sumber gambar catatanmy.wordpress.com
Sakit
hati? Tentulah, kenapa? Ini ceritanya..... Simak ya
Warna
cantik yang masih enggan hilang menerawang sela-sela ventilasi di samping pintu
depan, dan juga tak tertinggal dengan cepat menyergap kamar yang biasanya
menggoda dan mengajak memejamkan mata setelah tilawah dan al ma’tsurat subuh.
Ah, Jakarta memang antara ada dan tiada. Saat tiada sangat enggan aku berhenti
berjalan, namun saat tiada sangat enggan juga aku melangkah. Demikian pula
dalam hari pertama di Muharam 1434 ini, 15 Nopember 2012. Harusnya memang sapaan mentari pagi menggiatkan semangatku
untuk berbenah kuat dalam motivasi hari ini. Tapi entahlah, berangkat dari
niatan yang setengah-setengah mungkin di awalnya.
Ohya
kawan, lupa kukenalkan. Di edisi ini kalian bisa menyapaku dengan nama Lifen.
Lifen Huifang lengkapnya. Tak perlu diperpanjang, itulah satu nama yang lama
kupendam, untuk membenamkan semua darah dari garis keturunan kakek. Panjang
cerita yang harus aku lupa.
Mendapatkan
tugas kerja untuk kunjungan ke rumah klien, dari satu panti tempatku magang.
Sebagaimana tradisi dan karakter yang ada, untuk melengkapi data asesmen
sebagai tindak lanjut dari intake, haruslah diadakan kunjungan rumah istilah
umumnya disebut home visit. Dampinganku
seorang klien rujukan dari Cakung, Jakarta Timur yang sudah berpindah ke
Cikunir-Bekasi Barat. Mengenangnya membuat kepala ini semakin nyeri.
Apatah
kata yang bisa aku ambigukan untuk menepiskan perasaan lelah, jenuh dan pusing
berkepanjangan. Mungkin itu semua berangkat dari satu rasa berat di awal
pemberangkatan. Sehingga benarlah bahwa sebuah kesungguhan jarang dilakukan
seorang sahabat bernama Sofyan, kecuali dalam kesungguhannya untuk menjaga
niat. Dan dalam hadist arba’in sendiri, konsepsi dan jabaran pertama juga
tentang niat. Tentulah ia kredit poin terbesar yang harus dikantongi. Luruskan
dan kuatkan niat, segalanya hanya karena ibadah tentunya. Termasuk pelaksanaan
tugas di tengah tanggal merah sekalipun.
Memang
memaksa otak untuk berpikir keras dan terus menerus tanpa menyeimbangkan dengan
hak yang pantas diterimanya itu bisa di-clusterkan dalam penganiayaan otak. Tapi
kembali di tengah kelabilan yang menghampiri tiba-tiba langsung teringat dengan
seorang tokoh utama bernama Thomas atau Tommy dalam novel fenomenalnya Tere
Liye yang berjudul Negeri Para Bedebah. Dalam waktu yang sangat limit, sekian
jam saja harus memutar otak secara keras untuk menyelamatkan bang Semesta yang
dimiliki keluarga Omnya. Hmm, seorang analis dan konsultan keuangan yang
digambarkan tajam oleh seorang Bang Darwin (Tere Liye) dalam perjuangan nuansa
ketegangan Century. Baca sendiri deh, kisahnya. Ini motivasiku, dan terlebih
satu peristiwa ketika aku harus meniti satu demi satu angkot dan mengeluarkan
lembar demi lembar kartal dari dalam dompet. Hmmm, tak apa, toh juga uangnya
orang tua, hhehhee. Asal segera persiapkan segera proposal pengajuan dana untuk
sisa hari di bulan ini. Ummi, Abi, afwan.
Bersama
Aunty Tya, melepas Jakarta Timur untuk ke Bekasi Barat dengan bekal buta peta,
tapi bukankah salah satu fungsi dikaruniakan mulut adalah untuk bertanya dan
otak untuk berpikir menyusun siasat dan rencana. Mengantongi dua rute dari
wacana tawaran google map, pertama terbang
dari PGC terus langsung ke Bekasi pakai angkot 58 atau ke kampung rambutan dan
naik bus warna hijau. Nekad penuh dengan keberanian. Melangkah.
