Oleh
: Erna Dwi Susanti
Sebuah
konsekuensi logis menyerta di pundak insan setelah ikrar kesaksian bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan pengakuan agung bahwa Rasulullah Muhammad Saw adalah
utusan Allah, sebuah konsekuensi dengan sebutan insan berislam. Muslim.
“Tentu
saja aku muslim”
Teringat
dalam satuan kisah, diriwayatkan Bukhari, kala itu seorang Badui buang air
kecil di suatu masjid yang biasa digunakan Rasulullah bersama para sahabat
untuk shalat berjamaah. Melihat hal demikian, sigap dan cekatan, para sahabat
hendak menghentikan ulah sang Badui tersebut. Tidak layak, suatu tempat suci
dengan sengaja dinajisi. Helaan rasa para sahabat.
Jauh
lebih sigap, Rasulullah menghentikan i’tikad para sahabat tersebut. Berkata
Rasulullah kepada mereka, “Biarkanlah ia dan siramlah bekas air kecilnya sampai
bersih. Sesungguhnya aku (Rasulullah SAW) diutus untuk mempermudah segala
sesuatu bagi manusia, bukan untuk mempersuit dan menjadikannya berat”.
Satu
sudut pandang, dapat kita saksikan bahwasanya para sahabat sangat berhati-hati
dan teramat mempedulikan kebersihan serta kesucian, tidak ingin ada najis di
masjid suci tersebut. Sudut pandang yang lebih menjadi sorotan adalah langkah
Rasulullah mencegah para sahabat untuk menegur dan menghentikan tindakan Sang
Badui.
Tidak
akan menyandang gelar uswatun hasanah kalau yang dilakukan oleh Rasul berdasar atas
ego semata, tentulah bukan. Rasulullah mempertimbangkan dua sikap dalam suatu
tindakannya, dengan tegas, sigap dan akurat. Jika membiarkan para sahabat
menghentikan Sang Badui, akan memungkinkan hadirnya dampak yang jauh lebih
buruk. Sang Badui akan menahan diri dari buang air kecil yang akan membuat ia
sakit, atau kalau tidak bisa menahan justru najis akan menyebar ke banyak
tempat di dalam masjid disebabkan takut dikejar para sahabat. Atau ia bahkan
akan kencing berpindah karena menghindar kejaran para sahabat. Namun tepat,
Rasulullah memilih untuk membiarkan Sang Badui hingga tuntas hajatnya.
Selanjutnya
singkat langkah yang diambil oleh Rasulullah, menyiram bekas tempat buang hajat
tersebut dengan seember air. Selesai. Lantas dalam suatu riwayat juga
disempurnakan kisahnya, Rasulullah meminta sang Badui tersebut mendekatinya dan
menanyakan apa alasan buang hajat di dalam masjid?
“Apa
kau bukan muslim?”
Sang
Badui menjawab, “Tentu saja aku muslim”.
“Mengapa
kau buang hajat di sini?”
“Demi
zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku pikir masjid seperti tempat lainnya
sehingga aku bisa buang hajat di dalamnya”. Rasulullah kemudian meminta seember
air dan menyiram bekas buang air kecil tersebut. Itu yang diriwayatkan
Thabrani.
Masya
Allah. Matang akan pertimbangan. Itulah yang dilkakukan oleh suri tauladan (uswah hasanah) kita Nabi Muhammad SAW.
Perlakuan
agung serta pertimbangan yang tepat seperti halnya yang dilakukan oleh
Rasulullah menjadikan Sang Badui merasa sadar dengan sendirinya. Ia sadar, tahu
akan salahnya tanpa ada rasa terhakimi, teradili atau sekedar disalahkan.
Semakin bangga dan matang ia merasakan kenikmatan bermuslimnya.
Ibnu
Majah juga meriwayatkan, di mana si Badui menuturkan sendiri apa yang terjadi
padanya kemudian. Setelah ia selesai buang hajat, ia melihat Rasulullah bangkit
dari duduknya. Rasulullah hanya berucap, “Kita tidak boleh buang hajat di dalam
masjid, karena masjid didirikan hanya untuk berdzikir kepada Allah dan shalat”.
Semakin bangga dan takjub Sang Badui dibuatnya.
Realita
kita dengan pengakuan diri sebagai insan berislam sebagaimana yang dituturkan
oleh Sang Badui, dengan jawaban “Tentu Saja Aku Muslim” pasti akan sangat terkuatkan
dengan beragam contoh dan nasehat dalam sunnah yang diberikan. Tindakan yang
santun, perangai yang agung dan lisan yang tertuntun menjadi tongkat kendali
bagi kita untuk membuka mata dan berpolah di dunia.
Dengan
bersikap seperti yang dicontohkan Rasul membuat kita jernih melihat segala
duduk persoalan, tidak menambah masalah baru, dan fokus pada solusi yang
edektif. Tentu saja aku muslim dan tentu saja Nabi Muhammad saw adalah
sebaik-baik contoh keteladanan. Allahumma shallo ‘ala Muhammad.
*Tulisan ini terinspirasi dari
Ustadz ane, Prof. Dr. Ir. KH. Mohammad Nuh, DEA (Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia).
0 komentar:
Posting Komentar