Erna Dwi Susanti Personal Site

Menagih Janji Tuan Pimpinan

Oleh Erna Dwi Susanti


Wahai tuanku,
Perhatikanlah aku selaku rakyatmu,
Seorang hamba yang bergerak di bawah lindung sosok paduka,
Sebatang jasad yang memelas pinta pada penguasanya,
Aku meminta hati dan pikiranmu,
Takzimku untuk berani mengeluh padamu,
Ekonomi masih brutal menjadi musuhku.


Wahai tuan,
Jika miskin bukanlah parang,
Bolehkah aku sebut ia sebagai pedang?
Tidak tajam memang,
Tapi sungguh - sayatannya menyakitkan,
Meminta raga untuk ikhlas melepas nyawa,
Hanya karena tak ada harta sebagai penyambungnya.
Ya, hanya inilah keadilan yang dapat dijawab insan yang papa.


Tuan yang masih duduk manis di meja sana,
Yang gempar digunjing rakyat karna jas dan kemeja,
Aku tunjukkan padamu dengan riang muka,
Bagaimana tata etika,
Menempatkan rakyat pada negaranya.


Aku tidak sedang mengajarimu, tuan.
Aku hanya bermanja mengharap pengakuan,
Diakui sebagai rakyat yang harus disejahterakan,
Berharap tuan juga tersadarkan,
Bahwa kemiskinan yang kami rasakan,
Sudah lebih dari cukup untuk membuat mental ini semakin carut.


Tuan,
Lelah jika kami harus pura-pura pasrah,
Menunggu janjimu merubah bangsaku,
Mental yang digadangkan akan terevolusi,
Tapi lagi-lagi itu hanya ilusi,
Ilusi untuk mengagungkan harga diri.


Jika memberikan nasehat pada penguasa,
Masih menjadi hak wajib seorang rakyat dalam negaranya,
Maka, kuingatkan ikrar yang telah terkumandangkan,
Menempatkan rakyat dalam negara kesejahteraan,
Adalah sebuah hutang kepemimpinan.

Sragen, 11 Februari 2015

Beramal Islami di dalam dan Melalui Jamaah

Sebuah tausiyah dari Ustadz Anis Matta

Sumber gambar : carapedia.com

Walaupun satu keluarga kami tak saling mengenal
Himpunlah daun-daun yang berhamburan ini
Hidupkan lagi ajaran saling mencintai
Ajari lagi kami berkhidmat seperti dulu
-M. Iqbal

Itulah beberapa bait dari sajak doa iqbal. Mungkin batinnya menjerit pada kesaksiannya atas zamannya: umat ini seperti daun daun yang berhamburan. Seperti daun daun yang gugur diterpa angin, tak ada lagi kekuatan yang dapat menghimpunnya kembali, menatanya seperti ketika ia masih menggayut pada pohonnya.

Begitulah kenyataan umat ini: mungkin banyak orang salih diantara mereka, tapi semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah bernama jamaah, mereka hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak potensi yang tersimpan pada individu-individu diantara mereka, tapi semuanya berserakan di sana sini, tak terhimpun.

Maka, jamaah adalah alat yang diberikan islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, supaya padu dengan kekuatan setiap orang shalih, orang hebat atau satu potensi bertemu pada dengan kekuatan saudaranya yang lain, yang sama shalihnya, yang sama hebatnya, yang sama potensialnya.

Jamaah juga merupakan cara yang paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan-perbedaan individu. Di dalam satu jamaah, individu-individu yang mempunyai kemiripan disatukan dalam sebuah simpul. Maka, meskipun ada banya jamaah, itu tetap lebih baik daripada tidak sama sekali. Bagaimanapun, jauh lebih mudah memetakan orang banyak melalui pengelompokan atau simpul simpulnya, ketimbang harus memetakan mereka sebagai individu.

Maka jalan panjang menuju kebangkitan umat ini harus dimulai dari menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut kembali jalinan cinta diantara mereka, menyatukan potensi dan kekuatan mereka, kemudian meledakkannya pada momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh, yang menaungi kemanusiaan.

