Erna Dwi Susanti Personal Site

Berhenti Menulis

        "Petikan asa dan kerinduan yang mulai menentramkan"


Keyboard terasa jadi benda yang asing sekarang. Ringkas sejarah dan sebab musababnya, kemarin sempat bertekad untuk meliburkan diri sejenak dari dunia tulis menulis. Penulis amatiran yang sok 'kewalahan'. Gak berlebih kalau menyebutnya sok kewalahan, toh ya memang lah benar, belum ada nama, tulisan belum banyak yang terpublish dan terlebih berguna buat orang lain, sudah dengan mudah dan santainya bilang 'capek' dan 'lelah'. Menyesal..

Itulah inti yang didapat dari keputusan ringkas kemarin, memilih berhenti menulis, meskipun itu hanya sekedar artikel. Keseharian berjalan seperti biasa, mondar-mandir dari Dago atas ke daerah ujung Juanda, Setia Budi dan beberapa jalan di cabang kota Bandung dan sekitarnya, toh ujian sidangpun juga berakhir, tidak begitu banyak yang membebani. Saatnya menikmati kehidupan tanpa ada tekanan 'dari siapapun', penerbit, editor, juri lomba, redaktur dan lainnya. Benar-benar ingin 'LEPAS'.

Hawa ringan dan kecil itu kembali menyambangiku, mengenalkan akan arti kerinduan, kerinduan yang entah seberapa derajat konsentrasinya kini, yang mengantarkan aku pada ketidak stabilan. Kalau orang muda jaman sekarang menyebutnya sebagai 'kegalauan', ya mungkin saja aku juga bagian dari itu. Mencicipi Galau,...

Hari-hari tak sebinar biasanya, muram, kacau dan penuh dengan kegelisahan. Emosi sudah naik turun tak beraturan, mencoba menjerit untuk menjadi kekasihNya, justru di saat seperti inilah aku semakin merasa tidak nyaman. Merasa terkejar-kejar, dikurung dan terbelenggu. Coretan inspirasi tidak pernah aku tinggalkan dalam note kecil yang selalu menyertai kepergianku. wherever. Tapi apalah daya, coretan itu hanya tinggal coretan. Sesampai di villa Jati 1 tak pernah aku lirik bahkan aku niatkan untuk mengolah. Segalanya terlampau menjenuhkan."Kembali, menulis itu menjenuhkan".


Hantuan kalimat seperti itulah yang mengiming-imingiku untuk terhenti. Bagaimana tidak, sehari-hari harus selalu menyiapkan mata silindris dilengkapi minus ini untuk membaca. Memperbanyak referensi dan menggali data dan informasi terus menerus. Belum lagi banyak waktu yang hilang, me-madu jam kuliah. Menyita jam istirahat (karena keseringan inspirasi kecil ku bisa mengalir di atas jam 23.00). Hmmmm, lelah...jenuh dan bosan. Wajar banyak orang yang tidak suka menulis.

Satu keadaan yang terjadi berulang-ulang, tanpa ada variasi di dalamnya hanya akan menyisakan kejenuhan, kemonotonan, sehingga wajar membuat otak ini merasa bosan. Aku butuh evaluasi..

Menjadikannya sebagai beban, itulah frame yang aku temu dan rasakan. Secara langsung orang tua tidak menyuruhku menjadi seorang penulis, tidak pernah memintaku menjadi seorang jurnalis. Tapi entah dari kalimat yang mana aku lupa tepatnya, harapan itu ada dari mereka dan tertuju untukku.Menjadi seorang Penulis. Tapi aku tidak merasa dipaksa sebenarnya, tapi sengaja memaksakan diri. Menjadi seorang penulis. Hingga banyak cerita yang kudapat, banyak garis kecil yang telah kutemukan, banyak simponi keindahan yang telah aku dapatkan. Aku merasakan kenyamanan. Tapi aku lupa, rasa pemaksaan itu masih tersimpan di lubuk hati, meskipun tidak di rasa tapi dia tidak lari. Di saat sedikit rasa jenuh menghampiri maka di saat itulah rasa pemaksaan itu perlahan menguasaiku dan menguasai kegemaranku. Aku diberhentikan menulis. Segalanya, dan hari yang sangat tidak produktif telah aku rasakan beberapa pekan kemarin...

25 Juni 2012
Sebagaimana di pagi hari seperti biasa, lepas membaca tajuk satu media cetak, muncul satu diminta redaksi untuk dipublishkan, jadi pendapatku bisa terbaca oleh setidaknya lebih dari 10 orang. Hmmm, dakwah semakin difasilitasi tentunya. Lamunan kecil itu aku hentikan, ku ambil laptop, ku tuliskan pokok paragraf dan pendapat sisipan yang ingin aku sampaikan. Dan "zzzzrttreyrw" tak ada ide untuk mengolah tulisan dan bingung seperti apa format tulisan yang akan aku sajikan.

Ya, baru sadar dari teguran. "Sebulan berhenti menulis, maka selama sebulan itu pula harus mulai belajar dari 'nol' untuk menulis". Dan aku menyadari AKU BUTUH MENULIS.


PS: Menulis bisa mengatur emosi penulisnya lho! Yuk semangat, meskipun harus memulai dari 'nol'

Ern Hidayatul Ulya
Bandung, 26 Juni 2012
14:19

Senyum Gak Ya?

Satu sore, masih bertempat di lokasi yang sama seperti senja-senja biasanya, di koridor timur laut masjid STKS tercinta seorang akhwat dengan penghayatan penuhnya bercerita

“Segalanya akan dipergulirkan, kalimat seperti yang demikian itulah yang sering kugunakan untuk menepis kesangsian dan kegelisahan jiwa. Merasa ada beberapa hal yang salah sampai seorang saudara berlaku beda dan sangat beda. Jangankan untuk menegur, untuk mendapatinya duluan mengucapkan salam saja tidak pernah. Sebenarnya apa yang menjadi salahku dan apa yang harus aku lakukan ya mbak? Kalau mau kembali mengenang beberapa tahun yang lalu di mana saat itu posisiku masih sebagai seorang ketua sebuah divisi semua koordinasi melewati aku, dan setiap ada permasalahan di akhwat semuanya lewat aku. Tapi koq sekarang sudah tidak pernah lagi, jangankan itu sebuah komunikasi saat aku bersama dengan teman saja misalkan berdua yang tanya sebelumnya adalah aku tapi setiap jawaban selalu tertuju dan terarah pada temanku yang tidak ada kaitannya dengan bahasan yang aku tanyakan. BT dan lelah sebenarnya yang aku rasakan, tapi apa pantas aku harus demikian? Tidak kan? Jadi aku harus bagaiman Na’?
Sesak bukan karena bingung apa yang harus aku jawab, tapi karena kepala ini terasa sesak menerima kata demi kata darinya yang tak kunjung berhenti.

“Sist, buktikan kalau kamu memang tidak sepantasnya didiamkan, diacuhkan atau apalah kata sesuai yang bisa menggambarkan apa yang kamu rasakan ini. Caranya dengan apa? Orang lain tidak akan mudah untuk percaya apa yang kamu ucapkan, demikian pula beliau yang tidak akan mudah untuk mempercayai kamu meskipun seisi kampus kamu tempelin selebaran pernyataan sikap (emang kampanye hehehe). Tanyakan ada apa sebenarnya yang terjadi melalui jalur tabayyun, karena tidak akan mungkin seorang saudara mendiamkan saudaranya selama sekian waktu kalau tanpa ada alasan dan sebab yang jelas. Klarifikasikan. Selanjutnya setiap kejadian adalah hikmah dan maka berhikmahlah, karena tampaknya kita memang masih sangat jauh dari kata sempurna, ayo perbaiki hubungan dengan semuanya. Habluminallah dan habluminannas juga. Kalau segala jalur sudah kamu maksimalkan tapi tetap tidak membawa dampak apapun kenali lagi ‘bahwa sejatinya tidak semua orang bisa dan mau menyukai kita, dan gak pantas kita memaksa orang lain agar suka’. Kalaupun satu cinta dari seorang hamba sudah berkurang, lengkapilah dengan pendekatan pada pemiliknya, insya Allah dengan penuh keniscayaan kau akan menemukan sebuah arti saudara dan penjagaannya serta penghormatannya melebihi segalanya.


Untuk sebuah jawaban atas dilema yang engkau rasakan beberapa jam yang lalu ya ukhty.....
Love U coz Allah, jadi jangan pernah ragu untuk tetap tersenyum meskipun bongkahan pahitan yang terlempar padamu. Syurga-syurga-syurga, ada balasan bagi orang yang indah. Jadilah yang terindah ^^

Bandung, 06 Juni 2012
Ern Hidayatul Ulya

Kredit Kebangkitan

Jika Aku Maju, Ikutilah Aku
Jika Aku Berhenti, Doronglah  Aku
Jika Aku Terjatuh, Bangkitkanlah Aku
Dan Aku adalah Indonesia

Sekilas gambaran pesan pembaharuan untuk generasi pembawa panji perjuangan. Jika memang Indonesia sedang maju dalam kebenarannya maka patuh dan ikutilah ia. Jika memang Indonesia sedang terhenti dalam langkah perjalanannya maka doronglah ia untuk segera menancap gas mengusung perombakan. Jika memang Indonesia sedang terjatuh maka segera bangkitkanlah ia agar berkemas menyusul ketertinggalan, serta mampu pulang membawa kemenangan. Inilah tuntutan ideal yang jadi pengharapan atas Indonesia. Semua menjadi sadar dan rela bergerak serta bertindak. Namun realita belum segemilang cita-cita. Semangat kebangkitan masih nyaring tergadaikan.

