Sudah
sampai di Djakarta, alhamdulillahirabbil ‘alamin.
Dari
kota depan sebelum koma dan tanggal yang awalnya tertera Bandung sekarang sudah
mulai berganti jadi Djakarta. Ah, orang menyebutnya ini adalah kota terkejam di
Indonesia, yang menyiksa rakyat dan penduduknya agar tidak betah dan segera
pindah dari jerembab kepadatan, kebisingan dan kepanasan ibukota negara,
Indonesia. Kata orang kota ini adalah kota yang menjanjikan segala kemungkinan,
kemungkinan untuk sukses kalau sekiranya mau berusaha dan mampu kerja ekstra. Kemungkinan
untuk menjadi gelandangan kalau hanya sekedar diam dan menyaksikan. Semuanya serba
mungkin. Tergantung pada nasib dan usaha mengubah nasibnya.
Tapi
tak selayaknya juga aku harus mendongeng panjang dan lebar menceritakan
padatnya ibukota negaranya orang tuaku. Yang setiap harinya dipadati dengan
kemacetan, polusi dan hingar bingar segala macam permasalahan. Karena kini, tak
banyak yang harus aku laksanakan dan tak luang jua waktu yang diberikan, hanya
dua bulan untuk menjadi saksi diam dan pengamat keadaan. Dua bulan, dilokasi
yang sudah ditentukan, dengan pedoman kerja yang sudah dibekalkan, dengan
arahan konsep yang sudah termatangkan, tak banyak ide jahil dan tingkah usil
yang bisa aku genjarkan. Lagi-lagi dengan mudah aku mengatasnamakannya sebagai
kesempatan menjadi saksi diam, di ibukota negara yang menyiksakan.
Tak
sesejuk Bandung, jelaslah suhu udara itu yang akan terus dan senantiasa
membersamaiku sampai menit terakhir di 30 November nanti. Terniatkan hanya akan
memilih diam dan menyepadankan antara cerita dengan kenyataan. Inilah kesempatan.
Pertama,
banyak isu miring terdengar kalau Djakarta dan kota besar lainnya itu orangnya
individualis, tak kenal tetangga, enggan bertegur sapa dan loe-loe, gue-gue (baca: kadar egonya meninggi). Tapi ternyata,
tidak sama sekali. Selama dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta sudah mulai nervous dengan isu tersebut, nantinya
aku harus bekerja di Pantinya kementrian sosial, berhadapan dengan anak nakal
dan anak berhadapan dengan hukum, kalau partner kerja adalah orang yang
individualis, akan bisa bekerja seperti apa? Kalau kanan dan kiri di sekitar
aku tinggal pada enggan bertegur sapa pada siapa aku akan minta dilengkapkan. Hmmm,
bermodalkan bismillah, dan sedikit materi yang masih mengenang di otak tentang
pola pengubahan perilaku mencoba membaur dengan rekanan kerja.
Mendahului
menyapa sebelum menuntut mereka menyapa, ampuh!
Terbukti dengan senyum lebar dan hangat mereka mau membalasnya, bahkan terasa
lebih terkesan dari senyum yang kita berikan. Small talk mungkin untuk
kali pertama yang dirasa adalah sedikit dicuekin dengan pola SKSD (sok kenal
sok dekat) yang kita gunakan di lingkungan kerja, tapi pantang menyerahlah,
kalau memang itu perilaku tanpa paksaan (baca: tulus) yang ingin kita berikan
dengan keberlanjutan mereka juga akan mudah welcome ke kita. Kalau di sini
masalah karakter orang pasti berbeda-beda (ada yang memilih diam dan mengamati
dulu baru bisa mencoba lebih dekat, ada yang bisa langsung dekat). Pilihlah. Selanjutnya
ada prinsip genuine (asli dan apa adanya), suatu yang muncul karena
keaslian akan lebih mudah diterima oleh orang, ibaratnya pemanis, kalau
menggunakan gula asli manisnya akan
lebih nyaman di lidah daripada pakai pemanis buatan. Getir dan terkadang buat
batuk. ^^
Tanpa
harus banyak mengeluh, panasnya Djakarta akan terobati dengan ikhlas menerima,
karena tubuh kita akan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Ia akan
beradaptasi dengan kondisi yang baru. Jangan khawatir, insya Allah panas Djakarta
akan kian membakar semangat bekerja dan semangat mengabdi pada negara. Sampai
jumpa di sharing pembelajaran selanjutnya.
PSMP
Handayani, Djakarta Timur, 3 Oktober 2012
*Lebih
santai menggunakan ejaan Djakarta ^^
Ern
Hidayatul Ulya
0 komentar:
Posting Komentar