Nehi-nehi-nehi, tidak? Benarkah itu makna dalam penterjemahannya?
Anggap saja iya. Dari bukit kadakajaya, kembali saya ingin bercerita.
Alkisah, kata itu biasa digunakan untuk mengawali cerita. Biar ada nuansa beda, ingin saya mengawalinya dengan bismillah.
Bismillah,
kaki bersama dengan rekan-rekan melangkah, menyusuri RW2 sebagai target
pembelajaran pertama dalam mengasasemen PPKS (Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial), melist beberapa target yang hendak kami kunjungi,
menanyakan alamat pastinya di awal perjalanan pada bapak RW, dan
berlanjut ke rumah warga yang dituju. Salah satu daftar nama yang ada di
sana adalah “Mak Acah” sebut saja itu adalah nama sebenarnya. Hidup
seorang diri, di rumah yang tidak berukuran besar, hidup mau tidak mau
memang harus disyukuri. Itulah guratan wajah yang senantiasa nampak dari
beliau, yang selalu beliau tunjukkan pada kami.
Dipan
tempat tidur, nampak sejajar dengan dipan tempat kami duduk saat itu,
terletak di dalam satu ruangan yang tidak luas. Berjejal dengan rak
piring, lemari pakaian tua. Ada dua ruang kecil di belakang, yang satu
tembus ke dapur dan yangsatunya masih urung untuk kami menanyakan.
Sepertinya terlalu kejauhan kalau kami harus bertanya. Ibu WC nya palih
mana? Dengan logat jawa yang sedikit di sunda-sundakan ku beranikan diri
bertanya. Teu gaduh neng, mung eta we dapur sagolewah. Ya, ibu tidak
punya WC/toilet atau apalah namanya. Kesekian indikator kemiskinan yang
dipenuhi oleh ibu. Masuk dalam KFM (Keluarga Fakir Miskin).
Kecerian
yang penuh terpancar dari wajah beliau, menyambut kedatangan kami
dengan penuh suka cita, teramat sangat dalam memuliakan tamu.
Disuguhkannya ubi cilembu rebus yang meski tinggal tiga biji,
disandingkan dengan kacang bogor yang mungkin tidak lebih dari sepuluh
biji. Untuk melengkapinya, terhidangkan juga oleh tangan cekatan itu air
hangat dari termos besar ke dalam empat gelas, untuk menemani santapan
sederhana suguhan itu. “Ibu, alangkah ramah dan riangnya engkau dalam
menjamu kami”. Desir malu dan bangga mengalir dengan perlahan ke sekujur
badan ini.
Apa gerangan yang membuat beliau riang,
gembira dan bersahaja seperti demikian? Bukankah kalau mau berkeluh
kesah, ini adalah moment yang sangat tepat atas segala keterbatasan yang
dimilikinya. Keterbatasan dalam segi akses pelayanan kesejahteraan,
keterbatasan dalam aspek kekayaan dan material serta bejibun
keterbatasan-keterbatasannya yang lain. “Rabb, masih banyak ketegaran di
tengah bencana keputus asaan ini. Penasaran tentunya senantiasa
membayangi langkah otak dalam berpikir, ya. Bismillah, memberanikan diri
untuk bertanya pada ibu, “Bu, bagaimana ibu menjalani hari-hari
biasanya?”, pertanyaan belepotan yang tidak tahu mana pangkal dan mana
ujung, terlebih jika ditanyakan apa maksudnya. JUJUR, saya juga tak
memahami pertanyaan yang saya ajukan barusan.
“Semua yang ada itu adalah cukup, neng”.
TIDAK mengeluh,
menyerah, putus asa, bersedih-sedih ria, berhenti menjalani hari dan
merenung untuk menyesali keadaan tidak pernah terjumpai pada beliau,
sungguh-sungguh menakjubkan. Sosok yang sangat mengidolakan bapak Jusuf
Kalla ini nampak memiliki ketegaran yang luar biasa. Mengumpulkan kayu
bakar dari sepanjang jalan yang beliau tempuh untuk kemudian menjualnya
menjadi satu pekerjaan sampingan beliau. Luar-luar dan sangat luar
biasa.
Ibu Acah, satu kata yang mengawali keriangan hidupmu, dan satu kata yang menjadi kunci pembelajaranku, TIDAK.
Pantas
dan tak berlebihlah jika kami sematkan kata “Nehi” untuk bu Acah. Dan
menyimpulkannya dalam bait judul dan cerita makna, serta pertanda bahwa
kita pernah berjumpa. “ACAH-ACAH NEHI”.
Kadakajaya-Sumedang, 25 April 2012
17:50
Ern Hidayatul Ulya. (Erna Dwi Susanti)
0 komentar:
Posting Komentar