Erna Dwi Susanti Personal Site

Diajak Ust. Fauzil Adhim Menikmati Rasa Sakit


Mengeluh, ah itulah memang sifat dasar manusia. Berkeluh kesah. Saat badan dikenalkan dengan rasa sakit 'sedikit' saja. Berasa seluruh dunia mengecam dan bertindak tidak adil pada kita. Hingga tanpa sadar kadang terucap, "Kenapa harus sakit sih?", atau sedikit penyesalan, "Andaikan saja saya gak sakit, pasti bisa menyelesaikan ini, pasti bisa merampungkan tugas itu", berandai-andai. Padahal, sakit demampun adalah sebuah kenikmatan dari Allah, di mana tubuh kita mampu memberikan reaksi atas penyakit yang mampir ke tubuh kita. Bukankah, Allah juga sudah memberikan kabar indah, di mana tidak akan ada satu duripun yang menancap pada jemari seorang hamba melainkan Dia akan menganggapnya sebagai penggugur dan penebus dosa.

Maha luar biasa bijaksananya Tuhan saya, ohya Tuhan kamu juga kan? Okey, lanjut ya. Di rubrik artikel lepas dan guru kita kali ini ada tulisan inspiratif yang barusan saya temukan. Al ustadz Mohammad Fauzil Adhim. Beliau mengajak kita untuk berefleksi, bagaimana menyikapi sebuah rasa sakit. Hingga pada akhir dalam tulisan beliau menuntun kita untuk berani menikmati rasa sakit itu sendiri.

Sesakit apapun, yang kita rasai sekarang akan ada jedanya, karena sakit yang harus kita jalankan adalah sakit dunia. Belum sakit akibat penyiksaan di alam akhirat nantinya, neraka.

Harapannya masih tetap sama dan terus terjaga, semoga kita senantiasa istiqomah dalam menjalani kehidupan. Mengurangi kadar berkeluh kesah dan menikmati hidup hingga bekal-bekal akhirat kita bisa digunakan untuk membangun jannah. Aamiin yaa mujib.

Kisah lengkap dari Al ustadz Mohammad Fauzil Adhim dapat di simak berikut ini:

"MENIKMATI RASA SAKIT"

oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Tak ada yang meminta musibah bagi dirinya sendiri. Tetapi takdir bukan kita yang menggenggam. Jikalau musibah itu datang menerpa kita, maka sungguh kita harus mengingat bahwa Allah Ta'ala Maha Bijaksana lagi Maha Mulia. Tidaklah Allah 'Azza wa Jalla menzalimi hamba-hamba-Nya dengan segala takdir-Nya.

Seberat-berat sakit kita di dunia, Allah Ta'ala masih berikan waktu untuk istirahat. Nyerinya luka yang kita rasakan, tetap ada saatnya untuk berhenti sejenak, semisal dengan tertidur beberapa saat. Mungkin saja kita gusar karena tidur yang cuma sebentar atau tidak bisa nyenyak, tapi ia tetaplah kesempatan untuk lepas dari rasa sakit yang mendera.

Apakah ada sakit yang tidak pernah berkurang, meskipun hanya sekejap? Ada. Inilah sakit yang mendera penduduk neraka jahannam. Mereka tidak pernah istirahat, tidak ada sedikit pun kesempatan untuk mengurangi beratnya siksa.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي عَذَابِ جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam azab neraka Jahannam." (QS. Az-Zukhruf, 43: 74).

Inilah sakit yang sesakit-sakitnya. Inilah kenyerihan yang tidak obatnya, kecelakaan besar yang tidak ada obat biusnya. Kekal bukan hanya menunjukkan bahwa mereka berada di sana untuk masa yang tidak berujung, lebih dari itu Allah Ta'ala berikan kekhususan bagi penduduk jahannam, yakni siksa yang tanpa jedah sedikit pun. Tak ada kelonggaran, meski hanya sekejap. 

Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُفَتَّرُ عَنْهُمْ وَهُمْ فِيهِ مُبْلِسُونَ
"Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa." (QS. Az-Zukhruf, 43: 75).

Makna لَا يُفَتَّرُ (tidak diringankan [azab]) adalah siksa itu berlangsung terus-menerus, tidak berhenti walaupun hanya untuk beberapa detik saja. Sedemikian pedih dan terus-menerus siksa itu sehingga membuat penduduk neraka jahannam berputus asa dan meminta malaikat Malik agar mematikan mereka. Tetapi ini adalah permintaan yang sia-sia. Tidak pernah dikabulkan.

Senyeri apa pun luka yang kita derita akibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan remuknya tulang, masih ada dokter orthopedi yang dapat membantu mengurangi dan memulihkan. Itu prosesnya tetap memerlukan rasa sakit. Tetapi kecelakaan akhirat yang menghempaskan manusia ke dalam neraka jahannam, tak ada obat bius yang mampu mengurangi rasa sakitnya. Maka, kita amat perlu memohon kepada Allah Ta'ala dengan sepenuh harap semoga Allah Ta'ala selamatkan kita dari kecelakaan akhirat. 

Kalaulah kita mengalami musibah, semoga Allah Ta'ala cukupkan sebagai musibah dunia belaka. Tidak menjadi penyebab datangnya musibah akhirat kelak. Kita berusaha melapangkan hati menerima takdir yang Allah Ta’ala berikan kepada kita dan mengharap ampunan serta ridha-Nya atas setiap musibah yang menimpa. Kita juga memohon kepada Allah 'Azza wa Jalla semoga mengaruniakan kepada kita rasa takut kepada-Nya yang menghalangi kita dari api neraka. 