Tapi, itulah masalahnya. Ternyata, itu bukan pekerjaan yang mudah; ternyata, cinta tidak mudah ditumbuhkan diantara mereka; ternyata, orang shalih tidak mudah disatukan; ternyata, orang hebat tidak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat yang lain. Mungkin itu sebabnya, ada ungkapan di kalangan gangster mafia: seorang prajurit yang bodoh, kadang-kadang lebih berguna daripada dua orang jenderal yang hebat. Namun, tidak ada jalan lain. Nabi umat ini tidak akan pernah memaafkan setiap orang diantara kita yang meninggalkan jama'ah, semata-mata karena ia tidak menemukan kecocokan bersama orang lain dalam jama'ahnya. Bagaimanapun, kekeruhan jama'ah, kata imam Ali bin Abi thalib r.a jauh lebih baik daripada kejernihan individu.

DARI INDIVIDU KE JAMA'AH

Orang-orang shalih diantara kita harus menyadari bahwa tidak banyak yang ia berikan atau sumbangkan untuk islam kecuali kalau ia bekerja di dalam dan melalui jama'ah. Mereka tidak dapat menolak fakta bahwa tidak ada orang yang dapat mempertahankan hidupnya tanpa bantuan orang lain; bahwa tidak pernah ada orang yang dapat melakukan segalanya atau menjadi segalanya; bahwa kecerdasan individual tidak pernah dapat mengalahkan kecerdasan kolektif. Bekerja di dalam dan melalui jamaah tidak hanya terkait dengan fitrah sosial kita, tapi terutama terkait dengan kebutuhan kita untuk menjadi lebih efisien, efektif, dan produktif.

Ada juga alasan lain. Kita hidup dalam sebuah zaman yang oleh ahli-ahlinya dicirikan sebagai masyarakat jaringan, masyarakat organisasi. Semua aktivitas manusia dilakukan didalam dan melalui organisasi; pemerintahan, politik, militer, bisnis, kegiatan sosial kemanusiaan, rumah tangga, hiburan, dan lain-lain. Itu merupakan kata kunci yang menjelaskan, mengapa masyarakat modern menjadi sangat efektif, efisien dan produktif.

Masyarakat modern bekerja dengan kesadaran bahwa keterbatasan-keterbatasan yang ada pada setiap individu sesungguhnya dapat dihilangkan dengan mengisi keterbatasan mereka itu dengan kekuatan-kekuatan yang ada pada individu-individu yang lain.

Jadi kebutuhan setiap individu muslim untuk bekerja atau beramal islami di dalam dan melalui jama'ah, bukan saja lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan produktivitasnya, tapi juga lahir dari kebutuhan untuk bekerja dan beramal islami pada level yang setara dengan tantangan zaman kita.

Musuh-musuh kita mengelola dan mengorganisasi pekerjaan-pekerjaan mereka dengan rapi, sementara kita bekerja sendiri-sendiri tanpa organisasi, dan kalau ada biasanya tanpa manajemen.

Pilihan untuk bekerja dan beramal islami di dalam dan melalui jama'ah, hanya lahir dari kesadaran mendalam seperti ini. Namun, kesadaran ini saja tidak cukup. Ada persyaratan psikologis lain yang harus kita miliki untuk dapat bekerja lebih efektif, efisien, dan produktif dalam kehidupan berjama'ah.

