis adalam mentransfer kekaguman, ketersentuhan, emosi, semangat atau berbagai pikiran atau perasaan dalam diri kita. Prinsip : Jangan jadi lilin

Pada tatarab praktisnya, yang kita “panaskan” adalah diri kita. Minimal H-1 sebelum menulis kita harus “panas” sepenuhnya. Ketika dalam otak kita sudah benar-benar bergejolak bahkan meluap-luap, bagaimanapun itu akan menuntut dikeluarkan. Kita tak bisa menunda segala kekaguman kita atau ketersentuhan atau kecintaan kita pada suatu yang benar. Itu otomatis. Kadang kita menyalurkan pada orang yang  kita ajak bicara. Lantas, mengapa tidak kita salurkan pada bentuk penulisan saja? Bukankah yang mengetahui ide kita akan lebih banyak?

Coba kita ingat ketika kita kagum pada sesuatu, sementara kita menceritakan kekaguman itu pada orang lain. Dan keyika orang lain mempertanyakan, kita bisa menjawab, bahkan mengajak orang lain itu kagum pada apa yang kita kagumi. Pasti omongan kita enak didengar. Kita saat itu tak berpikit segala macam “pendekatan berkata”. Hal yang sama berlaku juga dalam menulis. Begitu juga ketika kita tersentuh, sadar akan kesalahan, berubah pikiran kita, merasa berdosa luar biasa, merasa kasihan, jika itu kita utarakan pada pihak lain, otomatis akan terasa “enak” didengar. Walaupun kita tanpa menyeting sama sekali akan kata-kata kita. Semuanya mengalir begitu saja. Saya kita, begitulah menulis.

Ketika kita terlarut untuk membuat orang paham atau kagum, tersentuh atau lainnya, sementara diri kita sendiri kita “biarkan” kadangkala pendekatan kita terasa tergesa-gesa, tidak alami, atau dipaksakan. Itu wajar, karena kita “mengalirkan sesuatu” pada orang lain sementara diri kita sendiri tidak menerima aliran itu. Lantas bagaimana kita bisa berempati pada orang lain saat menerima ide kita? Jangan-jangan kita malah merasa “mengerjai”. “Kagum kan dia..... tul kan dia kagum?” atau “Nangis bener dia sekarang!” sementara batin kita tertawa. Itu tentu bukan hal yang alamiah bagi hamilud dakwah.

Karenanya, niat adalah hal yang sangat penting. Ikhlas bahwa kita hanya berdakwah adalah hal yang sangat utama dalam penulisan. Ini akan mewarnai segala hal yang kita sampaikan. Apapun. Bahwa dengan itu tulisan kita enak, itu hanya efek.

Kekeliruan utama para peserta kontes dai indonesia adalah bahwa mereka merasa dinilai. Mereka merasakan seperti artis saat bernyanyi atau pelawak saat melucu. Akhirnya mereka sibuk menata agar “penyampaian  mereka bagus”. Segalanya jadi tidak alamiah. Lain halnya jika mereka hanya berpikir satu hal: mendakwahi penonton. Saat itu juga ia berdakwah betulan. Insya Allah yang disampaikan akan jauh lebih berenergi. Menulispun demikian.

Bahwa kita berpikir pendekatan, itu lebih karena pengertian kita yang begitu besar pada pembaca. Kita ingin mereka sepenuhnya berubah pikiran. Kita sangat memahami mengapa mereka sebelumnya menolak. Butuh sekian banyak cara untuk merubah mereka. Segala hal teknis yang kita lakukan bermuara pada : Bagaimana agar mereka berubah?

Beberapa hal teknis perlu, itu sebenarnya lahir dari penjiwaan juga. Hanya saja itu perlu dijadikan catatan agar kita cepat melakukan hal yang sebelumnya pernah kita lakukan. Janganlah energi kita terbuang sia-sia untuk memikirkan pendekatan yang sudah kita lakukan. Karenanya, perlu kita catat segala hal teknis itu.

Tulisan yang bagus: surat nasehat pada orang yang kita cintai.

Salam dari Erna Dwi Susanti

Konten ini ane dapatin dari Pak Husain Matla di tahun 2008 silam. Semoga manfaat ya kawan.




2 komentar: