Erna Dwi Susanti Personal Site

Mental "KUNANG-KUNANG"

Semboyan dalam kegelapan, kelap – kelip dalam kesahajaan. Mempesona, indah dan gemerlap menjanjikan kedamaian.

Kelap – kelip. Berulang-ulang ia menampakkan cahayanya. Mencoba memberikan keindahan di pekat malam. Menabur keheningan, menentramkan segala peluh kesedihan. Ya, jarang tampaknya yang tak kenal sosok ini, berkeliling menawarkan lampu kecil pijarannya.

Kamus terjemahan dari google pun masih sama seperti yang dulu dalam mendefinisikan kunang-kunang. “binatang kecil sebesar lalat yg mengeluarkan cahaya berkelip-kelip pd malam hari”. Ya, kelip-kelip. Ada juga istilah api-api, kunar-kunar, pendar-pendar, binar-binar, atau apalah itu yang  pasti ia menggambarkan “padam-nyala” yang bergantian dan kontinu (berkelanjutan). Sampai cahaya itu nampak awet dan dengan terang kecil menyinari sekitarnya.

 Memang,  tidak terlampau terang, abjad di atas kertaspun tak mungkin bisa tersinari dan terbaca oleh mata. Hanya sebatas kelap – kelip cahaya. Kunang –kunang masih tetap bersahaja, ia masih jadi idola. Karena membawa keindahan di tengahnya kegelapan.

Nanggung,  itulah kata yang tepat untuk mewakili ke-gemes-an  atas kedatangannya. Kalau mau menyinari kegelapan, kenapa ia tak memilih untuk terang dalam bersinar? Kalau tak sanggup, kenapa ia tak memutuskan untuk pulang, pergi dan berhenti menyelesaikan amanah kehidupannya. Tak usah lagi bersinar, dan berhenti mendatangi kegelapan.

Optimis yang tinggi, pelajaran itulah yang aku percayakan hendak disampaikan olehnya. Ia hadir dan dikembangbiakkan tidak seekor diri, tapi dengan partner yang banyak. Ratusan atau bahkan ribuan. Menghadiri kegelapan ketika sendirian mungkin tak akan mengenalkannya pada arti keindahan. Tapi ketika kelap-kelip badannya itu disandingkan dengan yang lain akan beda cerita. Bertebaran indah, dan mempesona. Karena bersama.



Aku, masih menjadi seorang  manusia yang senantiasa dituntut  belajar berhikmah atas setiap keadaan dan atas segala ciptaan yang kesemuanya terangkul dalam satu kata “peristiwa”. Tak sempurna dan belum mampu untuk totalitas jiwa dan raga mengembani amanah perjuangan. Hanya selangkah ditunaikan namun kadang berat terbebani dalam berjalan.

Sungguh kadang suara kritik dan komentar bersilih gantian datang atas ketidak maksimalan. Tapi teringat dan terpegang erat mental kunang-kunang, ia indah dan mempesona karena bersama. Gerak langkah perbaikanpun demikian, hanya akan optimal jika diselaraskan dengan yang lain, hanya bisa totalitas jika saling bersinergi dalam aktivitas.

Bukankah berjuang itu tak bisa jika dilakukan oleh 1 orang? Setidaknya ia butuh 3 orang untuk saling mengingatkan dan menguatkan serta agar bisa saling mendoakan.

Bersatu kita teguh, bersatu kita runtuh


Bandung, 23 April 2012
Ern Hidayatul Ulya

Penjara-penjara Cinta

Kalau sedang dalam keadaan home sick gini bawaannya selalu mengaitkan semua hal dengan nuansa di rumah. Melihat sepeda motor dengan tipe dan warna yang sama, langsung teringat kampung halaman. Bertemu dengan ibu-ibu yang berperawakan tinggi semampai langsung teringat Ummi. Sedang keadaan hujan deras, teringat hangat dekapan Ummi di depan rumah. Karena mitos orang Jawa, ketika hujan jangan di dalam rumah. Bahaya katanya. Dan banyak hal-hal lain yang terus-terusan saya kaitkan dengan kampung halaman. Benar-benar balada yang menyedihkan.

Kemarin, 11 Maret 2012 agenda di kampus saya selesaikan sampai ashar. Belum berniat untuk pulang, nampaknya hati begitu enggan untuk beranjak meninggalkan kampus. Nunggu waktu maghrib sekalianlah, pikir saya. Sembari bisa melakukan kegiatan yang bisa membuat hati refresh, tak perlu ditolak. Lakukan sajalah. Demikian pula yang saya pilih ketika itu. Maghrib sudah tiba, nanggung lah, tunggu waktu isya saja sekalian, pikir saya selanjutnya.

Di lengan kiri, jam tangan sudah menunjukkan pukul 20.15, sudah cukup larut kalau kategori mahasiswa beraktivitas di kampus. Masjidpun sudah mulai lenggang, apalagi kampus? Sudah tak ada orang. Dengan sedikit ogah-ogahan, menuruni anak tangga demi anak tangga dari lantai 3 masjid kampus menuju tempat penitipan sepatu. Tak terasa jam sudah 20.30, lima belas menit berjalan tanpa aktivitas yang berarti.

Sampai kost-an sekitar 20.45, lagi-lagi balada home sick kembali melanda.