  1. Kesadaran bahwa kita hanyalah bagiandari fungsi pencapaian tujuan. Jama'ah didirikan untuk mencapai tujuan-tujuanbesar: jama'ah bekerja dengan sebuah perencanaan dan strategi yang komprehensifdan integral. Di dalam strategi besar itu, individu harus ditempatkan sebagaibagian dari keseluruhan elemen yang diperlukan untuk mencapainya. Jadi,sehebat apapun seorang individu, bahkan sebesar apapun kontribusinya, dia tidak boleh merasa lebih besar daripada strategi dimana ia merupakan salah satu bagiannya. Baegitu ada individu yang merasa lebih besar dari strategi jama'ah,strategi itu akan berantakan. Untuk itu, setiap individu harus memiliki kerendahanhati yang tulus. 
  2. Semangat memberi yang mengalahkan semangat menerima. Dalam kehidupan berjama'ah terjadi proses memberi danmenerima. Namun, jika pada sebagian besar proses kita selalu pada posisimenerima, secara perlahan kita "mengonsumsi" kebaikan-kebaikan oranglain hingga habis. Itu tidak akan pernah mampu melanggengkan hubungan individudalam sebuah jama'ah. Betapa bijak nasihat KH. Ahmad Dahlan kepada warga Muhammadiyah, "Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah." 
  3. Kesiapan untuk menjadi tentara yang kreatif. Pusat stabilitas dalam jama'ah adalah kepemimpinan yang kuat. Namun,seorang pemimpin hanya akan menjadi efektif apabila ia mempunyai prajurit-prajurit yang taat dan setia. Ketaatan dan kesetiaan adalah inti keprajuritan. Begitu kita bergabung dalam sebuah jama'ah, kita harus bersiap untuk menjadi taat dan setia. Akan tetapi, ruang lingkup amal islami yang sangat luas membutuhkan manusia-manusia kreatif, dan kreativitas tidakbertentangan dengan ketaatan dan kesetiaan. Jadi, kita harus menggabungkan ketaatan dan kreativitas; ketaatan lahir dari kedisiplinan dan komitmen,sementara kreativitas lahir dari kecerdasan dan kelincahan. Hal itu merupakanperpaduan yang indah. 
  4. Berorientasi pada karya, bukan pada posisi. Jebakan terbesar yang dapat menjerumuskan kita dalam kehidupan berjama'ah adalah posisi struktural. Jama'ah hanyalah wadah bagi kita untuk beramal. Maka kita harus selalu berorientasi pada amal dan karya yang menjadi tujuan utama kita berjama'ah, dan memandang posisi struktural sebagai perkara sampingan saja. Dengan begitu, kita akan selalu bekerja dan berkarya, ada atautanpa posisi struktural. 
  5. Bekerjasama walaupun berbeda. Perbedaan adalah tabiat kehidupan yang tidak dapat dimatikan oleh jama'ah. Maka, menjadi hal yang salaha jika berharap bisa hidupdalam sebuah jama'ah yang bebas dari perbedaan. Yang harus kita tumbuhkan adalah kemampuan jiwa dan kelapangan dada untuk tetap bekerja sama dengan perpecahan dan karena itu kita tetap dapatbersatu walaupun kita berbeda.
JAMAAH YANG EFEKTIF
 
Mungkin jauh lebih realstis untuk mencari jama'ah yang efektif ketimbang mencari jama'ah yang ideal. Kita adalah umat yang sakit. Setiap kita mewarisi kadar tertentu dari penyakit tersebut. Jika orang-orang sakit itu sering bertemu dalam sebuah jama'ah, pada dasarnya jama'ah itu juga merupakan jama'ah yang sakit. Itulah faktanya. Namun, tugas kita adalah menyalakan lilin, bukan mencela kegelapan.

Jama'ah yang efektif adalah jama'ah yang dapat mengeksekusi atau merealisasikan rencana-rencanaya. Kemampuan eksekusi itu lahir dari integrasi antara berbagi elemen: ada sasaran dan target yang jelas, strategi yang tepat, sarana pendukung yang memadai, pelaku yang bekerja dengan penuh semangat, dan lingkungan strategi yang kondusif. Jama'ah yang didirikan untuk kepentingan menegakkan syariat Allah di muka bumi akan menjadi efektif apabila ia memililki syarat-syarat berikut ini:

