Bukan
Kabinet Malari
Oleh : Mahendra Setya & Erna Dwi Susanti
![]() |
Sumber gambar : nasional.kompas.com |
Kemeriahan sambut tahun baru untuk negara, selamat tahun
baru Indonesia. Masih dalam kemasan dan propaganda, puluhan apresiasi tersaji
untuk negeri. Bahagia, suka, duka ataupun dusta. Menjadi pengingat dan
parameter, bahwa jika ingin maju dan berkembang inilah tahap-tahap ujiannya, ujian
Indonesia. Indonesia yang hampir 70 tahun pasca kemerdekaan, sedang teruji etos perjuangannya, ketahanan
pembangunannya dan etika pengabdian menyejahterakan rakyatnya, rakyat
Indonesia.
Menginagat
kembali ritme sejarah pada awal tahun dengan efek gerakan yang massif di 1974, maka
tidak bisa terelakkan kembali tentang malapetaka lima belas Januari (Malari). Adalah sebuah peristiwa bersejarah pada zaman orde
baru yang memilik efek signifikan terhadap kondisi pemerintahahan kala itu. Duduk bersama, dan kita akan berbincang tentang sejarah
kemarin dan fakta hari ini.
Jika seorang Asvi Warman
Adam masih konsisten menyebutkan dimana interpretasi yang tidak tepat, fakta
yang tidak lengkap dan gabungan antara fakta dan interpretasi yang tidak jelas
menjadi sebab kemuraman sejarah di Indonesia. Maka sebuah kondisi paten juga
sama terjadi atas tragedi fitnah 5 Januari 1973.
Perdana
menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia, yang digaungkan sebagai puncak kemarahan rakyat untuk
Penanaman Modal Asing (PMA). Peristiwa yang salah satunya disebabkan
karena kondisi multidimensi ekomomi dan politik yang tidak stabil. Kasus malari
ini terjadi sekitar 40 tahun silam, tepatnya pada 15 Januari 1974, tercatat sedikitnya 11 orang
meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda
motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sebanyak 160 kg emas
hilang dari sejumlah toko perhiasan. Peristiwa kekerasan ini hanya dapat
dialami dan dirasakan akibatnya.
Kawah Investasi Semu
Sekilas peristiwa ini hanya diberitakan seputar kerusuhan
besar, namun jarang yang paham dan menguak tentang asal penyebab terjadinya
kasus dan siapa yang berperan dalam kasus ini. Bermula dari korupsi yang
merajalela terlebih saat rezim soeharto dengan para kroni – kroninya
melanggengkan kekuasaan dengan menempatkan
anggota keluarga cendana pada pos
– pos strategis kebijakan pemerintah. Kedua kondisi ekonomi liberal
mulai berkembang dengan bebas dan tidak terkontrol, masuknya perusahaan dan
investor yang menggerogoti kekayaan alam dan memberikan upah minimum terhadap
pegawai dari Indonesia. Jalurnya singkat, melalui penanaman modal asing (PMA) yang dilebarkan
jalan masuknya. Ketiga kondisi
jabatan spesial telah dibentuk dibawah presiden
dengan kewenangan amat besar. Asisten pribadi ini seolah menjadi
pengekang kaum intelektual untuk berkembang dalam mememberi usulan dan masukan
terhadap pemerintah.
Peristiwa
ini menjadi sebuah evaluasi besar bagi bangsa indonesia tentang hakikat stabilitas politik dan ekonomi. Pemerintah
saat itu yang mulai menjaga jarak dengan rakyat dan mahasiswa, seolah hanya
ingin dijadikan “kawah investasi semu “.
Rakyat dan kekayaan alam disekitarnya dijadikan barang jualan untuk pintu
masukknya investor dengan iming – iming bantuan dan kompensasi besar saat awal, namun lambat laun akan dijadikan budak untuk
negeri sendiri. Demikianlah ibarat sapi, Indonesia hanya diperah untuk eksploitasi
kemanfaatannya semata.
Tak
hayal kondisi hari ini, estafet kepemimpinan baru ditahun 2014 – 2015 dipimpin
oleh Presiden Jokowi-JK yang
keduanya memiliki latar belakang pengusaha yang mengakar. Pembantu presiden
yang tergabung dalam kabinet kerja seolah menjadikan pemerintahan baru ini bak
perusahaan. Hampir separuh jabatan menteri diisi oleh para pengusaha yang konon
telah membantu memuluskan jalan usaha jokowi menjadi RI 1. Kebijakan pertama
yang menggemparkan rakyat saat itu adalah, tentang kenaikan harga BBM ditengah
situasi politik yang belum stabil ditingkat legislatif dan kondisi ekonomi yang
masih carut marut dengan stok barang yang telat. Kebijaan populis ini semakin
melangggengkan para cukong asing di ranah minyak bumi dalam kontraknya di
indonesia. Padahal seharusnya momentum perubahan pemerintahan bisa dijadikan
saat untuk evaluasi dan renegosisasi kontrak asing. Aduan masyarakat lewat
lembaga swadaya masyarakat seolah tidah pernah digubris. Kasus blok cepu,
mahakam menjadi tragedi kekecewaan yang tak berujung. Padahal dalam UU Migas no
22 tahun 2001 bab 2 sudah dijelaskan bahwa pemanfaatan minyak bumi untuk
meningkatkan daya saing dalam skala nasional maupun internasional. Sampai kapan
kita akan terus mengemis mafia asing untuk terus mengelola kekayaan negeri.