Rebutan pamor ke-idealan

Sorak sorai suara pentas dan pesta kebangkitan sudah mulai kembali diperdengarkan. Tak terdeteksi dari penjuru mana, kelompok siapa, gerakan apa, partai warna apa atau perseorangan manakah yang terlebih dahulu membuka mata, bersiap sedia dan dengan serempak mengatakan “kami sudah bangkit”. Tak dipungkiri, hanya sebatas hiasan dan teriakan dalam kesamar-samaran sajalah yang selama ini asyik menghiasi negeri dalam rangka menyambut, mengisi derap kemeriahan ‘moment kebangkitan’. Tanpa ada perlombaan dan penjurian yang jelas, mereka yang ada dalam polesan atribut ‘kelompok-kelompok pejuang’ mengatasnamakan sebagai pemenang, juara-juara kebangkitan. Kelompok kami yang menang dan kelompok kalian yang jadi pecundang. Secara terang maupun abstrak, keadaan seperti inilah yang sedang hangat mewarnai kancah kehidupan Indonesia. Dari mana berawal untuk bangkit dan menyajikan kebangkitan?

Kodrat me-manja

Sejenak ingin bermain cerita, seorang anak kecil, pemuda, orang tua, maupun lanjut usia saat terbangun dari tidur tidak pernah langsung dengan sigap melompat dari ranjang dan menyandang perlengkapannya, kemudian lari untuk menjalankan aktivitas rutinnya. Jarang – sedikit atau  mungkin tidak ada yang demikian, mereka akan butuh waktu sesaat untuk bermanja ria dalam pertengahan alam sadar dan tidak sadarnya, antara tidur dan jaganya. Menggeliat ke kanan, ke kiri, mengucek mata dan perlahan lantas berdo’a. Beranjak, bersiap-siap baru kemudian menjalankan aktivitasnya. Ritme simpel yang disetujui oleh semua kalangan.

Implikasi dari itu semua juga berlaku dalam konteks kebangkitan satu negara. Termasuk di dalamnya adalah Indonesia. Meskipun negara bukanlah manusia, tapi tak bisa dilepaskan konteks manusia sebagai subsistem dari negara sehingga penalaran dan analogi ‘bangun tidur’ di atas masih bisa diterapkan. Sehingga muncul kewajaran, butuh tenggang untuk bermanja-manja ria. Benarkah  harus terus dimaklumi atau disiasati?

Pemakluman yang terus menerus pada penggerak sistem (baca: manusia) hanya akan menjadikan mereka semakin merasa aman dan takut menghadapi gejolak perubahan. Bagaimana konsep kebangkitan bisa terbangun, manakala menghadapi gejolak saja enggan. Sebagaimana kata pengukir kata bijak “Tidak akan ada pelaut yang tangguh jika tak ada ombak yang besar” maka dari itu muncul inisiatif baru dalam ranah siasat, kita mengenal istilah kredit atau cicilan. Menyajikannya dari sedikit demi sedikit, dari selangkah demi selangkah. Mengkredit sampai melunasi.

Kredit Kebangkitan

Perlahan bangunkan penggerak-penggerak sistem yang ada, lanjutkan pada pemberian jeda singkat untuk mengembalikan kesadaran mereka, segera instruksikan dengan suara hati agar mereka berkemas, dudukkan mereka dalam majelis santai kemudian paparkan perlahan dan dengan penuh kejelasan akan hakikat pentingnya bangun untuk bergerak, jika mereka sudah menganggukan kepala persetujuan dengan kesadaran tinggi maka gandeng tangan mereka dan bisikan perlahan “mari kita kejar perubahan, sudah saatnya kita bangkit dan lari sekarang”.

