Sebenarnya,
hanya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam menulis kawan. Okay, tahap kali ini kita bahas tentang Olah
Jiwa Lebih Utama daripada Olah Kata. Simak ya ^_^
Sumber Gambar : menuliskreatif.com
Jangan
berpikir jadi penulis. Jika itu yang dilakukan, kita akan terkonsentrasi membuat
‘tulisan yang baik’. Konsekuensinya, kita akan sibuk memikirkan kata-kata,
paragraf, kata sambung, dan segala hal teknis penulisan lainnya. Harusnya
menulis hanyalah berdakwah. Ya, berdakwah. Jadi, kita akan terkonsentrasi agar
dakwah tersampaikan dengan baik. Bahwa setelah itu kita berpikir berbagai
pendekatan, itu hanyalah bagian dari proses saja.
Pada
intinya kita berharap pembaca terkena dakwah kita, tentunya wajar kalau kita
berpikir pendekatan. Pendekatan dalam hal ini lebih pada demi ‘mereka’
(terdakwahi) bukan demi ‘kita’ (tulisan bagus).
Karenanya,
seluruh pendekatan yang kita berikan adalah pendekatan dakwah. Di mana kita,
yang menyampaikan, tak bisa lepas dari pikiran kita sendiri. Ketika kita
berharap pembaca kagum pada suatu pikitan yang kita bela, kita sendiri harus
kagum lebih dulu. karenanya, menulis bukanlah mensetting pembaca, membuat
mereka kagum atau tersentuh. Menulis adalam mentransfer kekaguman,
ketersentuhan, emosi, semangat atau berbagai pikiran atau perasaan dalam diri
kita. Prinsip : Jangan jadi lilin
Pada
tatarab praktisnya, yang kita “panaskan” adalah diri kita. Minimal H-1 sebelum
menulis kita harus “panas” sepenuhnya. Ketika dalam otak kita sudah benar-benar
bergejolak bahkan meluap-luap, bagaimanapun itu akan menuntut dikeluarkan. Kita
tak bisa menunda segala kekaguman kita atau ketersentuhan atau kecintaan kita
pada suatu yang benar. Itu otomatis. Kadang kita menyalurkan pada orang
yang kita ajak bicara. Lantas, mengapa
tidak kita salurkan pada bentuk penulisan saja? Bukankah yang mengetahui ide
kita akan lebih banyak?
Coba
kita ingat ketika kita kagum pada sesuatu, sementara kita menceritakan
kekaguman itu pada orang lain. Dan keyika orang lain mempertanyakan, kita bisa
menjawab, bahkan mengajak orang lain itu kagum pada apa yang kita kagumi. Pasti
omongan kita enak didengar. Kita saat itu tak berpikit segala macam “pendekatan
berkata”. Hal yang sama berlaku juga dalam menulis. Begitu juga ketika kita
tersentuh, sadar akan kesalahan, berubah pikiran kita, merasa berdosa luar
biasa, merasa kasihan, jika itu kita utarakan pada pihak lain, otomatis akan
terasa “enak” didengar. Walaupun kita tanpa menyeting sama sekali akan
kata-kata kita. Semuanya mengalir begitu saja. Saya kita, begitulah menulis.
Ketika
kita terlarut untuk membuat orang paham atau kagum, tersentuh atau lainnya,
sementara diri kita sendiri kita “biarkan” kadangkala pendekatan kita terasa
tergesa-gesa, tidak alami, atau dipaksakan. Itu wajar, karena kita “mengalirkan
sesuatu” pada orang lain sementara diri kita sendiri tidak menerima aliran itu.
Lantas bagaimana kita bisa berempati pada orang lain saat menerima ide kita?
Jangan-jangan kita malah merasa “mengerjai”. “Kagum kan dia..... tul kan dia
kagum?” atau “Nangis bener dia sekarang!” sementara batin kita tertawa. Itu
tentu bukan hal yang alamiah bagi hamilud dakwah.
Karenanya,
niat adalah hal yang sangat penting. Ikhlas bahwa kita hanya berdakwah adalah
hal yang sangat utama dalam penulisan. Ini akan mewarnai segala hal yang kita
sampaikan. Apapun. Bahwa dengan itu tulisan kita enak, itu hanya efek.
Kekeliruan
utama para peserta kontes dai indonesia adalah bahwa mereka merasa dinilai.
Mereka merasakan seperti artis saat bernyanyi atau pelawak saat melucu.
Akhirnya mereka sibuk menata agar “penyampaian
mereka bagus”. Segalanya jadi tidak alamiah. Lain halnya jika mereka
hanya berpikir satu hal: mendakwahi penonton. Saat itu juga ia berdakwah
betulan. Insya Allah yang disampaikan akan jauh lebih berenergi. Menulispun
demikian.
Bahwa
kita berpikir pendekatan, itu lebih karena pengertian kita yang begitu besar
pada pembaca. Kita ingin mereka sepenuhnya berubah pikiran. Kita sangat
memahami mengapa mereka sebelumnya menolak. Butuh sekian banyak cara untuk
merubah mereka. Segala hal teknis yang kita lakukan bermuara pada : Bagaimana
agar mereka berubah?
Beberapa
hal teknis perlu, itu sebenarnya lahir dari penjiwaan juga. Hanya saja itu
perlu dijadikan catatan agar kita cepat melakukan hal yang sebelumnya pernah
kita lakukan. Janganlah energi kita terbuang sia-sia untuk memikirkan
pendekatan yang sudah kita lakukan. Karenanya, perlu kita catat segala hal
teknis itu.
Tulisan
yang bagus: surat nasehat pada orang yang kita cintai.
Salam dari Erna Dwi Susanti
Konten ini ane dapatin dari Pak Husain Matla di tahun 2008 silam. Semoga manfaat ya kawan.
Konten ini ane dapatin dari Pak Husain Matla di tahun 2008 silam. Semoga manfaat ya kawan.
Makasih ilmunya. . .
BalasHapusmantab
BalasHapus