Erna Dwi Susanti Personal Site

Home » » Bunda, Sang Dosen Idola

Bunda, Sang Dosen Idola



Sebagai seorang lulusan profesi pekerjaan sosial (social worker) menjadi satu tantangan dan anugerah sendiri bagi saya. Ya, sebuah almamater Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung tertanggal 14 Agustus 2013 telah menyertakan gelar S.ST (Sarjana Sains Terapan) di belakang nama Erna Dwi Susanti.

Semua teori tentang hubungan komunikasi - relasi, materi-materi kesejahteraan sosial, praktik pekerjaan sosial dengan setting mikro - mezzo hingga makro saya dapatkan di sini. Di dampingi oleh dosen-dosen penyaji yang luar biasa, keseluruhannya expert pada bidangnya. Tak ayal, kalau saya kerap kali sangat mengidolakan mereka. Terlampau luar biasa kiprah dan prestasi yang dilambungkan. Mayoritas, mereka juga alumni kampusku, STKS Bandung. Sampai di detik apresiasi itu, kami (saya dengan team 5) menyusun sebuah buku yang kami berikan judul The Book of Dreams. Ini memori.

Tapi, ada satu dosen di atas dosen yang teridolakan itu. Kuperkenalkan ia pada kalian, It's my mom. Ya.. 


Sampai detik inipun rasa kagum itu semakin menjadi-jadi. Kian berapi-api. Aku tidak tahu dari mana harus mengenangnya dan bagaimana dapat mendeskripsikannya. Satu buku yang aku persembahkan untuknya (Judul : Kuterima Darahmu, Ibu) pun masih belum cakup merangkum seluruh rasa itu. 

Terlahir sebagai seorang anak yang pendiam dan terlampau malu pada keramaian tampaknya tidak akan memunculkan prediksi dan suatu wacana 'seorang Erna menjadi orang sosial, sekolah dan bekerja dengan objek masyarakat'. Tapi Tuhan dengan perantara malaikat buminya memberikan cerita yang berbeda. Aku ditempa menjadi seorang sosialis yang dramatis. Ah, begitu sukar mencari padanan kata yang bisa menggambarkan kondisiku kali ini. Jangankan berbincang dan bersosialisasi dengan orang-orang sekitar, sekedar menyapa dan mengutarakan perkataan ringan (small talk) pada tamu yang datang ke rumah saja aku tidak bisa. Memilih masuk ke dalam kamar, dan asyik dengan buku baru yang memang sudah menggoda. Bibliomania. Mungkin itulah keadaan yang menjadi pengalihan atas kondisi asosialku. Satu, dua, tiga kali, ibu memaksaku dengan perkataan 'kamu harus berani'. Mungkin karena diulang dan terus diulang teori itu kemudian tertanam dengan sendirinya.

"Saya harus berani"

 Pastilah kawan, kalian bisa merasakan bagaimana beratnya melepas sebuah kebiasaan dan bagaimana keluar dari belenggu yang memang nyaman itu. Sakit dan tertekan. Serasa itu bukan diri saya sendiri. Tapi dosen idolaku ini berkiprah luar biasa. Beliau memang memaksaku, memaksa untuk berani bersosial (tidak selalu asyik dengan duniaku - meski bukan autis tapi mungkin bisa ini disebut dengan syndrom semi autis :D ). Tapi bukan sekedar memaksa, beliau juga menuntunku, mengajariku bagaimana caranya bisa keluar dari belenggu itu. Bagaimana caranya aku bisa lepas dari kesulitan bersosial. Dan tahukah kalian? Sekedar kalimat sapa saja, tak enggan beliau menyusunkan.


"Bu Lek, sehat? Gimana kabar keluarga di rumah?"

Ini salah satu kutipan redaksi kalimat tanya yang disusunkan bunda untukku. Simple-kan? Memang, tapi namanya tidak terbiasa ya tidak bisa. Setiap kali ada tamu, kedipan mata bunda sudah memberi arti tersendiri. Kurang lebih makna yang terbaca, "Tanggalkan dulu bukumu, temui tamunya, sapalah meski satu dua kata". Bunda terlalu perfeksionis untuk masalah relasi dan komunikasi. Tapi darinya aku banyak belajar, hingga sampai di detik ini, aku benar-benar merasakan perubahan rotasi besar, 180 derajat lebih. Jangankan hanya sekedar menyapa, aku begitu menikmati ketika harus berbincang lebar dengan orang. Karena ternyata benar, buku yang aku baca itu semakin sempurna dengan realita yang aku lihat dengan mata.


Tapi, tampaknya ibu juga sudah mulai kebiasaan dengan kedipan mata isyaratnya. Di usiaku yang hampir 23 tahun lebih ini, setiap ada tamu Ibu selalu memandang ke arahku, sebelum dapat kedipan senyum nyengir sudah terpasang membalas pandangannya. Bunda, you are the really teacher. I'm gonna be like you, Mom. Yes, I'm gonna be like you.  


Erna Dwi Susanti, 
Sragen 30 Juni 2014

0 komentar:

Posting Komentar