Timbangan i’tikad

Manusia terwujud dari keanekaragaman, dari penyusun tubuhnyapun juga beragam sampai akhirnya terwujud keberanekaan hasil atas keadaan yang satu dan yang lainnya. Simple untuk disimpulkan, sama konsepnya dengan pemikiran, persepsi maupun pilihan. Garis lurus yang masih bisa dinampakkan di sini, orang – orang akan memiliki konsepsi yang beda dalam menghadapi kebangkitan. Dengan pola pencicilan akan ada berjuta persepsi yang hadir. Mulai dengan senang hati karena merasa diperingan, ada yang bersuara keberatan karena kalau bisa nanti kenapa harus sekarang? Dan dengan dalih yang lainnya.

Sedikit untuk mengurai definisi kebangkitan, yang secara gamblang diketahui oleh banyak pihak yakni berawal dari kata bangkit dan mendapat awalan ke- dan akhiran –an. Muncul kemudian dengan kata lengkap berwujud kebangkitan, di mana Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikannya sebagai  kebangunan (menjadi sadar) di opsi definisi pertama kemudian perihal bangkit dari mati sebagi opsi definisi keduanya.

Analisis Bisikan Sejarah

Notabene, jika lembaran sejarah perlahan mau mencoba disingkap akan ada penjabaran demi penjabaran kecil yang meluas menuturkan cerita-cerita perjuangan sampai detik ini nuansa kebangkitan-kebangkitan itu tetap diperingatkan. Suatu sejarah bukan untuk dilupa atau hanya sekedar diperingati saja, semacam monumen, misalnya, ia dibangun dengan satu harapan murni untuk mengenang dan sebagai cambuk pergerakan dengan semangat awal yang sudah pernah ada dan mereka patrikan. Dalam bahasan ini tentunya tentang konsep kebangkitan nasional. Di Solo jawa Tengah, dengan ukuran yang masih cukup megah monumen itu tegak menjulang ke atas, dilengkapi dengan cerita sejarah berikhtiarnya seorang Soetomo untuk mendirikan pagar perjuangan yang mengajak kawanan yang kian waktu kian merasa terjajah dan tertindas dengan satu wadah bernama Boedi Oetomo pada tahun 1908, dituruti jejaknya oleh nuansa dan cerita politik yang belum tercover dalam wadah tersebut dengan berdirinya partai politik pertama yang bernama Indische Partij serta berlanjut pada tahun yang sama Haji Samanhudi dengan SDI (Sarekat Dagang Islam), diikuti oleh Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan serta Dwijo Sewoyo bersama rekanannya mendirikan Asuransi Jiwa. Luar biasa, memang tahun yang mengajarkan kata bangkit dan terpuruk. Bangkit dari keterpurukan.

Inti dari bisikan sejarah masih ada pada satu kata ‘mereka tidak betah dengan keadaan yang ada’. Sehingga bisa tersaji satu benang merah di sini, jika masyarakat ingin diajak bangkit maka salah satu jalannya yakni dengan memberikan mereka bisikan-bisikan realita yang disandingkan dengan sejarah masa lampau, agar mereka menganalisa sampai kemudian memiliki satu kepemahaman yang mengantarkan pada taraf kesadaran. Dengan demikian akan hadir sebuah iktikad yang semakin bertambahnya waktu akan semakin bertambah kuat jalaran semangat (ghirahnya) untuk berdiri. Lantas, berbekallah hikmah dari sejarah.

Eskalator Kebangkitan

Sepanjang hayat, cerita hanya akan sekedar menjadi cerita jika tanpa pendistribusian bara-bara perjuangan gagasan pokoknya. Hanya sekedar dongeng jika tidak ada penghayatan di dalamnya dan hanya akan jadi sekedar lelucon dalam banyolannya. Tragis, jika wacana perjuangan sejarah menjadi sebuah cerita – novel – maupun fiksi belaka. Ambil intisari untuk bekal perjalanan.

Kalau teori dalam pelajaran Ilmu Alam di Sekolah Dasar biasanya dipaparkan dengan detail bahwa dengan adanya teknologi memiliki beberapa tujuan di antaranya adalah sebagai alat untuk memudahkan aktivitas, meringankan dan mengurangi pengeluaran waktu, tenaga atau bahkan biaya. Singkatnya dengan teknologi segalanya akan lebih efisien dan tidak dipungkiri akan bisa efektif terjalankan. Demikian dalam ranah kenasionalan ini, nampaknya memang dengan segera kita berdayakan sistem sumber yang ada. Sudah sekian lama kita mengenal adanya tangga berjalan (eskalator), yang mana ia tersusun atas anak tangga-anak tangga yang berderet dan dengan ritme pasti ia terus berputar membawa penumpang yang minta diantar ke lantai atas ataupun lantai bawah. Analogi yang sama dalam kebangkitan, masih terarah pada proses perbaikan di mana kebangkitan dituntut untuk terus bergerak maka dengan menggunakan eskalator kebangkitan akan muncul gerak-gerak masiv pembaharuan. Tidak akan terhenti dalam beroperasi, ia akan tetap sempurna dalam keberfungsiannya. Meskipun ia tergerakkan karena listrik, jika listrik padam masih ada kegunaannya dengan jalan meniti anak tangga demi anak tangga dengan berjalan. Entah dalam kondisi yang seperti apapun kebangkitan akan tetap berjalan.