Dulu, ketika masih SMA, pulang beraktivitas lewat dari jam 20.30 jangan harap bisa masuk ke rumah. Pintu terkunci. Rumah mbah sajalah yang bisa jadi alternative tempat pulang. Mulai sekitar jam 20.00an, ketika saya atau kakak perempuan belum pulang sudah ada penjaga yang duduk dengan harap-harap cemas bercampur raut ketegasan sudah menunggu dengan duduk di kursi, di teras rumah. Ya, Ummi selalu memberikan jam malam yang ketat untuk kami (saya dan kakak). Jam 21.00 semua putri-putrinya harus sudah ada di rumah dan tidak ada yang beraktivitas di luar, kecuali ada mukhoyyam, PERSAMI, ataupun kegiatan-kegiatan lain yang diadakan pihak sekolah. Tak lepas, itupun harus melalui prosedur perijinan dari orang tua yang berbelit.

Merasa terkekang? Iya, jelas. Itulah yang dirasakan selama 18 tahun hidup bersama orang tua di kampung halaman. Merasa kebebasaan untuk bersama teman-teman sangat terbatasi. Tidak suka dengan pola yang demikian. Semacam hal-hal itulah yang saya rasakan, mungkin juga yang dirasakan oleh kakak perempuanku.


Pelajaran itu bisa kita dapatkan setelah di akhir, nampaknya memang benar. Hikmah, itulah yang lebih tepat untuk menyebutnya. Dulu merasa tertekan tapi ada yang mengontrol, namun sekarang ketika jauh dari orang tua, sudah tidak ada yang menjaga dan memberikan batasan, jam malam? Nampaknya juga hanya sebatas kesepakatan-kesepakatan saja. Ekstra memberikan penjagaan pada diri sendiri, itulah yang hanya bisa dilakukan saat ini, saat sudah diberi kepercayaan oleh orang tua, saat belum ada yang menggantikan penjagaannya.

Menyadari, ternyata dulu saya tidak sedang dalam penjara, tapi berada dalam pengawasan dan perlakuan istana.


Ern Hidayatul Ulya

Semut Hitam Kemanisan

Di mana ada gula pasti ada semut.

Pernah tertantang untuk membuktikannya? Dan bagaimana hasilnya? Kelihatannya hanya semut-semut dengan tipe warna tertentu dan itu-itu saja yang selalu datang menghampiri gula. Tidak percaya? Ayo kita buktikan sama-sama. Cari waktu yang luang dan temukan sendiri fakta, realita dan relasi seperti apa yang terjadi antara semut dengan gula. ^^

Semut merah yang kecil, semut cokelat yang agak besar dan semut-semut berukuran kecil yang berkepala hitam dan tubuh berwarna cokelat transparan, hanya semut-semut tipe seperti itulah yang biasanya mengeroyok toples-toples gula di dapur, yang berpasukan dalam menyerbu kue, tart ataupun bungkus gula-gula di meja tamu. Padahal banyak tipe bentuk, jenis warna dari semut, dan di mana yang lainnya? (Mungkin masih pada kuliah, bermain dan sibuk facebookan sehingga lupa untuk tidak makan. Dan tidak mencari makan.)^^

 Kenyataan memang kadang tidak banyak dihiraukan setelah adanya teori, padahal bukan dengan adanya teori lantas kita diberi keterbatasan dalam berpikir. Justru sebaliknya, buktikan teori yang ada untuk menguatkan atau mungkin mematahkan jika teori itu tidak benar. Ini kesempatan untuk mengasah cara berpikir kita. Meskipun kalimat di atas bukan suatu teori, namun juga tak jarang pribahasa membelenggu kita dalam berpikir. Insya Allah, yuk ah kita manfaatkan.

Kembali pada pribahasa yang ada di atas,  berangkat dari sanalah sedikit ada perenungan, diikiuti uji coba dan ternyata benar. Tidak semua semut selalu menghampiri gula yang ada. Semut hitam, sering ditemukan berada di alam terbuka, ia berjalan dengan biritan langkah yang pasti. Merambati benda demi benda di luar ruangan, memanjat dengan mengitari pepohonan, bergelayut di dedaunan dan sering berjamaah dalam takup buah dan bunga-bungaan. Apa yang mereka lakukan sebenarnya?

Mencari makan. Makanan semut seringkali dikategorikan sebagai makanan yang manis. Tapikan sudah ada gula yang tersaji dalam kue, dalam permen, dalam toples gula di dapur dan sebagainya, toh kesemuannya juga manis, kenapa tidak dipilih, dicicipi dan dijadikan makanan? Toh ia tak perlu banyak tenaga untuk mengkais, tak perlu banyak keringat untuk mencari makan. TIDAK. Karena ia tidak suka, makanan semut hitam adalah gula alami yang ada di buah-buahan, bunga-bungaan dan tetumbuhan bersari manis lainnya.

Tapi lagi-lagi ada pembelajaran di sini, ia tidak mengusik semut yang lain, berantem? Tak pernah kita menyaksikannya. Semut hitam memilih mencari gula di pepohanan dan tetumbuhan, semut merah maupun semut cokelat juga memilih untuk mencari makannya di sana. Semoga manusiapun juga tak ubahnya dari itu. Berhikmah dan mencarilah pembelajaran.



Bandung, 26 Maret 2012
16:06
Ern Hidayatul Ulya

Membersihkan "SAMPAH" pikiran

Suatu ketika Anas bin Malik berjalan dengan Rasulullah Saw. Ketika itu datang seorang Arab Badui dari arah belakang. Dengan serta merta ia menarik jubah yang dikenakan Rasulullah Saw.

Anas berkata : “Aku memandang leher Rasulullah dan melihat jubah itu telah meninggalkan bekas merah karena kerasnya tarikan. Orang badui kemudian berkata: Wahai Muhammad, beri aku sebagian dar kekayaan Allah yang ada di tanganmu. Rasulullah menoleh kepadanya dan tersenyum, lalu memerintahkan agar orang itu diberi uang.

