Semboyan dalam kegelapan, kelap – kelip dalam kesahajaan. Mempesona, indah dan gemerlap menjanjikan kedamaian.
Kelap – kelip. Berulang-ulang ia menampakkan cahayanya. Mencoba memberikan keindahan di pekat malam. Menabur keheningan, menentramkan segala peluh kesedihan. Ya, jarang tampaknya yang tak kenal sosok ini, berkeliling menawarkan lampu kecil pijarannya.
Kamus terjemahan dari google pun masih sama seperti yang dulu dalam mendefinisikan kunang-kunang. “binatang kecil sebesar lalat yg mengeluarkan cahaya berkelip-kelip pd malam hari”. Ya, kelip-kelip. Ada juga istilah api-api, kunar-kunar, pendar-pendar, binar-binar, atau apalah itu yang pasti ia menggambarkan “padam-nyala” yang bergantian dan kontinu (berkelanjutan). Sampai cahaya itu nampak awet dan dengan terang kecil menyinari sekitarnya.
Memang, tidak terlampau terang, abjad di atas kertaspun tak mungkin bisa tersinari dan terbaca oleh mata. Hanya sebatas kelap – kelip cahaya. Kunang –kunang masih tetap bersahaja, ia masih jadi idola. Karena membawa keindahan di tengahnya kegelapan.
Nanggung, itulah kata yang tepat untuk mewakili ke-gemes-an atas kedatangannya. Kalau mau menyinari kegelapan, kenapa ia tak memilih untuk terang dalam bersinar? Kalau tak sanggup, kenapa ia tak memutuskan untuk pulang, pergi dan berhenti menyelesaikan amanah kehidupannya. Tak usah lagi bersinar, dan berhenti mendatangi kegelapan.
Optimis yang tinggi, pelajaran itulah yang aku percayakan hendak disampaikan olehnya. Ia hadir dan dikembangbiakkan tidak seekor diri, tapi dengan partner yang banyak. Ratusan atau bahkan ribuan. Menghadiri kegelapan ketika sendirian mungkin tak akan mengenalkannya pada arti keindahan. Tapi ketika kelap-kelip badannya itu disandingkan dengan yang lain akan beda cerita. Bertebaran indah, dan mempesona. Karena bersama.
Aku, masih menjadi seorang manusia yang senantiasa dituntut belajar berhikmah atas setiap keadaan dan atas segala ciptaan yang kesemuanya terangkul dalam satu kata “peristiwa”. Tak sempurna dan belum mampu untuk totalitas jiwa dan raga mengembani amanah perjuangan. Hanya selangkah ditunaikan namun kadang berat terbebani dalam berjalan.
Sungguh kadang suara kritik dan komentar bersilih gantian datang atas ketidak maksimalan. Tapi teringat dan terpegang erat mental kunang-kunang, ia indah dan mempesona karena bersama. Gerak langkah perbaikanpun demikian, hanya akan optimal jika diselaraskan dengan yang lain, hanya bisa totalitas jika saling bersinergi dalam aktivitas.
Bukankah berjuang itu tak bisa jika dilakukan oleh 1 orang? Setidaknya ia butuh 3 orang untuk saling mengingatkan dan menguatkan serta agar bisa saling mendoakan.
Bersatu kita teguh, bersatu kita runtuh
Bandung, 23 April 2012
Ern Hidayatul Ulya
Kelap – kelip. Berulang-ulang ia menampakkan cahayanya. Mencoba memberikan keindahan di pekat malam. Menabur keheningan, menentramkan segala peluh kesedihan. Ya, jarang tampaknya yang tak kenal sosok ini, berkeliling menawarkan lampu kecil pijarannya.
Kamus terjemahan dari google pun masih sama seperti yang dulu dalam mendefinisikan kunang-kunang. “binatang kecil sebesar lalat yg mengeluarkan cahaya berkelip-kelip pd malam hari”. Ya, kelip-kelip. Ada juga istilah api-api, kunar-kunar, pendar-pendar, binar-binar, atau apalah itu yang pasti ia menggambarkan “padam-nyala” yang bergantian dan kontinu (berkelanjutan). Sampai cahaya itu nampak awet dan dengan terang kecil menyinari sekitarnya.
Memang, tidak terlampau terang, abjad di atas kertaspun tak mungkin bisa tersinari dan terbaca oleh mata. Hanya sebatas kelap – kelip cahaya. Kunang –kunang masih tetap bersahaja, ia masih jadi idola. Karena membawa keindahan di tengahnya kegelapan.
Nanggung, itulah kata yang tepat untuk mewakili ke-gemes-an atas kedatangannya. Kalau mau menyinari kegelapan, kenapa ia tak memilih untuk terang dalam bersinar? Kalau tak sanggup, kenapa ia tak memutuskan untuk pulang, pergi dan berhenti menyelesaikan amanah kehidupannya. Tak usah lagi bersinar, dan berhenti mendatangi kegelapan.
Optimis yang tinggi, pelajaran itulah yang aku percayakan hendak disampaikan olehnya. Ia hadir dan dikembangbiakkan tidak seekor diri, tapi dengan partner yang banyak. Ratusan atau bahkan ribuan. Menghadiri kegelapan ketika sendirian mungkin tak akan mengenalkannya pada arti keindahan. Tapi ketika kelap-kelip badannya itu disandingkan dengan yang lain akan beda cerita. Bertebaran indah, dan mempesona. Karena bersama.
Aku, masih menjadi seorang manusia yang senantiasa dituntut belajar berhikmah atas setiap keadaan dan atas segala ciptaan yang kesemuanya terangkul dalam satu kata “peristiwa”. Tak sempurna dan belum mampu untuk totalitas jiwa dan raga mengembani amanah perjuangan. Hanya selangkah ditunaikan namun kadang berat terbebani dalam berjalan.
Sungguh kadang suara kritik dan komentar bersilih gantian datang atas ketidak maksimalan. Tapi teringat dan terpegang erat mental kunang-kunang, ia indah dan mempesona karena bersama. Gerak langkah perbaikanpun demikian, hanya akan optimal jika diselaraskan dengan yang lain, hanya bisa totalitas jika saling bersinergi dalam aktivitas.
Bukankah berjuang itu tak bisa jika dilakukan oleh 1 orang? Setidaknya ia butuh 3 orang untuk saling mengingatkan dan menguatkan serta agar bisa saling mendoakan.
Bersatu kita teguh, bersatu kita runtuh
Bandung, 23 April 2012
Ern Hidayatul Ulya