Bukankah layaknya seorang pemimpin harus
sering tampil dengan semangat dalam menjadi perekat komponen semua bangsa.
Kebersamaan yang terus tegang dalam tubuh TNI dan POLRI menjadi sebuah kondisi
ketidah harmonisaan pada elite internal negeri ini. Sungguh kami tank ingin
masa rezim orde kembali dengan bayang – bayang sekalipun.
Gaung
dari keinginan presiden untuk mempromisikan Indonesia dalam setiap event,dan memeberikan
perintah khusus kepada duta besar RI
untuk menjadi leading dalam kegiatan
ini di ranah kantor perwakilan luar negeri, seolah
kondisi ini akan baik namun sangat mengkhawtirkan akan menjadi boomerang bagi
negeri sendiri. Geliat bantuan dan dukungan untuk indonesia memang semakin
berdatangan pasca gebrakan promosi jokowi. Namun disisi lain, kran bercokolnya
perusahaan asing semakin terbuka diindonesia. Bantuan kapal saat tragedi Air
Asia QZ 8501 semakin menambaha daftar
efek politis menguak kembali kekakayaan laut indonesia. Tidak ada syarat dan
seleksi standar khusus saat mereka,para mafia asing saat menjajah negeri ini
dengan semu. Namun saat kehadiran kita dinegeri tentangga sulitnya minta ampun.
Pejabat
Berdasi Abu-abu
Kondisi
ini lantas semakin istimewa saat orang – orang dekat presiden adalah “Pejabat Berdasi Abu-abu”, pemegang kebijakan
dalam mahkamah hukum ternyata adalah politisi senior partai dan baru saja
usulan kapolri, ternyata
juga merupakan “suspect” koruptor
kelas kakap. Lantas bagaimana hari ini kita serius dalam slogan Kerja,Kerja,Kerja?
Tanpa
Paduka atau Hamba
Masih dalam rangkaian tuntutan rakyat sebagaimana yang
digelorakan para mahasiswa dalam Tritura Jilid II, selain untuk menghukumi para
koruptor dan pemberhentian penanaman modal asing, tuntutan untuk penghapusan
asisten pribadi juga disuarakan. Kemudian kita berbicara fakta hari ini, ijinkanlah
negara membahasakan kata ‘pengawalan presiden’ dengan persepsi yang memang
sudah terlegalisasikan. Namun sebuah kasta yang menjadi jarak antara pemerintah
dengan rakyatnya tidak akan pernah ada jika konsep merakyat benar-benar
diimplementasikan dalam sebuah kebijakan dan tata aturan yang terlembagakan.
Sehingga pimpinan akan aman, tanpa asisten dan pengawalan yang terspesialkan.
Tanpa adanya kategorisasi hamba dan paduka.
Slogan pembangunan yang digaungkan dengan kerja adalah
slogan yang diharapkan tindak muncul dari kalangan pejabat selaku birokrat
pelayan rakyat, tapi dimunculkan juga dikalangan bawah dengan sistem perwujudan
pemberdayaan dan pendampingan rakyat. Tidak hanya memberikan ‘kerja’ pada para
petinggi, namun pembangunan berkelanjutan adalah sebuah etika mengajak rakyat
untuk turut bekerja dalam menangani permasalahan mereka sendiri, to help people to help them selves.
Jika pelibatan rakyat sudah dijalankan maka rasa
kepemilikan (sense of belonging) dan
penciptaan kemandirian bukan ketergantungan atas subsidi negara dalam segala
bidang, maka Indonesia akan berani berdiri di depan dengan tatapan kemerdekaan
serta lantang menyuarakan – kami bangsa Indonesia adalah bangsa
berkesejahteraan - tanpa harus ada bahasa otoriter tanpa ada bahasa penindasan
dan tanpa pembodohan tanpa harus ada kebencian dan tanpa terwujud rasa tidak
aman. Pemimpin akan mendapatkan asisten dan penjagaan tinggi dari setiap
rakyatnya.
Ya, Bung Karno dalam pidatonya pernah
menyampaikan, jangan
lupakan sejarah, kita mengenalnya dengan Jasmerah. Namun sejarah menjadi
sebuah catatan agar yang
baik bisa dilanjutkan dan yang buruk untuk dipendam dan ditinggal. Semoga
rakyat dan mahsiswa tidak menghadapi kondisi yang sama saaat peristiwa malari
meletus. Harapan besar kami, tidak
adalagi korupsi yang dipertontonkan presidennya sendiri, tidak adalagi mafia
asing yang bercokol dan merugikan negara dan tentunya tidak adalagi pembantu
presidenyang diistimewakan dalam memegang kebijakan. Dan peristiwa malari akan
berubah makna, dari malapetaka lima belas hari menjadi menuju indonesia yang
makmur dan berdikari. (msh_ern)
Ditulis oleh : Mahendra Setya Hantoro dan Erna Dwi
Susanti
0 komentar:
Posting Komentar