Kisah ini menggambarkan betapa mulianya Rasulullah Saw. Beliau tidak pernah membalas keburukan orang dengan keburukan lagi. Saat dihina, beliau tidak marah atau sakit hati. Beliau justru mendoakan kebaikan.

Mengapa Rasulullah Saw mampu tenang dan bijak menghadapi gangguan orang lain? Jawabannya, Rasulullah memiliki kelapangan dada dan kejernihan pikiran.

Ternyata yang membuat hidup kita tidak bahagia adalah diri kita sendiri. Penyikapan yang buruk terhadap suatu kejadian adalah sumber penderitaan. Mirip orang yang sariawan makan keripik pedas. Ia menangis marah dan uring-uringan. Yang membuat ia menderita bukan keripiknya, melainkan lidahnya yang berpenyakit. Bagi orang yang tidak sariawan, keripik tersebut nikmat dan renyah.

Banyak hal yang membuat hidup kita tidak nyaman. Salah satunya adalah kegemaran menyimpan “memori-memori” buruk. Otak bisa diibaratkan wadah penyimpanan yang akan kotor ketika kita mengisinya dengan sampah.

Pengalaman buruk, seperti penghinaan, perlakuan buruk, cemoohan, ketersinggungan, kegagalan, dll adalah “sampah-sampah” yang berpotensi mengotori pikiran. Semakin sering menyimpan memori buruk di otak, semakin negatif sikap dan perilaku kita.



Karena itu, satu syarat agar hidup kita bahagia adalah membersihkan kepada dari “sampah-sampah” busuk. Caranya?

Pertama: selalu berusaha mengingat kebaikan orang lain dan melupakan keburukannya. Saat orang lain menyakiti kita carilah seribu alasan agar kita tidak benci. Ingatlah selalu kebaikan-kebaikannya. Jangan sampai kita mengabaikan seribu kebaikan orang, hanya karena satu keburukan yang boleh tidak sengaja ia lakukan.

Kedua: segera lupakan semua perlakuan buruk orang lain. Ibaratnya, kalau tinta mengotori muka, maka tindakan yang bijak adalah segera membersihkannya, bukan membiarkannya atau menunjukkannya kepada orang lain. Demikian pula saat orang berlaku buruk pada kita, menghina misalnya, alangkah bijak jika kita segera menghapusnya, bukan memendamnya, membesar-besarkannya, atau menunjukkannya kepada banyak orang.

Ketiga: Mohonlah kepada Allah Swt agar diberi hati yang lapang dan pikiran yang jernih. Ada doa dalam Al Qur’an yang bisa kita panjatkan: “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku dab lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha: 25-28)

Bandung, 3 April 2012
Menimbang Perkataan Muslim”,

Gelagat Penguasa

Menjelang sidang MPR tanggal 12 Maret di kalangan masyarakat jadi semakin terasa ketegangan yang dirasakan oleh para pemegang kekuasaan Negara kita ini. Larangan terhadap bioskop memutar film-film yang memungkinkan merangsang terhadap ketentraman dan gangguan keamanan sebenarnya tidak perlu dan hanya membuat masyarakat yang tidak tegang menjadi tegang. Orang jadi pada bertanya-tanya, apa gerangan yang disangka atau ditunggu oleh penguasa akan terjadi, sehingga film-film yang menunjukkan adegan kekerasan supaya jangan sampai dipertunjukkan di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia.

Selama ini film-film demikian dipertunjukkan terus-menerus tanpa menimbulkan akibat-akibat yang merusak atau menganggu keamanan.

Selain itu, juga telah dilarang berbagai pertemuan, seminar, konferensi, ceramah-ceramah dan sebagainya, semuanya dengan alas an demi menjamin ketenangan menjelang dan selama sidang MPR.

Malahan harian Kami memberitakan bahwa Kamtib DKI telah diperintahkan agar siap menghadapi demonstrasi mahasiswa. Kami telah memasang kuping ke dunia mahasiswa di Jakarta dan tak mendengar ada kelompok mahasiswa yang merencanakan melakukan demonstrasi maka mahasiswa akan berdemonstrasi. Tetapi menurut hemat kami kemungkinan ini kecil sekali.

Kita semua sangat setuju untuk menjaga supaya ketentraman dan ketertiban terjaga terus, tidak saja menjelang dan selama sidang MPR, akan tetapi seterusnya.

Kami khawatir tindakan-tndakan yang diambil bukan membikin tenteram, tetapi sebaliknya bikin masyarakat jadi gelisah resah. Malahan mungkin orang jadi takut untuk menyampaikan rasa isi hati mereka, baik lewat pers maupun langsung pada para anggota MPR yang terhormat. Jika ini terjadi, hal ini merupakan kerugian besar bagi sidang MPR. Hendaknya menjelang dan selama sidang, dan setelah sidang, memberikan saran-saran, sumbangan pikiran, hasrat-hasrat dan mimpi-mimpi mereka, ketakutan-ketakutan dan kekecewaan mereka pada wakil-wakil MPR. Dengan demikian terjalin hubungan erat antara para wakil rakyat anggota MPR dengan rakyat banyak, timbul iklim senasibsepenanggungan, dan terbulka jalur dan saluran komunikasi yang erat antara para anggota MPR dengan rakyat.