  1.  Ikatan akidah, bukan kepentingan.Orang-orang yang bergabung dalam jama'ah itu disatukan oleh ikatan akidah,dipersaudarakan oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan Islam. Mereka tidakdisatukan oleh kepentingan duniawi yang biasanya lahir dari syahwat;keserakahan (hubbud dunya) dan ketakutan (karahiatul maut).
  2. Jama'ah itu sarana bukan tujuan.Jama'ah itu tetap diposisikan sebagai sarana, bukan tujuan, sehingga tidak adaalasan untuk memupuk dan memelihara fanatisme sekedar untuk menunjukkankesetiaan pada jama'ah. Hilangnya fanatisme juga memungkinkan jama'ah-jama'ahitu saling bekerja sama diantara mereka, membangun jaringan yang kuat, dantidak terjebak dalam pertarungan yang saling mematikan.
  3. Sistem, bukan tokoh. Jama'ah itu akanmenjadi efektif jika orang-orang yang ada di dalamnya bekerja dengan sebuah sistem yang jelas, bukan bekerja dengan seseorang yang berfungsi sebagai sistem. Pemimpin dan prajurit hanyalah bagian dari strategi, sistem adalah sesuatu yang terpisah. Dengan cara ini, kita mencegah munculnya diktatorisme,dimana selera sang pemimpin menjelma menjadi sistem,
  4. Penumbuhan, bukan pemanfaatan. Sebuah jamaah akan menjadi efektif jika ia memandang dan menempatkan orang -orang yang tergabung ke dalamnya sebagi pelaku-pelaku, yang karenanya perlu ditumbuh-kembangkan secara terus menerus, untuk fungsi pencapaian tujuan jama'ah itu. Jama'ah itu akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi perkembangan kreativitas individunya, dan tidak memandang mereka sebagai pembantu-pembantu yang harus dipaksa bekerja keras, atau sapi-sapi dungu yang harus diperah setiap saat.
  5. Mengelola perbedaan, bukan mematikannya. Jama'ah yang efektif selalu mampu mengubah keragaman menjadi sumber kreativitas kolektifnya, dan itu dilakukan melalui mekanisme syura yang dapat memfasilitasi setiap perbedaan untuk diubah menjadi konsensus.***

Bukan Kabinet Malari



Bukan Kabinet Malari
 Oleh : Mahendra Setya & Erna Dwi Susanti

Sumber gambar : nasional.kompas.com

Kemeriahan sambut tahun baru untuk negara, selamat tahun baru Indonesia. Masih dalam kemasan dan propaganda, puluhan apresiasi tersaji untuk negeri. Bahagia, suka, duka ataupun dusta. Menjadi pengingat dan parameter, bahwa jika ingin maju dan berkembang inilah tahap-tahap ujiannya, ujian Indonesia. Indonesia yang hampir 70 tahun pasca kemerdekaan, sedang teruji etos perjuangannya, ketahanan pembangunannya dan etika pengabdian menyejahterakan rakyatnya, rakyat Indonesia.

Menginagat kembali ritme sejarah pada awal tahun dengan efek gerakan yang massif di 1974, maka tidak bisa terelakkan kembali tentang malapetaka lima belas Januari (Malari). Adalah sebuah peristiwa bersejarah pada zaman orde baru yang memilik efek signifikan terhadap kondisi pemerintahahan kala itu. Duduk bersama, dan kita akan berbincang tentang sejarah kemarin dan fakta hari ini. 

Jika seorang Asvi Warman Adam masih konsisten menyebutkan dimana interpretasi yang tidak tepat, fakta yang tidak lengkap dan gabungan antara fakta dan interpretasi yang tidak jelas menjadi sebab kemuraman sejarah di Indonesia. Maka sebuah kondisi paten juga sama terjadi atas tragedi fitnah 5 Januari 1973.

Perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia, yang digaungkan sebagai puncak kemarahan rakyat untuk Penanaman Modal Asing (PMA). Peristiwa yang salah satunya disebabkan karena kondisi multidimensi ekomomi dan politik yang tidak stabil.  Kasus malari ini terjadi sekitar 40 tahun silam, tepatnya pada  15 Januari 1974, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Peristiwa kekerasan ini hanya dapat dialami dan dirasakan akibatnya.