Dari
angkutan pertama sudah salah arah, karena edisi bertanya sudah dipakai diwal
karena ketidak-PD-an, pak sopir angkot memberikan arah dan petunjuk untuk turun
di jembatan kecil menyebrang dan naik angkot apa tadi ya, lupa nomornya dan
diminta bilang minta tolong diturunkan di daerah penungguan bus yang ke arah
Bekasi. Lancar untuk yang pertama, semoga membawa kebaikan di ritme perjalanan
selanjutnya. Menunggu itu memang membosankan dan semua sepakat tentunya. Termasuk
saya, lebih dari 30 menitan menunggu bus hijau yang dimaksudkan bapak Sopir tak
kunjung datang. Dan syukurlah, ada dari arah depan bertuliskan Bekasi Timur –
Cikunir. Hmm kemungkinan tidak akan salah lagi. Tapi ini pertanyaan yang ketiga
kalau aku tidak salah hitung, kembali bertanya dan memastikan pada pak Sopir “Bapak,
maaf, benar ini turun di Cikunir?”, jawab santai sang bapak “Oh iya-iya, Cikunir
kan?”. Sip, syukurlah. Kursi sudah tak memungkinkan untukku dan Aunty bisa
duduk bersamaan. Kami memilih kursi paling belakang. Tak lama berselang, sang
kondektur datang untuk meminta ongkos perjalanan. Setelah membayar, tak segan
aku untuk kembali memastikan. “Pak, kami mau ke daerah Cikunir dengan alamat
bla bla bla, di jalan bla bla”, runtun aku mengeja ingatan yang baru aku hafal
setelah mengucap kalimat doa keberangkatan tadi. Jawab dengan logat meyakinkan “Oh,
itu ya, iya iya nanti dilewati”. “Ok pak, mohon diberi tahu ya pak kalau sudah
waktunya kami turun”, kembali dengan gerak meyakinkan sang bapak menganggukan
kepala mantap.
Bismillah,
tsiqoh (percaya) kami akhirnya. Dan gak
ada salahnya untuk menikmati dengan mentafakuri pemandangan sekitar. Indah dan
sejuk. Lho, satu kejanggalan muncul, kenapa kami lewatnya di sini, bukannya
kalau mau ke Cikunir di jalan yang ada plang besar bertuliskan Cikunir itu? Atau
mungkin memang muter dulu baru bisa sampai ke Cikunir. Aku teringat betapa
pentingnya husnudzon. Tapi mungkin tidak tepat pada waktunya untuk kali ini. Kenapa?
Ini kelanjutannya....
Penumpang
satu persatu sudah pada turun dari bus, hanya menyisakan satu orang sopir dan
dua kondektur di depan dan aku bersama Aunty di bangku paling belakang. “Aunty,
kita ke depan saja yuk, biar mudah koordinasi dan tanya ke bapaknya”, Aunty
mengangguk dan kami berjalan ke arah sopir dan kondekturnya. “Neng pade mau ke
mane? Kite udeh di terminal akhir”. “Lha pak? Kami mau turun di Cikunir, Bekasi
Barat”, “Wah, salah naik bus kalian. Sudah turun sini, naik angkot saja”
sedikit kasar dan membentak. Dan Inalillahi
wa inna ilaihi rojiun. Kami diturunkan di Terminal Pusat yang terletak di
Bekasi Timur. Sedangkan yang kami tuju adalah Bekasi Barat. Daerah mana lagi
itu? Apakah ini memang Ibukota yang pernah diceritakan mereka? Kejam dan
segalanya bisa dihalalkan. Kami terjebak, dijebak, disengaja, tak sengaja atau
entah apalah namanya. Mau marah, juga percuma, Kamis akankah terbuang sia-sia
hanya karena letupan emosi?
.......to be continue | Ern Hidayatul Ulya
0 komentar:
Posting Komentar