Akan tetapi, jika sidang MPR dibikin terlalu angker, maka MPR akan jauh dari rakyat, hubungan MPR dengan masyarakat jadi kaku dan jauh, dan percuma sja pemilihan umum yang lalu. Baiklah kita sdari bahwa bukan saja di Indonesia melainkan juga di negeri-negeri lain, di samping memakai saluran partai, maka rakyat (terutama yang nonpartai yang jumlahnya masih merupakan jumlah yang terbesar) ingin pula secara  langsung menyampaikan isi hati mereka pada wakil-wakil MPR yang terhormat lewat tulisan-tulisan di media massa, lewat ruang pikiran pembaca di surat kabar, lewat interview  dengan pers.

Malahan kami berpendapat  bahwa sebaiknya masyarakat didorong untuk  mempergunakan saluran-saluran yang sah serupa ini untuk menyampaikan isi hati mereka pada anggota MPR. Masalah kedudukan ekonomi pribumi yang lema, soal keadilan sosial, hokum, pendidikan, lapangan kerja, modal asing, perumahan rakyat, dan berbagai masalah lain yang selama ini menimpa rakyat kita hendaknya dapat dengan bebas dikembangkan pada para anggota MPR.
Karena itu, kami menganjurkan pada para penguasa supaya memperlihatkan sikap yang tenang agar rakyat juga ikut tenang.



3 Maret 1973

Tepat dan sepertinya masih akan tetap berlaku dengan kalimat penutup yang disampaikan oleh Muchtar Lubis dalam tajuknya di atas. Sebuah anjuran agar para penguasa tenang tidak perlu terkesan takut dan merasa gusar denga gundah, karena jikalau penguasa sudah kelabakan dalam mencari tempat persembunyian yang aman, maka ke mana lagikah rakyat-rakyatnya akan lari dan bernaung? anak ayam yang kehilangan induk, dan tentunya rakyat akan jauh lebih kuwalahan. Rakyat akan semakin bingung dan akan semakin tidak tenang.

Setengah sadarpun, orang-orang akan mudah memberikan pandangan, Indonesia sekarang sudah tidak memberikan kenyamanan, banyak anarki yang terjadi. Banyak aksi brutal oleh para rakyat yang merasa tertindas, penolakan BBM di akhir Maret kemarin pun  juga setengah-setengah untuk bisa kita berikan penyikapan. Setengah bisa dianggap salah, namun juga setengah mereka tidak bisa disalahkan. Semua keadaan itu terjadi sebagai suatu respon atas rangsangan yang ada. Respon atas penindasan dan keadaan yang tidak berpihak padanya.

Refleksi sesaat yang pantas dan bisa untuk digunakan sebenarnya simpel. Kalau sekiranya tidak ada sesuatu yang kurang tepat, salah, aib, noda, penipuan, kerusakan, penyelundupan, mafia terselubung, kejahatan yang teragendakan dan nokta-nokta salah yang tersengajakan lainnya tidak sepantasnya ada kegelisahan saat ada tuntut ketransparanan.

Dalam bahasa lain, tidak perlu adanya penutupan, tidak perlu adanya kegelisahan dan tidak perlu ada kegusaran. Tenanglah. Karena jika engkau benar maka engkau akan tenang. Jika banyak kegusaran, dan bidik serta intip lainnya atas pergerakan-pergerakan rakyat ditanggapi dengan kegelisahan, ketidak tenangan yang lebih terkesan ketakutan, maka sudah sewajarnyalah jika rakyat semakin curiga pada aparat, jika rakyat semakin membenci pada pejabat.

Mahasiswa, hanya sebatas titik tolak pencerdasan. Mahasiswa hanya sebatas sulutan api untuk membuat penerangan di masa-masa yang akan datang. Jika memang menghendaki api penerangan itu menyala dengan bersih dan bermanfaat maka luruskanlah dengan penggaris-penggaris emas dari awalnya. Cobalah untuk belajar benar. Salam pembelajar dan perjuangan. Hidup Mahasiswa.


Ern Hidayatul Ulya

Pandangan Tajam

Dari mana datangnya lintah?
Dari sawah turun ke kali.
Dari mana datangnya cinta?
Dari mata turun ke hati.

Guru bahasa Indonesia semasa SD dulu sering menugaskan untuk membuat kalimat bersajak. A-A, A-B, atau apa sajalah. Yang penting bermakna dan berpungkasan sama atau senada. Kalimat itu juga masuk sebagai bagiannya, ia bersajak A-B-A-B. Inti yang terkandung di dalamnya adalah sebuah cinta akan berawal ketika ia mengetuk mata terespon oleh syaraf otak, hati juga berkontribusi akhirnya masuk ke hati. Ada bunga, indah dan cinta di sana.

Ah, nampaknya tiada menjadi seorang pakar juga kalau harus menceritakan tentang cinta. Takut banyak yang salah dan takut ada yang kurang tepat. Ada cerita yang hendak disajikan berangkat dari pengalaman pandangan.

Kuliah siang bolong, bukan menjadi pilihan yang ideal bagi semua orang. Termasuk mahasiswa STKS. Dosen belum datang sudah hampir di dua puluh menit pertama, BT tentulah itu yang dirasakan. Kududukkan jasad di bangku koridor mading.

Ya, ada buku bacaan di tangan kurasa sudah cukup untuk menunggu.
“hoeee, ada wacana tentang melarang merokok di kampus ni.”, teriakkan seorang mahasiswa laki-laki pada teman yang duduk jauh di seberang, sembari   berdiri tepat di depanku dan menghadap mading yang berisikan artikel tulisan seorang partner dakwahku, Muhammad Joe Sekigawa.

Pandang balasan acuh yang mereka (teman-temannya) berikan. Atau tak berespon  mungkin yang lebih tepatnya.


“Kita kan, para penggemar rokok, bagaimana kalau artikel ini kita robek saja?”, entah dengan keseriusan atau nada bercanda, sengaja tak kuperhatikan nada bicaranya. Tertatap, lantas muncul bayangan “kasihan” tertuju untuk anak itu.

