Erna Dwi Susanti Personal Site

Home » » Kita Bicara Gratifikasi

Kita Bicara Gratifikasi


Kalau memang mau kaya, lahan kerjaan yang sekarang sangat menjanjikan untuk bisa kaya. Jutaan rupiah bisa didapat dalam waktu sehari. Bagaimana tidak? Sehari misal survey ke keluarga miskin sejumlah 9 rumah. Setelah survey selesai, pas mau pamit pulang sang kepala keluarga sering dengan diam-diam menyematkan amplop berisi uang, "Untuk makan siang, mbak" atau kalau tidak, redaksi kalimat yang muncul, "Buat ganti uang bensin, de".

Itu baru tugas dari survey, belum lagi kalau bagian pelayanan di kantor. Setelah memberikan pelayanan terpadu penanggulangan kemiskinan, di one stop services, dengan raut muka penuh beban tapi memaksa santun dan malu mereka menanyakan "Biayanya habis berapa, Mbak?".

Tidak bisa memberikan doktrin yang menyimpang, terlebih menjustifikasi bahwa uang itu adalah wujud gratifikasi dari mereka, agar dimudahkan pengajuan bantuan. Diperlancar prosesnya. Ini semacam tradisi yang telah dibangun. Berdasarkan adat istiadat dan sopan santun. Tindakan yang dilakukan dari proses pembelajaran di kesempatan sebelumnya, di tempat lainnya. Sebut saja kantor XYZ, di kantor pelayanan ini terkadang petugas terkait menetapkan tarif tertentu dengan kilah biaya administrasi. Padahal dengan jelas di ruangan depan dituliskan, tidak dikenakan biaya/gratis.

Kembali pada fungsi pelayanan yang seharusnya, melayani adalah pengabdian pada negeri. Dan bukankah kita dalam bertugas hanya sebatas menjadi buruh? Buruh Negara..

Mereka mengenal gratifikasi karena proses belajar. Kalau benar-benar hendak memberantas gratifikasi, mari perlahan kita ajarkan pada dunia bahwa masih ada makan siang yang gratis. Menerima gratifikasi adalah beban moral yang harus dipertimbangkan. Kalau bukan urusan kita dan Tuhan pengendali apalagi yang akan kita gunakan?

Selayang Pandang Gratifikasi

* Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian biaya tambahan (fee), uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Walaupun batas minimum belum ada, namun ada usulan pemerintah melalui Menkominfo pada tahun 2005 bahwa pemberian dibawah Rp. 250.000,- supaya tidak dimasukkan ke dalam kelompok gratifikasi. Namun hal ini belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi. Dilain pihak masyarakat sebagai pelapor dan melaporkan gratifikasi di atas Rp. 250.000,- wajib dilindungi sesuai PP71/2000.

Landasan hukum tindak gratifikasi diatur dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12 dimana ancamannya adalah dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Pada UU 20/2001 setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima

Erna Dwi Susanti
Sragen, 19 Februari 2014

1 komentar:

  1. kalau kata ustadz Agus Setiawan pas ane bintal di kantor kemarin, "seorang pejabat publik harus terlindungi 3 hal: syar'i, hukum, dan publik/opini".
    dab menurut ane pribadi, pemberian apapun, tak terbatas limit nilai terkecil, dpt dikategorikan gratifikasi, soalnya ini sangat rentan ukh...
    syukran ukh buat sharingnya :)
    bagus blognya, mampir jg diblog ane ukh :)
    Achmad Chabib Nursalim

    BalasHapus