SIAPA yang belum mengenal sosok fenomenal Stefani Joanne Angelina Germanotta? Segala
lapisan masyarakat yang terstruktur dari beragam usia maupun status
sosial dan agama tampaknya juga tidak asing dan sangat familiar dengan
empat kata nama tersebut. Mulai mendunia sejak 2003 dan kemudian
mendaftar di New York University, Tisch School of the Arts, dia
segera menandatangani kontrak dengan Streamline Records, sebuah anak
perusahaan Interscope Records. Ya, tidak salah lagi, Stefani Joanne
Angelina Germanotta nama asli dari seorang Lady Gaga.
Indonesia,
satu kultur kebudayaan yang ramah kini tengah bersiap menyajikan senyum
penyambutan atas kedatangannya dalam rencana konser GOR Bung Karno, 3
Juni nanti. Sambutan hangat dan penuh antusias bahkan terbukti dengan 52
ribu tiket yang ludes terjual. Memang, keramahan Indonesia mencakup
segala lini kehidupan, termasuk ranah hiburan.
Dahaga cerita hiburan
Kalau
lapar makanlah, kalau dahaga maka minumlah. Itulah kodrat yang secara
wajar kita lakoni. Kini, Indonesia yang terperangkap dalam hiruk pikuk
kesemerawutan dan kegelisahan akibat kian liarnya arus permasalahan dan
konflik di berbagai bidang membutuhkan pengisian kembali (recharge) tenaganya. Hiburan adalah satu tawaran tepat guna untuk menanggapi kondisi yang ada saat ini. Merefresh kepenatan, mengembalikan optimisme hidup di atas sebuah keputusasaan dan kehilangan rasa percaya pada tatanan pemerintahan.
Event Organization
(EO) pun mengambil kesempatan ini dengan memberikan hiburan
internasional, dengan jalan menghadirkan aktris international setiap
bulan ke Indonesia. Biar rasa lapar itu terkenyangkan dan biar
kerongkongan yang dahaga itu bisa terlegakan. Plong! Dan Lady Gaga
adalah bintang edisi bulan ini. Muncul dengan segala kontroversinya,
promotor dan EO sudah menjual 52 tiket yang laris tak tersisa. Tinggal
menunggu hitungan hari ke pelaksanaan, justru masalah dan penentangannya
hadir menyajikan perdebatan. Organisasi masyarakat (ormas) menolak,
kepolisian mendukung untuk melarang, tiket sudah habis terjual, dan MoU
dengan manajer sang bintang sudah sejak lama menciptakan kesepakatan.
Tidak bisa melaju karena ada penghadangan dan Indonesia pun memiliki aturan.
Mata Rantai Abu-abu
Jika
kita hendak menyoroti dilema kelabilan ini, ada tiga tokoh utama,
protagonis, antagonis dan tritagonis. Promotor pelaksanaan konser Lady
Gaga, pihak Kepolisian Daerah Metro Jaya ataupun ormas-ormas penentang
pun tidak akan dengan gampangnya berdiri dengan mengacungkan tangan
serta mengatakan, “Ini salah kami dan kami minta maaf.” Mereka berangkat
pada konsistensi yang dibarengi oleh prinsip berpijak.
Para
promotor bersikukuh untuk melanjutkan penyelenggaraan dengan asumsi
masyarakat Indonesia membutuhkan hiburan, dan itu semua butuh
pemfasilitasan. Diperkuat dengan pemikiran bahwa Indonesia adalah satu
cerminan negara demokrasi yang tidak membelenggu arti “kebebasan”.
Terlebih, masalah Lady Gaga adalah kebebasan dalam berseni dan
berekspresi, demi memunculkan keadilan bagi seluruh tatanan masyarakat
yang ada.
Kalau yang menjadi sorotan adalah kekhawatiran
berbagai ormas tentang dekadensi moral akibat konser Lady Gaga, maka
segaung dengannya, berlakukan saja aturan dan tata tertib pelaksanaan
konser. Misalnya, penonton harus berusia 18 tahun ke atas dan
peraturan-peraturan pendukung lainnya. Ilustrasi ini adalah dari sisi
yang diperjuangkan oleh para promotor pelaksana konser Lady Gaga. Sebut
saja mereka sebagai para tokoh protagonisnya.
Di lain
kursi, ada jajaran ormas yang menghendaki pembatalan konser. Front
Pembela Islam (FPI), dan aliansi-aliansi lainnya yang menggunakan
argumen “khawatir dengan moral generasi muda, dan menjauhi laknat dari
Tuhan.” Prinsip yang terbangun di benak mereka sejatinya berangkat dari
realita, data maupun informasi yang pernah disajikan media massa tentang
track record seorang Lady Gaga. Wanita yang dikenal dengan
pakaian seronok dan minimnya ini jelas akan menjadi racun bagi
masyarakat Indonesia, secara adat dan kebudayaan sangat bertentangan,
terlebih dalam koridor dan tatanan agama. Tidak bisa kita pungkiri,
optimisme dan perjuangan keras ormas dalam menentang konser Lady Gaga
ini sangat kuat. Mandat untuk menjadi kontrol sosial juga masih mereka
miliki dalam adab kehidupan bermasyarakat. Mereka akan dipandang oleh
massa sebagai tokoh dan aktor yang antagonis.