Tak lama, isyarat dari teman-temannya yang memberi penjelasan pada si dia, kalau ada orang di belakangnya segera ia tangkap. Dengan muka padam karena malu ia kemudian diam. Wah, gak enak hati nampaknya. Yaha, aku tak berucap apa-apa untuk dia, aku tak melempar apapun ke hadapannya, hanya sekilas pandangan yang memperhatikan yang aku berikan. Kasihan. Dan ungkap itulah yang bisa saya manifestasikan.

Kawan, lama wacana itu ingin kami munculkan. Tapi memang terlampau sulit dan berbelit. Mulai dari birokrasi lembaga yang mengatakan bahwasanya merokok di lingkungan kampus sudah menjadi perihal yang melembaga. Bukan Cuma di kalangan mahasiswanya saja bahkan mayoritas dosen maupun pegawainya juga demikian. Jadi akan sangat frontal isu itu kami bawa.

Bukankah Allah tidak tidur, itulah salah satu jalan yang nampaknya diberikan sebagai metode untuk berdakwah. Yang basisnya dikatakan sebagai sekolah kedinasan, tapi banyak orang yang gemar mengisap rokok di area perkuliahan. Tragis, miris, ironis bahkan memalukan. Kedinasan tapi penuh dengan perokokan.

Pandangan yang ingin meminta pertanggung jawaban. Dengan bangga ia menyatakan diri sebagai penggemar rokok dan dengan lantang ingin merobek artikel tersebut. Dan inikah yang disebut keberanian? Ya, sebanding dengan kegiatan kemahasiswaan yang mengadakan turnamen dengan sponsor utama perusahaan rokok.

Gempar mungkin akan terjadi sementara. Dan pandangan tajam itu tidak banyak yang memberikan. Hanya mereka memilih diam serta yang paling tragis datang bersorak-sorai dan kemudian mengucapkan selamat dan memberikan jempol.

Ya Rabb, karuniakanlah kepada kami keikhlasan, tetapkan kami menempuh langkah-langkah kebenaran dan ridhoilah kami untuk memiliki mata-mata tajam kekritisan. Aamiin ya Rabb al amiin..

Bandung, 19 Maret 2012
19:47
Ern Hidayatul Ulya

"GOSIP" Pengemis

Sedikit geli ketika banyak terdengar berita dan banyak tercuat kabar, pengemis sekarang bukanlah pengemis yang murni. Pengemis gadungankah maksudnya? Ehmm, tentu bukan.

Kalau sedikit  mau menelisik akan cerita dan penuturan dari orang tua, orang terdahulu dan orang yang memang dianggap lebih paham dan mengerti akan ilmu masyarakat  dan hikmah-hikmah keadaan , pengemis adalah orang yang meminta-minta, orang yang mencari nafkah untuk menunjang kehidupannya di jalanan ataupun keramaian lainnya dengan menengadahkan tangan pada orang lain dengan harapan untuk ada belas kasihan, ada permintaan agar mereke diberi dan ada keinginan untuk hidup dari uang yang didapat. Berdasar pada asas belas dan kasih. Mengorbankan harga diripun dilakukan jika itu bisa menjamin keberadaan mereka. Menjamin keberlangsungan hidup dan penyambung nyawanya. Demi sesuap nasi.

Itu hanya wacana dari orang, mereka memberikan gambar dan wacana pemberitahuan pada kita, dan lagi-lagi  terserah pada kita dalam menyikapi wacana tersebut. Akankah menelan utuh-utuh, akankah menjadikannya sebagai titik awal untuk mengambil hikmah dan pembelajaran yang lebih kuat dan lebih dalam lagi? Itu semua adalah ketetapan yang bisa dipilih, secara globalnya disebut kebebasan.

Selanjutnya, pengemispun sering digosipkan:



“mereka itu sebenarnya orang mampu, orang punya harta bertumpuk di kampung halamannya”.
“mereka bukan berasal dari keluarga yang tidak mampu, bukan berasal dari keluarga yang di bawah garis kemiskinan”,
“mereka memanfaatkan keadaan untuk mencari keuntungan, yah meskipun mereka harus merendahkan harga diri mereka, meski mereka harus diinjak-injak asal dapat uang ya tidak ada masalah”
“mereka diorganisir oleh beberapa pihak tertentu, kemudian mereka menyetorkan sejumlah uang yang ditarget kepada orang atau pihak tersebut”.

Dan itupun juga suara-suara masyarakat, disampaikan oleh orang secara umum, dan masyarakat juga yang hanya akan dibingungkannya, jugde-jugde orang-orang semata. Kalau mereka yang mau berpikir dan ada yang mau menyampaikan keluhan dan kendala mereka dalam mengolah informasi pasti akan menyampaikan bahwa “pemerintah kita adalah orang, ia punya mata untuk melihat, ia punya telinga untuk mendengar apa yang disuarakan oleh orang sekitar. Harusnya mereka bisa bertindak akan apa yang terjadi. Apa sulitnya untuk melakukan razia dan pemutusan mafia yang ada? Apa yang selama ini dikerjakan oleh mereka para orang yang mengaku lulusan pekerja sosial? Tidak mengurangi dan berusaha menyelesaikan masalah sosial yang ada, namun mereka hanya sebatas menambah daftar masalah sosial negara. Dengan menjadi pengangguran, pengemis, anak jalanan atau bahkan gelandangan”.

