Oleh : Erna Dwi Susant, S.ST
![]() |
Sumber gambar : menujubermartabat.wordpress.com |
Sensitivitas keadaan
Karena
tak sekubu maka harus segera tersekat, pindah dan beranjak. Yang tak sehaluan
harus segera menyingkir dan tahu diri kalau ini bukan kawasan untuk kalian.
Jika kelihaian dalam jamaah dan kebersamaan murni yang ingin tergapai, pahamkan
idealisme mu, ajari dia untuk berbenah dan seret ia untuk mengakui bahwa kita
adalah satu, tak mungkin dan tak seharusnya ‘berbeda’, tak sewajarnya untuk
membuka lebar celah perbedaan. Pahami hakikat jalan kami, dan selaraskan dengan
peta jalanmu lantas selaraskanlah. Simpelnya seperti itulah realita yang
sebenarnya ada di sini, realita yang memang tidak menggebu-gebu menunjukkan
taring pemaksaannya, tapi sejatinya dengan lantang ia menyuarakan berasas pada
kata ‘persatuan’ memaksa orang yang tak sehaluan untuk berganti arah dan
mengambil haluan yang senada dengan dirinya. Semua meminta untuk dipahami dan
diikuti.
Di
seberang sana ada keadaan yang serupa, mereka yang kita paksa untuk meleburkan
diri dalam satu kata ‘sepakat’ untuk mengambil pilihan serupa juga memiliki
keinginan diikuti. Mereka punya idealisme besar dibalik kerangka kerjanya.
Mereka secara paten memiliki keyakinan teguh atas pilihannya yang kemarin, dan
tidak bisa dengan serta merta mereka harus membuka pintu dan membuang lepas
idealisme yang dimiliki sebelumnya dan mengganti dengan prinsip
perjalanan/nilai/norma tetangga. Karena segalanya telah dibalut dengan banyak
altruisme sebelum bercokol kuat dan berdaun lebat dalam pilihannya. Mereka akan
memperjuangkan nilai mereka, dan akan semaksimal mungkin meminta tetangga
memahami dan menyelusup meminta diikuti. Sama-sama meminta diikuti.
Jika
sebuah analogi kini disajikan, satu ritme dagang kembali ditawarkan maka
sejatinya pasaran di manapun akan menghadirkan pedagang yang gemuruh berteriak
menawarkan dengan bangga barang dagangan dan komoditas lapak mereka. “Mari-mari, pilih ini, ini yang terbaik, ini
yang terbaik, ayo dipilih-ayo dipilih”. Demikianlah romantisme
keberlangsungan hidup, dalam realita dan di Indonesia juga. Pemaksaan perbedaan
untuk menjadi sama, dengan dalih untuk persatuan, semuanya harus satu, tak ada
warna pembeda tak ada yang memisahkan dan harus melebur indah dengan
menyeragamkan segalanya. Indonesia.
Transformasi pindah nama
Delapan
puluh empat tahun sudah terjalin sampai sekarang, saat pemuda-pemuda yang
berangkat dari seluruh pelosok desa memberangkatkan wali-walinya dalam
musyawarah kota. Untuk menyepakati dalam kenasionalan, agar muncul tonggak
kesaktian, satu wacana, satu prinsip dan satu suara “KAMI INDONESIA”.
Bukan
dari sebuah sumpah ia berawal, tapi pada pemaknaan atas sebuah ikrar. Sebuah
janji untuk bergerak, sebuah janji untuk menghalau ragam perbedaan menuju muara
persatuan. Sampai dengan alih harap untuk mendongkrak semangat dan kerangka
juang yang lebih kokoh dan transformasi tenaga perjuangan yang lebih kuat maka
kata ikrar itu dikemas ulang oleh pak Soekarno dengan kata ‘sumpah’. Terdengar
lebih kuat, terdengar lebih dahsyat dan terdengar lebih elegan disuarakan.
Pemuda berhimpun dari segala penjuru Indonesia untuk menyatukan satu sumpah,
sumpah kebersamaan, sumpah keseragaman dan sumpah menjadi satu dalam kata
Indonesia.
Tenanglah, karena engkau telah
bersumpah
Di sana
ada sebuah jendela yang besar, beranjak dari tempat dudukmu yang sekarang,
tenggoklah di luar sana apa yang sedang terjadi. Indonesia telah bertumpahan
darah dengan pemaksaan kehendak, bersenandung lara dengan pengusiran dan
pengejawentahan keadaan. Pemerkosaan nurani untuk bersuara dan berkiprah dalam
laganya. Mereka dituntut untuk menyamakan suara, membuat tangga nada hanya
berada pada pola sopran saja. Mereka diminta untuk menjadi satu warna dengan
segala cara. Indonesia harus menjadi merah maka mereka yang hijau dipoles keras
biar terlaksana menjadi merah, mereka yang putih ditumpah ruah tinta agar jadi
merah, mereka yang biru dipaksa berganti warna menjadi merah. Dan sampai pada
satu titik di mana Indonesia akan dikenal dengan kemerahanya. Lantas benarkah
demikian makna dan warisan dari transformasi ikrar pemuda? Memaksakan bahasa
persatuan dengan pemaksaan untuk menjadi satu dan serupa. Melebur jadi satu
belangga dari segala rupa asalnya, dipoles dan harus menjadi sama. Bubur
persatuan dan persamaan.
Sejatinya, persatuan itu pelangi
Bukankah
sebagai mana sisa air hujan yang dijatuhkan ke muka bumi dengan segala sasaran
akan menyisakan bulir-bulir air yang lantas mengalir dan menyisakannya dalam
muara bernama genangan? Dari genangan yang ala kadarnya itu kemudian tetap
teguh dalam muara beraneka ragam bulir air dan ragam zat yang terkandung di
dalamnya sembari menunggu matahari bersinar lagi lantas dipantulkan dan
terciptalah pelangi. Beberapa ragam warna yang berjajar seimbang dan
menyelaraskan. Seperti itu pulalah Indonesia seharusnya, segala ragam latar
belakang menghalau menuju pada satu muara bernama Indonesia dan dari muara yang
ada kemudian menampakkan taring indah keanekaragamannya. Aneka ragam warnanya
dan kemudian menjadi bentangan indah bernama sup buah Indonesia. Bukan jus buah
Indonesia. Membiarkan mereka berada dengan segala potensi dan pola pikirnya
tanpa ada pemaksaan. Tetap berjalan dengan ritme pemikirannya, tidak pernah
menuntut menjadi serupa cukuplah bersatu dengan berangkat dari keragaman yang
ada.
Ini namanya konsekuensi
Jika
sebuah kesadaran sudah mulai tercerdaskan, pemahaman sudah mulai tumbuh dalam
pengakuan bahwa kita bersatu hanya dengan kesepakatan tanpa menuntut melebur
maka segeralah buat formasi tindakan yang tangkas. Musuh besar kehidupan, yang
dituduhkan pada pengaruh kejam arus globalisasi, liberalisasi, sekulerisasi,
dan beberapa arah kebaratan yang lain sudah lantang membentang dan menampakkan
taringnya; maka menunggu apalagi? Buat konsep gerakanmu, tunjukkan ke-Indonesiaanmu.
Bangun dan ajaklah Indonesia bernuansa dengan kecerdasan dan akal gerakmu. Buat
Indonesia lebih Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar