Erna Dwi Susanti Personal Site

Home » » Struggle, di Ibukota, Jakarta

Struggle, di Ibukota, Jakarta


Sudah sampai di Djakarta, alhamdulillahirabbil ‘alamin.

sumber gambar: luckyug.wordpress.com


Dari kota depan sebelum koma dan tanggal yang awalnya tertera Bandung sekarang sudah mulai berganti jadi Djakarta. Ah, orang menyebutnya ini adalah kota terkejam di Indonesia, yang menyiksa rakyat dan penduduknya agar tidak betah dan segera pindah dari jerembab kepadatan, kebisingan dan kepanasan ibukota negara, Indonesia. Kata orang kota ini adalah kota yang menjanjikan segala kemungkinan, kemungkinan untuk sukses kalau sekiranya mau berusaha dan mampu kerja ekstra. Kemungkinan untuk menjadi gelandangan kalau hanya sekedar diam dan menyaksikan. Semuanya serba mungkin. Tergantung pada nasib dan usaha mengubah nasibnya.

Tapi tak selayaknya juga aku harus mendongeng panjang dan lebar menceritakan padatnya ibukota negaranya orang tuaku. Yang setiap harinya dipadati dengan kemacetan, polusi dan hingar bingar segala macam permasalahan. Karena kini, tak banyak yang harus aku laksanakan dan tak luang jua waktu yang diberikan, hanya dua bulan untuk menjadi saksi diam dan pengamat keadaan. Dua bulan, dilokasi yang sudah ditentukan, dengan pedoman kerja yang sudah dibekalkan, dengan arahan konsep yang sudah termatangkan, tak banyak ide jahil dan tingkah usil yang bisa aku genjarkan. Lagi-lagi dengan mudah aku mengatasnamakannya sebagai kesempatan menjadi saksi diam, di ibukota negara yang menyiksakan.

Tak sesejuk Bandung, jelaslah suhu udara itu yang akan terus dan senantiasa membersamaiku sampai menit terakhir di 30 November nanti. Terniatkan hanya akan memilih diam dan menyepadankan antara cerita dengan kenyataan. Inilah kesempatan.

Pertama, banyak isu miring terdengar kalau Djakarta dan kota besar lainnya itu orangnya individualis, tak kenal tetangga, enggan bertegur sapa dan loe-loe, gue-gue (baca: kadar egonya meninggi). Tapi ternyata, tidak sama sekali. Selama dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta sudah mulai nervous dengan isu tersebut, nantinya aku harus bekerja di Pantinya kementrian sosial, berhadapan dengan anak nakal dan anak berhadapan dengan hukum, kalau partner kerja adalah orang yang individualis, akan bisa bekerja seperti apa? Kalau kanan dan kiri di sekitar aku tinggal pada enggan bertegur sapa pada siapa aku akan minta dilengkapkan. Hmmm, bermodalkan bismillah, dan sedikit materi yang masih mengenang di otak tentang pola pengubahan perilaku mencoba membaur dengan rekanan kerja.

Mendahului menyapa sebelum menuntut mereka menyapa, ampuh! Terbukti dengan senyum lebar dan hangat mereka mau membalasnya, bahkan terasa lebih terkesan dari senyum yang kita berikan. Small talk mungkin untuk kali pertama yang dirasa adalah sedikit dicuekin dengan pola SKSD (sok kenal sok dekat) yang kita gunakan di lingkungan kerja, tapi pantang menyerahlah, kalau memang itu perilaku tanpa paksaan (baca: tulus) yang ingin kita berikan dengan keberlanjutan mereka juga akan mudah welcome ke kita. Kalau di sini masalah karakter orang pasti berbeda-beda (ada yang memilih diam dan mengamati dulu baru bisa mencoba lebih dekat, ada yang bisa langsung dekat). Pilihlah. Selanjutnya ada prinsip genuine (asli dan apa adanya), suatu yang muncul karena keaslian akan lebih mudah diterima oleh orang, ibaratnya pemanis, kalau menggunakan gula  asli manisnya akan lebih nyaman di lidah daripada pakai pemanis buatan. Getir dan terkadang buat batuk. ^^

Tanpa harus banyak mengeluh, panasnya Djakarta akan terobati dengan ikhlas menerima, karena tubuh kita akan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Ia akan beradaptasi dengan kondisi yang baru. Jangan khawatir, insya Allah panas Djakarta akan kian membakar semangat bekerja dan semangat mengabdi pada negara. Sampai jumpa di sharing pembelajaran selanjutnya.


PSMP Handayani, Djakarta Timur, 3 Oktober 2012
*Lebih santai menggunakan ejaan Djakarta ^^
Ern Hidayatul Ulya

0 komentar:

Posting Komentar