Kembali, sedikit terhentak dengan memori yang sudah-sudah, lahan garapan pekerja sosial memang ya ranah sosial, masyarakat yang jumlahnya fluktuatif, dan kadang semakin bertambah akibat struktur kebijakan, akibat himpitan keadaan dan sebab-sebab lainnya. Kalau tidak ada kerjasama dengan semua pihak, kapan mau diselesaikan? Kalau kita tidak mau ‘awal’ bergerak, siapa yang akan mencontohkan? Kalian para mahasiswa calon pekerja sosial, mulailah terjun dan ambil peranan.

Mau jadi calon pekerja sosial seperti apa? Pilih dan tetapkanlah. Nampakya masa juga tidak akan selesai di sini manakala hanya diam dan mengikuti arus-arus yang ada. Segeralah beranjak, bergerak mengejar perubahan. Semangat, salam pembelajar dari Muslim Negarawan STKS Bandung...


Humas dan Media KAMMI STKS Bandung
Ern Hidayatul Ulya

KUCINGnya KUCING-KUCINGan


Banyak yang memilih waktu senja, jelang maghrib, sebagai waktu untuk istirahat, melepas kepenatan, merehatkan otak, maupun organ-organ fisik lainnya setelah seharian digunakan beraktivitas, diforsir untuk sebuah kinerja yang berat. Santai, itulah bahasa yang sering diterjemahkan untuk mewakili aktivitas-aktivitas istirahat tersebut. Tak ubahnya dengan pilihanku kemarin sore. Kebetulan sore itu mampir di rumah rekan kuliah, masak-masak ceritanya. Setelah masak, makan bersama, ingin istirahat sejenak berikut melepas kepenatan dari kampung praktikum.

Tak tahu mengapa, mata ini begitu ringan untuk terpejam, sekitar jam 16 lebih sedikit, ah setidaknya cukup memungkinkan kalau mau tidur, zzzzzzzzzzzz,

Brugggkkkkkkk. Meong-meong.. Huuuaaaaaaaqqqrrr, meong-meong.

Terperanjat dan harus kuakhiri tidur soreku, apa sih? Pikirku lagi, berisiknya. Ckckckkc.
Nah ternyata akhwat-akhwat kostan pada keluar dan mennghentikan kucing yang sedang bertengkar. Dua kucing yang sedang bermasalah sepertinya. Dengan kesel bercampur penasaran kubangun dari tempat tidur dan bertanya ke teman “ada apa di luar, mbak?”,
 “kucing, lagi berantem, rebutan daerah kekuasaan”, bilangnya.
“hah?”, tanyaku hendak memastikan, mungkin saja pendengaranku sedang kurang fokus. Koq ada kucing yang rebutan daerah kekuasaan. Ada-ada saja.

Tak ingin tahu bagaimana kronologis, sebab musabab pastinya kenapa dua kucing itu berantem. Namun lamunan ini kembali berlari dan mengajakku berputar-putar.
Nice "kucing" namaku.....


Apa memang sudah secara kodratnya makhluk itu diciptakan untuk saling menindas demi kebaikan dirinya? Agar ia menang maka ia harus mengalahkan yang lain? Agar dia bisa kaya maka ia harus memiskinkan orang lain? Dan lagi-lagi manusia memang mirip dengan hewan-hewan yang  lainnya. Kemarin mirip dengan itik (baca: itik-itik terdidik), dan sekarang kujumpai manusia juga sama halnya dengan kucing. Berantem untuk memperebutkan kekuasaan, wilayah atau bahkan Cuma sekedar pengakuan dari orang lain. Bukankah manusia seharusnya lebih baik dari pada kucing.

Lamunanku ternyata membuat kepala tambah sedikit menjadi berat terbebani. Migran rasanya, kuletakkan kembali kepala di atas bantal, tak lama mata ini kembali terkatup. Mudah sekali aku tidur, tak tahu kenapa, mungkin capek? Ah itu hanya dalih penguatan dan pembenaran saja. Heheheh.

“Mbak. Mbak. Mbak.”
Ada yang memanggilku, ku tengok ke kanan dan ke kiri tak ada orang satupun di sini. “Siapa?”, tanyaku lirih.

“Memalukan sekali ya mbak kalian itu? Katanya punya otak, harusnya berpikir, tidak bergerak dan bertindak asal kayak gitu. Lha opo ya layak belajar pada kami. Harusnya kalian yang mengajari kami, bukan sebaliknya. Predikat ummat terbaik koq gak diberdayakan, bener-bener memalukan”

Langsung dia pergi. Speachless, tak ada yang bisa terucap apalagi untuk mencegah. Aku terbangun, ternyata seekor kucing yang mengatakan itu padaku tadi, dan aku dalam keadaan bermimpi. Benar juga apa yang dikatakannya. Manusia tak sewajarnya menjadi kucing, kucing yang kucing-kucingan.


Bandung, 18 Maret 2012
22:27
Ern Hidayatul Ulya

KERA-KERA KELADI


Sssstttt... ada benang merah lagi yang kita temukan, dan juga kita bakal menemukan mutiara di dalam lumpur. Yuk, sebentar saja kita sempatkan berburu. Keep spirit...