Kawah Investasi Semu

Sekilas peristiwa ini hanya diberitakan seputar kerusuhan besar, namun jarang yang paham dan menguak tentang asal penyebab terjadinya kasus dan siapa yang berperan dalam kasus ini. Bermula dari korupsi yang merajalela terlebih saat rezim soeharto dengan para kroni – kroninya melanggengkan kekuasaan dengan menempatkan  anggota  keluarga cendana pada pos – pos strategis kebijakan pemerintah. Kedua kondisi ekonomi liberal mulai berkembang dengan bebas dan tidak terkontrol, masuknya perusahaan dan investor yang menggerogoti kekayaan alam dan memberikan upah minimum terhadap pegawai dari Indonesia. Jalurnya singkat, melalui penanaman modal asing (PMA) yang dilebarkan jalan masuknya. Ketiga kondisi jabatan spesial telah dibentuk dibawah presiden  dengan kewenangan amat besar. Asisten pribadi ini seolah menjadi pengekang kaum intelektual untuk berkembang dalam mememberi usulan dan masukan terhadap pemerintah.

Peristiwa ini menjadi sebuah evaluasi besar bagi bangsa indonesia tentang hakikat stabilitas politik dan ekonomi. Pemerintah saat itu yang mulai menjaga jarak dengan rakyat dan mahasiswa, seolah hanya ingin dijadikan “kawah investasi semu “. Rakyat dan kekayaan alam disekitarnya dijadikan barang jualan untuk pintu masukknya investor dengan iming – iming bantuan dan kompensasi besar saat awal, namun lambat laun akan dijadikan budak untuk negeri sendiri. Demikianlah ibarat sapi, Indonesia hanya diperah untuk eksploitasi kemanfaatannya semata.

Tak hayal kondisi hari ini, estafet kepemimpinan baru ditahun 2014 – 2015 dipimpin oleh Presiden Jokowi-JK yang keduanya memiliki latar belakang pengusaha yang mengakar. Pembantu presiden yang tergabung dalam kabinet kerja seolah menjadikan pemerintahan baru ini bak perusahaan. Hampir separuh jabatan menteri diisi oleh para pengusaha yang konon telah membantu memuluskan jalan usaha jokowi menjadi RI 1. Kebijakan pertama yang menggemparkan rakyat saat itu adalah, tentang kenaikan harga BBM ditengah situasi politik yang belum stabil ditingkat legislatif dan kondisi ekonomi yang masih carut marut dengan stok barang yang telat. Kebijaan populis ini semakin melangggengkan para cukong asing di ranah minyak bumi dalam kontraknya di indonesia. Padahal seharusnya momentum perubahan pemerintahan bisa dijadikan saat untuk evaluasi dan renegosisasi kontrak asing. Aduan masyarakat lewat lembaga swadaya masyarakat seolah tidah pernah digubris. Kasus blok cepu, mahakam menjadi tragedi kekecewaan yang tak berujung. Padahal dalam UU Migas no 22 tahun 2001 bab 2 sudah dijelaskan bahwa pemanfaatan minyak bumi untuk meningkatkan daya saing dalam skala nasional maupun internasional. Sampai kapan kita akan terus mengemis mafia asing untuk terus mengelola kekayaan negeri.

Bukankah layaknya seorang pemimpin harus sering tampil dengan semangat dalam menjadi perekat komponen semua bangsa. Kebersamaan yang terus tegang dalam tubuh TNI dan POLRI menjadi sebuah kondisi ketidah harmonisaan pada elite internal negeri ini. Sungguh kami tank ingin masa rezim orde kembali dengan bayang – bayang sekalipun. 