![]() |
Sumber gambar : indonesian.laser-stagelight.com |
Beranjak
menuju kursi kepolisian ataupun aparat pemerintahan yang mungkin
menempati predikat aktor tritagonis (penengah) dalam konteks dilema
pertentangan ini. Mereka bertugas memberikan wahana bagi masyarakat
untuk hidup layak dan berjaya dengan kebebasannya, termasuk bebas dalam
mencari hiburan dan menghibur diri sehingga merasa nyaman dalam
melaksanakan kehidupannya. Namun di lain sisi, mereka harus menjalankan
amanah menjaga ketertiban dan menerima aspirasi masyarakat lainnya. Jika
masyarakat sebagian menghendaki konser Lady Gaga tetap dilaksanakan dan
yang sebagian menentangnya, maka jalan tengah apalagi yang bisa
dilakukan oleh aparat pemerintah selain menganalisis dan memilih jalan
terbaiknya. Segala konsekuensi harus ada dan dipertanggungjawabkan,
serta unsur ketegasan tidak boleh luput. Tegas memberikan kepastian
dengan mengembalikan pada prinsip negara yang tidak sampai menghakimi
dan menzalimi.
Dan sejauh ini, mana batasan kebebasan,
mana panduan untuk kritis dan mana gerak yang tidak memihak masih
dirasakan abu-abu. Sebuah intimidasi masih sering menjadi warna dengan
dalih kebebasan. Dan doktrin atas sebuah kekritisan juga masih
dibelenggu dengan dalih toleransi. Sudah sewaktunya abu-abu itu
diputihkan atau dihitamkan, agar jelas dalam pandangan dan penilaian.
Kompas arah kebebasan
Dasar
negara Indonesia adalah Pancasila, masih diakui oleh penyangga negara
kita bahwa konsep seperti itulah yang diwariskan oleh founding fathers
negara ini. Di dalamnya terangkum banyak pilar yang saling berhub
ungan
dan erat menjabat dari satu sila ke sila lainnya. Berawal dari
konsekuensi ketuhanan yang menuhankan keesaanNya. Kemanusiaan sampai ada
tuntutan memanusiakan manusia. Persatuan yang tidak ingin dipisahkan
dalam lingkar kesatuannya. Kerakyatan yang dipimpin dengan kehikmatan
dan terberikan kepada seluruh rakyat Indonesia, serta mencapai tataran
keadilan bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia. Setidaknya arahan yang
demikian bisa dipastikan tanpa adanya dalih untuk memudarkan dan
memultitafsirkan arti dan penghayatan terlebih di konteks pengamalan
kita. Tentu saja dengan tetap melandaskan kinerja pada pelaksanaan
kewajiban untuk menuntut hak dan tanpa menindas hak orang lain.
Timbangan konstitusi
Ukuran
barang belanjaan yang memiliki berat pasti sudah selayaknya untuk
ditimbang dan ditakar, demikian pula dalam belanja kebudayaan, hiburan
atau aksesoris globalisasi yang akan dilakukan oleh Indonesia. Jika
beberapa waktu yang lampau Indonesia sudah sering kecolongan mengadakan
konser yang bertajuk tidak sesuai dengan konstitusi maupun dasar negara,
itu merupakan pokok pembelajaran untuk langkah selanjutnya. Indonesia
masih harus berpijak pada kulturnya untuk menyejahterakan masyarakat.
Indonesia masih harus waspada dalam menyapa tamu asing peradaban. Karena
Indonesia mungkin saja masih galau dan masih butuh banyak nasihat dan
pertimbangan dalam pembelajarannya. Dan kita punya konstitusi negara
sebagai pedoman.
Nuwun Sewu, mbak Lady Gaga....
Kalau
sekiranya adat mengajarkan kesantunan, budaya masih kokoh dalam aturan
dan tata kramanya, maka kenapa tidak dengan serentak masyarakat yang
terisi oleh rakyat dan pejabat dengan lantang menyuarakan, “Nuwun sewu mbak Lady Gaga,
kami tidak bisa menerima kedatangan Anda,”? Jawabannya, mental negara
ini masih dalam pembangunan, belum kokoh berkiprah dalam sejarah, belum
menjulang menuntaskan kesejahteraan. Ke depan kami akan mencoba mencari
hiburan yang murah meriah, mencari hiburan yang searah dengan institusi
dan konstitusi. Mengenalkan anak-anak emas kami pada cerita tata krama. (Erna Dwi Susanti)
?*? Nuwun Sewu (bahasa Jawa yang berarti “Maaf”)
Telah dimuat di : http://news.okezone.com/read/2012/05/18/367/631447/nuwun-sewu-lady-gaga
0 komentar:
Posting Komentar