Kepada Allah 'Azza wa Jalla kita memohon sepenuh kesungguhan:

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

“Ya Allah, anugerahkanlah untuk kami rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi antara kami dan perbuatan maksiat kepada-Mu, dan (anugerahkanlah kepada kami) ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan Kami ke surga-Mu dan (anugerahkanlah pula) keyakinan yang akan menyebabkan ringannya bagi kami segala musibah dunia ini. Ya Allah, anugerahkanlah kenikmatan kepada kami melalui pendengaran kami, penglihatan kami dan dalam kekuatan kami selama kami masih hidup, dan jadikanlah ia warisan dari kami. Jadikanlah balasan kami atas orang-orang yang menganiaya kami, dan tolonglah kami terhadap orang yang memusuhi kami, dan janganlah Engkau jadikan musibah kami dalam urusan agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita terbesar kami dan puncak dari ilmu kami, dan jangan Engkau jadikan orang-orang yang tidak menyayangi kami berkuasa atas kami.” (HR Tirmidzi dan Hakim).

Semoga Allah Ta'ala selamatkan kita dari api neraka.

Suatu siang bakda Dzuhur di RSKU Kartosuro

sumber gambar : androidpk.net

Definisi 'Dihargai'

Es teh

Ah, tetiba teringat mereka, teman berkumpul, teman melepas penatnya masa-masa kuliah dan teman bersendau gurau ketika merasa sedang free time. Anak-anak 2009.

Ini cerita tentang es teh, oh bukan. Ini cerita tentang kepedulian, tentang penghargaan. Tentang konsepsi dan definisi menghargai. 

Sabtu, itu artinya libur, waktunya untuk memanjakan lidah, waktu untuk kuliner. 

Tiba di lokasi,"Ke belakang dulu ya", sengaja gak menitipkan pesan ke mereka mau makan apa mau minum apa, karena pikirku mereka sudah paham  benar apa kesukaan dan kebiasannku. Tsiqoh.

Gak lama bergabunglah ke mereka. Koq yang tersedia di sana bukan es teh seperti biasa? Kalau makanannya, iya itu memang yang saya suka. Mereka benar memesankannya.

Berontaklah dalam batin, tapi tak tepat kalau saya harus menyampaikan pada mereka, mereaksikan kekesalan itu pada sahabat-sahabat yang di sana. Bergumam dongkol dan bilang "Koq mereka gitu sih?", sambil tanya kenapa saya pesan lagi minuman yang saya suka, es teh.

Dengan tangkas mereka segera melarang, "Na, jangan", semakin menjadilah kebingunganku.

"Kalian kenapa sih? Koq main nglarang aja?", masih memaksa bicara denga





sumber gambar : informasitips.com

Titah Ego Kecil


Keegoan kita yang sedang berseteru di sana. 
Saling mengagumi dan yang tak pernah berani diberi arti. 
Merasa lawan kita terlalu tinggi, 
dan hanya mengeja dalam-dalam di benak kita sendiri. 


Kita hanya sama-sama berani mengagumi,


Biarkanlah, 
pun cepat ia lambat,
ego-ego itu akan menunjukkan jalan pada kita berdua,
Ia akan berani memberikan penguatan pada tapak-tapak dan keyakinan kita.
Saat aku dan kamu sama-sama berani mengeja bahasa untuk luluh dan merasa pantas untuk utuh.


_Erna (puan mardhika)_27/04/2015_

sumber gambar : woles-ae.blogspot.com 

Mengapa Harus Kartini?

 Berhubung kalender sudah masuk ke Bulan April, pas ngecek peringatan hari-hari nasional ada satu peringatan yang selalu (keseringan) saya jadikan monumen. Ya, memilihnya sebagai monumental, hari Kartini. Sederhana saja, saya membuat fenomenal hari tersebut dengan tulisan lepas, puisi, prosa dan apalah keusilan tangan lainnya.

Dilatarbelakangi keinginan -tidak menulis tanpa nyawa- zonk dan kosong, ya mau tidak mau saya harus ngepo kanan kiri, baca sana sini untuk mendapatkan literatur yang berkualitas. Hingga nanti, sajian tulisan yang gak mengecewakan perspektif saya atupun pembaca bisa saya hadirkan. 

Dan, satu literatur yang sudah gak tahan ingin saya share adalah tentang "Mengapa Harus Kartini" yang ditulis oleh Ibu Irena Handono. 

Wawasan kita sedikit diajak untuk berani terbuka, dan sambil nunggu tulisan saya selanjutnya. (All about Kartini dan Emansipasi), mari kita simak seksama dan dalam tempo sesuka-sukanya dulu tulisan beliau:

 ***** 

Mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia? Ada dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh. Kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, dua wanita ini tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.

Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Itulah dua wanita hebat yang hidup jauh sebelum Kartini lahir. Maka penggambaran situasi sosial masyarakat di Nusantara yang sangat menindas kaum perempuan dari buku-buku pelajaran sejarah di sekolah yang kita terima, adalah penggambaran yang sama sekali tidak berdasar.

Selanjutnya, Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Pertanyaan yang harus timbul adalah: MENGAPA HARUS KARTINI?

Bangsa Indonesia harus bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu?

Apakah karena Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda?? Ia tidak pernah menyerah ataupun berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini. Rohana Kudus, meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, ia juga memiliki visi keislaman yang tegas.

Modern tidak berarti wanita bisa sama segala-galanya dengan laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Demikian juga laki-laki dengan kemampuan dan kewajibannya.

“Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”, begitu kata Rohana Kudus. Sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

****

Oke guys, nantikan artikel selanjutnya ya. Tentang Kartini dan Emansipasi ;-)
Semoga jariyah dan manfaat
Puan Ern
15042015


Sumber gambar : www.ifhc.org.br