Semasa kecil berulang kali kita mendengarkan cerita tragis si kera usil. Yang pada suatu hari ia berjalan-jalan di pinggiran hutan dekat dengan jalan setapak. Cuaca senang, sepertinya sedang berpihak padanya saat itu, ia menemukan sebuah perkebunan aren milik seorang petani. Berlanjut dengan ide cerdik, licik dan jahilnya muncul untuk memanen aren yang ada di kebun tersebut. Ember, pisau, tali dan segenap peralatan penyadapan sudah ada di pojok kebun, yang mana sering digunakan pak Tani untuk memanen air sadapan aren.


siikkk. Assiikkk.ssiikk.Asssiiikk.. Itulah yang memenuhi pikir dan perasaan si kera. Tak perlu bersusah payah menanam ataupun merawat namun pada akhirnya bisa merasakan hasil panenannya. Lancar, sampai ia menanti ember yang dibawanya itu penuh dengan air sadapan ia tunggu sembari  tidur-tiduran  di atas pohon. Tepat di depan posisi ember.  “Yuhu, pasti ember sudah penuh dan bisa kujual ke pasar, dan aku akan mendapatkan uang darinya”. Lagi-lagi pikiran cari untung sendiri masih melingkupi pikirannya.


Angan yang semakin panjang, ditemani angin yang mendayu lirih perlahan mengantarkannya pada tidur dan mimpi-mimpi indah. Hingga akhirnya “Brukkk” terulang suara serupa yang lebih ringin “bruk”, “Adduuuuuhhh, mimpi apa ini?” teriak si kera dengan lantangnya. Ya, ia terjatuh. Maka spontan pak Tani datang dan meringkus si kera. Singkat cerita, ia lantas diadili oleh pak Tani. Jengkel, bahagia, marah, syukur dan semuanya tertumpah jadi satu. Kera ini harus dihanguskan.. ckckckc. Tragis. Inilah akhir hidup dan perjalanan si kera. Kandaslah cita-citanya untuk menjadi kaya dengan berjualan air sadapan aren, dan hilanglah sudah mimpi-mimpi besarnya.


Kesimpulan singkatnya, karena si kera melamun sampai ia tertidur, ia lalai dan semakin lengah oleh terpaan angin lirih yang mendayu sepoi-sepoi. Terjatuh dan jatuh pula mimpi-mimpinya, karena kera masih menganut paham “mimpi di siang bolong”. Tidak syah, halal dan realistis. Poor you ^^


Ini mungkin mutiaranya..

Memang, tidaklah tepat kalau kita menjadikan kera sebagai acuan. Karena dulu pun ketika mbah kakung (jawa: kakek) Charles Darwin mengemukakan bahwa kita adalah keturunan kera, berduyun-duyun pada tidak terima, sampai dengan hadirnya sanggahan dari Ust.Harun Yahya membantu menguatkan pijak sanggahan tersebut. Serentak kita tidak menyepakatinya. Namun bukankah Allah menciptakan segala sesuatu itu tidak untuk disia-siakan? Pasti semua berhikmah, berpetuah dan akan ada pelajaran kalau kita mau terbuka dan mencoba memahaminya. Okey? Siap dan semangat? Lanjutkan!


Celetukan yang akan digumamkan orang ketika mendengar atai membaca kisah di atas adalah, “harusnya kera tersebut tidak mencuri, tapi ijin pada yang punya kebun dan jangan mengharap atas apa yang bukan menjadi hak miliknya serta tidak sewajarnya ia panjang angan-angan dan kemudian terlena atas keadaan.


Amati-Tiru-Modifikasi. Konsep ATM masih diberlakukan di sini.

Karena baik, maka pilihlah


“Mereka menanyakan kepadamu; apakah yang dihalalkan bagi mereka? ‘katakanlah: “dihalalkan bagimu yang baik-baik” QS. Al Maidah: 4


“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik....” QS.Al Maidah: 5
Tanamkanlah, bahwasanya memang hanya yang halal saja yang boleh. Hanya yang baik saja yang halal. Maka, ayo, terapkanlah pola mendengar dan kemudian taat. Jika berharap kebiakan (termasuk di dalamnya adalah kesuksesan dan kebahagiaan) maka gunakan jalan yang baik sesuai yang diaturkan untuk kita. Apalagi kalau bukan al Qur’an dan as Sunnah?


Berangan-angan dan punya mimpi, itu adalah hak dari semua orang. Dengan punya mimpi, maka diharapkan akan ada ikhtiar yang digunakan untuk meriaihnya, mimpi-mimpi akan menjadi motivasi tersendiri dalam bergerak. Hanya saja dalam ranah angan dan mimpi, kita akan menjumpai beberapa tipe manusia.

1.       Tipe pesimis
Di mana manusia yang mimpinya lebih kecil daripada kesempatan yang ada. Ia tak mau menanggung banyak resiko atas kegagalan dan kekecewaan.

2.       Tipe realis
Di mana manusia yang menyetarakan antara kesempatan dan impian. Ia lebih memilih tinggal dalam nuansa yang flat (datar)

3.       Tipe idealis
Jika kesempatan itu ada 10, maka dia akan membuat 15 mimpi atau bahkan lebih. Di mana 10 mimpi ia penuhi dengan kesempatan, namun dia juga akan mengikhtiarkan untuk menemukan 5 kesempatan baru guna mengejar 5 targetan mimpi tertinggalnya. Ia akan berusaha untuk mencari peluang, ia akan bekerja keras melewati tantangan. Karena idealisme yang mengantarkan orang semacam ini pada kerja keras dan kerja cerdas.

Pilihan tipe mana yang hendak digunakan dan perlu diingatkan bahwasanya setiap tipe juga akan memiliki resiko tersendiri, kelebihan dan kekurangan masing-masing. Intinya “seimbangkan anganmu dengan ikhtiarmu”.

Dan bersiap siagalah...
Ibnu Abbas ra.berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “awal dari perkara ini adalah nubuwah dan rahmat, kemudian khilafah dan rahmat. Setelah itu akan muncul raja dan rahmat, lalu penguasa dan rahmat, kemudian mereka saling melukai sebagaimana keledai saling melukai. Oleh karena itu, hendaklah kalian berjihad. Dan sesungguhnya, jihad paling utama adalah ar ribath (besiap-siaga). Ribath kalian yang paling utama adalah di ‘asqalaan”.

