Erna Dwi Susanti Personal Site

Home » » Itik-itik Yang Terdidik

Itik-itik Yang Terdidik

“Karena ditimbang-timbang, bagaimana juga sukar sekali melancarkan pembangunan dengan administrasi negara yang korup, lamban dan tidak efisien bekerja.” (Tajuk Mochtar Lubis di harian Indonesia Raya, 19 Desember 1968)


 “Warisan!”, dari tahun 1968 menuju tahun 2012 keadaan yang di-pesimis-kan oleh seorang Muchtar Lubis masih dirasakan oleh penggiat pembangunan sekarang. Dulu, dengan berbagai analisa dan pertimbangan bisa dirasakan pembangunan sangat sukar berpindah posisi tingkatan. Dari bawah naik ke atas harus mengawali perjuangan yang luar biasa. Sehingga ada keadaan yang stagnan. Pengorbanan untuk pembangunan yang dirasakan sangat besar, sedangkan hasil yang ditampakkan sangat tidak bisa dibandingkan, jauh dari kategori seimbang.


 Tak ubahnya dengan sekarang, putusan yang ditetapkan pemerintah berupa kebijakan demi kebijakan terus bergulir, mulai dari kebijakan politik yang justru semakin memperkeruh dan memanaskan arena percaturan politik, beranjak ke kebijakan sosial yang justru membuat permasalahan sosial demi permasalahan sosial baru kemudian muncul, melanjutkan ke kebijakan ekonomi yang semakin meluluh lantahkan perekonomian masyarakat kecil dan berikut kebijakan-kebijakan yang lainnya. Sebagaimana keyakinan masih dimiliki oleh umum, bahwasanya ketika suatu kebijakan dibuat, maka rakyat dituntut untuk mengikuti-melaksanakan dan mengedepankan segala aturan yang digariskan dalam kebijakan tersebut. Mungkin memang ia laksana sebuah seleksi alam, ketika rakyat mampu menghadapi dengan maksimal kebijakan-kebijakan yang ada maka ia akan tetap ada untuk melanjutkan tatanan kehidupannya.

Sedangkan apabila ia tidak mampu menghadapi kebijakan berikut dampak yang dibawa atas kebijakan tersebut maka ia akan terjatuh, cacat dan tidak akan mampu melaksanakan kehidupannya dengan seoptimal mungkin. Sehingga muncullah kembali permasalahan-permasalahan yang baru. Ketidak berdayaan individu-keluarga-masyarakat dan negara. Manakala berbicara pada nuansa ‘pembangunan’, satu kalimat yang tidak akan terlepas dan senantiasa digaungkan bangsa Indonesia, yakni “Pembangunan Manusia Indonesia

Seutuhnya”. Dari jaman orde lama, orde baru, demokrasi terpimpin sampai dengan demokrasi gado-gado masih kalimat itu yang digaung dan diagungkan. ‘Seutuhnya’, konsepsi seperti apakah yang ditawarkan dan indikator yang bagaimanakah yang diinginkan oleh bangsa Indonesia tidak diketahui secara umum oleh rakyat Indonesia. Sehingga gembalaan itik di pesawahan tidak berlebih jika diidentikkan dengan rakyat Indonesia. Penggembalanya adalah mereka yang memangku amanah dan pembuat kebijakan, rakyat cukuplah ambil peran sebagai unggas dalam angon-angonan⁽¹⁾. Terbirit-birit ketika dicambuk, ke kanan jika cemeti diarahkan untuk menggiring ke kanan, ke kiri jika cemeti berpindah ke kiri. Ia hanya akan bergerak, pindah dan lari sesuai dengan yang diaba-abakan. Banyak hal yang mendukung tindakan sang unggas, pertama, karena ia tidak berpikir, kedua, karena mereka takut sabetan penggembala, ketiga, karena ia percaya dan berserah diri semata pada tuannya (penggembala). Mirip dengan realita yang ada, inilah Indonesia. Jika, yang berkemeja putih, biru atau abu itu memposisikan diri sebagai penggembala. Maka rakyat masih punya kesempatan untuk ditempatkan dalam ‘keadilan’.

 Larilah jika memang berada dalam keadaan bahaya, entah dengan terbirit atau santai, asal bisa selamat. Bergerak dan berpindah tempatlah dari satu posisi ke posisi yang lainnya ketika kedudukan yang sekarang sudah tidak menjanjikan kesejahteraan hidup hari ini dan ke depannya (berusaha dengan bekerjalah) tanpa harus menunggu pecutan cemeti dari penggembala, dan jika sudah tidak ada sumber penghidupan yang menjamin untuk keberlangsungan nafas maka berpindahlah, jangan menunggu penggembala-penggembala itu menggiring ke lahan yang lainnya. Karena mungkin saja, penggembala sedang sibuk dengan kegiatannya yang lain, atau karena penggembala sedang ada misi lain, atau mungkin ia sedang dalam buaian dan terkantuk dalam lamunannya sehingga lalai kalau gembalaannya sedang kelaparan. Mencobalah untuk menjadi itik-itik yang terdidik, karena engkau punya akal, tak sewajarnya hanya terduduk dalam penganiayaan dengan dalih taat dan takut pada tuan. Sekali lagi diingatkan, karena kalian adalah itik-itik yang terdidik.


 ⁽¹⁾penggembalaan (bahasa Jawa)

0 komentar:

Posting Komentar