Gaung dari keinginan presiden untuk mempromisikan Indonesia dalam setiap event,dan memeberikan perintah khusus kepada duta besar RI untuk menjadi leading dalam kegiatan ini di ranah kantor perwakilan luar negeri, seolah kondisi ini akan baik namun sangat mengkhawtirkan akan menjadi boomerang bagi negeri sendiri. Geliat bantuan dan dukungan untuk indonesia memang semakin berdatangan pasca gebrakan promosi jokowi. Namun disisi lain, kran bercokolnya perusahaan asing semakin terbuka diindonesia. Bantuan kapal saat tragedi Air Asia  QZ 8501 semakin menambaha daftar efek politis menguak kembali kekakayaan laut indonesia. Tidak ada syarat dan seleksi standar khusus saat mereka,para mafia asing saat menjajah negeri ini dengan semu. Namun saat kehadiran kita dinegeri tentangga sulitnya minta ampun. 

Pejabat Berdasi Abu-abu

Kondisi ini lantas semakin istimewa saat orang – orang dekat presiden adalah “Pejabat Berdasi Abu-abu”, pemegang kebijakan dalam mahkamah hukum ternyata adalah politisi senior partai dan baru saja usulan kapolri, ternyata juga merupakan “suspect” koruptor kelas kakap. Lantas bagaimana hari ini kita serius dalam slogan Kerja,Kerja,Kerja?

Tanpa Paduka atau Hamba

Masih dalam rangkaian tuntutan rakyat sebagaimana yang digelorakan para mahasiswa dalam Tritura Jilid II, selain untuk menghukumi para koruptor dan pemberhentian penanaman modal asing, tuntutan untuk penghapusan asisten pribadi juga disuarakan. Kemudian kita berbicara fakta hari ini, ijinkanlah negara membahasakan kata ‘pengawalan presiden’ dengan persepsi yang memang sudah terlegalisasikan. Namun sebuah kasta yang menjadi jarak antara pemerintah dengan rakyatnya tidak akan pernah ada jika konsep merakyat benar-benar diimplementasikan dalam sebuah kebijakan dan tata aturan yang terlembagakan. Sehingga pimpinan akan aman, tanpa asisten dan pengawalan yang terspesialkan. Tanpa adanya kategorisasi hamba dan paduka.

Slogan pembangunan yang digaungkan dengan kerja adalah slogan yang diharapkan tindak muncul dari kalangan pejabat selaku birokrat pelayan rakyat, tapi dimunculkan juga dikalangan bawah dengan sistem perwujudan pemberdayaan dan pendampingan rakyat. Tidak hanya memberikan ‘kerja’ pada para petinggi, namun pembangunan berkelanjutan adalah sebuah etika mengajak rakyat untuk turut bekerja dalam menangani permasalahan mereka sendiri, to help people to help them selves. 

Jika pelibatan rakyat sudah dijalankan maka rasa kepemilikan (sense of belonging) dan penciptaan kemandirian bukan ketergantungan atas subsidi negara dalam segala bidang, maka Indonesia akan berani berdiri di depan dengan tatapan kemerdekaan serta lantang menyuarakan – kami bangsa Indonesia adalah bangsa berkesejahteraan - tanpa harus ada bahasa otoriter tanpa ada bahasa penindasan dan tanpa pembodohan tanpa harus ada kebencian dan tanpa terwujud rasa tidak aman. Pemimpin akan mendapatkan asisten dan penjagaan tinggi dari setiap rakyatnya. 

Ya, Bung Karno dalam pidatonya pernah menyampaikan, jangan lupakan sejarah, kita mengenalnya dengan Jasmerah. Namun sejarah menjadi sebuah catatan agar yang baik bisa dilanjutkan dan yang buruk untuk dipendam dan ditinggal. Semoga rakyat dan mahsiswa tidak menghadapi kondisi yang sama saaat peristiwa malari meletus. Harapan besar kami, tidak adalagi korupsi yang dipertontonkan presidennya sendiri, tidak adalagi mafia asing yang bercokol dan merugikan negara dan tentunya tidak adalagi pembantu presidenyang diistimewakan dalam memegang kebijakan. Dan peristiwa malari akan berubah makna, dari malapetaka lima belas hari menjadi menuju indonesia yang makmur dan berdikari. (msh_ern)

Ditulis oleh : Mahendra Setya Hantoro dan Erna Dwi Susanti