Dan masih ingatkan kita, sebagaimana dalam surat cinta yang selalu kita baca “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”. Ali Imran:200

Tidak pernah ada nasehat atau pesan “jangan hati-hati ya, nanti kamu jatuh saja ya di jalan!” atau pesan-pesan senada yang lainnya. Yang ada justru pastilah pesan bagaimana kita terus melangkah dengan penuh kehati-hatian, penuh kewaspadaan dan tersu bersiap siaga. Dengan siap siaga akan menghadirkan penjagaan yang ketat, dengan siap siaga suatu kelalaian dan kelenaan tidak akan dengan mudah menghampiri terlebih menyapa, kapanpun dan di manapun tetaplah bersiap siaga....

Pilih jalan yang baik, terus pertajam mimpi dan kuatkan ikhtiar serta bersiap siagalah. Jangan sebatas mengharap layaknya kera dalam cerita. Jika si kera sudah jatuh karena kesalahannya, maka sungguh tak layak jika kita hanya mendengar lantas mengulang kesalahan tersebut. Maka, ikhwah, ayo bangkitlah karena kita bukanlah kera. Kita bukan kera-kera keladi itu.

berIKAN KOI sendiri


Fasilitas yang lengkap, pemandangan yang tenteram, taman kecil yang tertata indah menyempurnakan ke-esotikannya, matahari terbit setiap hari bisa menyapa dan menghangatkan ruangan melalui celah-celah ventilasi yang tertata dengan rapi, sehat dan sejuk terirama. Tempat yang memang dianugerahkan oleh Nya. Entah ini adalah sebuah nikmat dan jawaban atas do’a selama ini, atau sebuah ujian atas keberadaan dan uji kelayakan iman lainnya. Tapi keduanya juga tidak beda tipis, bahkan bisa dikatakan suatu kesamaan. Bukankah nikmat juga bagian dari ujian?


Segala puji syukur hanya pantas terpanjat padaNya. Nampaknya tidak afdhol jika pagi hari tak dihabiskan dengan bercengkrama dengan ikan-ikan kecil di kolam depan. Nila, mas, mujair, gurame berhabitat dalam satu kolam, nampak rukun mereka hidup berdampingan. Berkelompok dengan bangsanya, sesekali juga mereka lakukan tapi membaur bersama  lebih sering mereka perlihatkan. Rukun, berdampingan satu dengan yang lainnya.


Duhh, ada yang luput dari pengamatan. Ada satu ikan yang berbeda dari yang lainnya. Ia berwarna mencolok, terang, merah bercampur putih bersih. Cantik! Berkeliaran, berlari dalam air dengan penuh bebasnya, tapi ia hanya seekor tanpa ada yang serupa dan sewarna.


Gemericik air diiringi instrumen alpha relaxation tanpa sadar mengajak perasaan dan akal bersinergi, diajaknya sedikit bersenandung di alam mereka, seekor ikan koi itu yang dijadikan topik bahasan kali ini. Ia digariskan hidup dalam air, mengahabiskan waktu dengan kelopak mata yang tak pernah tertutup, dalam keadaan tidur ataupun jaga. Menghirup dan menghembus nafas dengan insang dan kepak sirip. Bergerak santai dan gontai, menyisir air sesukanya. Kali ini ia hanya tinggal sendiri di habitat kolam kecil, tak ada yang menyertai dari kalangan yang setipe dengannya. Ia membaur dengan Mas, Nila, Gurame dan Mujair-mujair besar itu. Fleksibel meski dengan kesendiriannya, tetap ramah meski dengan postur badan kecilnya. Tak kenal takut, minder atau memilih mengisolasikan diri. Beradaptasi, mungkin itu kunci yang terus dibawanya.


Teringat pelajaran biologi sewaktu SMA kelas 1 dulu, kalau sekarang dengan kurikulum KTSP disebutnya kelas 11. Di sana ada bahasan tentang materi adaptasi, ada fisiologi, morfologi dan tingkah laku. Di sana ada subbab tentang seleksi alam juga, satu bentuk seleksi yang diberikan oleh alam pada makhluk hidup yang tinggal di dalamnya, dan makhluk hidup harus melakukan pertahanan diri untuk bisa menetap dan melanjutkan kehidupannya di sana, dengan beradaptasi itulah mereka (para makhluk) bisa mengatasi seleksi alam. Seekor ikan koi di hadapanku ini juga termasuk di dalamnya. Ia juga melakukan proses demi proses adaptasi. Menjadikan kesendiriannya sebagai senjata untuk bisa bersama, menjadikan keasingan dirinya sebagai bekal untuk berelasi, menjalin komunikasi dan interaksi lainnya.


Berawal dari kelemahan itulah ia bangkit, berasal dari keterbatasan itulah ia akhirnya kreatif, menembus ketidak samaan untuk merengkuh kebersamaan. Hadir dengan perbedaan untuk mewarnai dan mencari warna. Tanpa pernah merasa paling rendah ataupun melambung karena menganggap diri paling tinggi.


Kawan, satu edisi yang semoga tetap bisa menjadi pembelajaran bagi jiwa kita yang senantiasa haus akan pemaknaan dan pembelajaran. Kapan dan di manapun kita masih bisa untuk berhikmah, berlapanglah dan terus mengasahlah. Salam pembelajaran.


Kadakajaya, Tanjung Sari, Sumedang
23 Maret 2012
Ern Hidayatul Ulya