Semangat menggembara, tuntaskan perjuangan dan kembalikan kemenangan dengan sebuah langkah awal berupa ‘pinangan kebangkitan’. Meng-kredit untuk me-lunaskan.

Erna Dwi Susanti
(Ern Hidayatul Ulya)

Acah-acah Nehi

Nehi-nehi-nehi, tidak? Benarkah itu makna dalam penterjemahannya? Anggap saja iya. Dari bukit kadakajaya, kembali saya ingin bercerita.

Alkisah, kata itu biasa digunakan untuk mengawali cerita. Biar ada nuansa beda, ingin saya mengawalinya dengan bismillah.

Bismillah, kaki bersama dengan rekan-rekan melangkah, menyusuri RW2 sebagai target pembelajaran pertama dalam mengasasemen PPKS (Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial), melist beberapa target yang hendak kami kunjungi, menanyakan alamat pastinya di awal perjalanan pada bapak RW, dan berlanjut ke rumah warga yang dituju. Salah satu daftar nama yang ada di sana adalah “Mak Acah” sebut saja itu adalah nama sebenarnya. Hidup seorang diri, di rumah yang tidak berukuran besar, hidup mau tidak mau memang harus disyukuri. Itulah guratan wajah yang senantiasa nampak dari beliau, yang selalu beliau tunjukkan pada kami.

Dipan tempat tidur, nampak sejajar dengan dipan tempat kami duduk saat itu, terletak di dalam satu ruangan yang tidak luas. Berjejal dengan rak piring, lemari pakaian tua. Ada dua ruang kecil di belakang, yang satu tembus ke dapur dan yangsatunya masih urung untuk kami menanyakan. Sepertinya terlalu kejauhan kalau kami harus bertanya. Ibu WC nya palih mana? Dengan logat jawa yang sedikit di sunda-sundakan ku beranikan diri bertanya. Teu gaduh neng, mung eta we dapur sagolewah. Ya, ibu tidak punya WC/toilet atau apalah namanya. Kesekian indikator kemiskinan yang dipenuhi oleh ibu. Masuk dalam KFM (Keluarga Fakir Miskin).

Kecerian yang penuh terpancar dari wajah beliau, menyambut kedatangan kami dengan penuh suka cita, teramat sangat dalam memuliakan tamu. Disuguhkannya ubi cilembu rebus yang meski tinggal tiga biji, disandingkan dengan kacang bogor yang mungkin tidak lebih dari sepuluh biji. Untuk melengkapinya, terhidangkan juga oleh tangan cekatan itu air hangat dari termos besar ke dalam empat gelas, untuk menemani santapan sederhana suguhan itu. “Ibu, alangkah ramah dan riangnya engkau dalam menjamu kami”. Desir malu dan bangga mengalir dengan perlahan ke sekujur badan ini.

Apa gerangan yang membuat beliau riang, gembira dan bersahaja seperti demikian? Bukankah kalau mau berkeluh kesah, ini adalah moment yang sangat tepat atas segala keterbatasan yang dimilikinya. Keterbatasan dalam segi akses pelayanan kesejahteraan, keterbatasan dalam aspek kekayaan dan material serta bejibun keterbatasan-keterbatasannya yang lain. “Rabb, masih banyak ketegaran di tengah bencana keputus asaan ini. Penasaran tentunya senantiasa membayangi langkah otak dalam berpikir, ya. Bismillah, memberanikan diri untuk bertanya pada ibu, “Bu, bagaimana ibu menjalani hari-hari biasanya?”, pertanyaan belepotan yang tidak tahu mana pangkal dan mana ujung, terlebih jika ditanyakan apa maksudnya. JUJUR, saya juga tak memahami pertanyaan yang saya ajukan barusan.

“Semua yang ada itu adalah cukup, neng”.

TIDAK mengeluh, menyerah, putus asa, bersedih-sedih ria, berhenti menjalani hari dan merenung untuk menyesali keadaan tidak pernah terjumpai pada beliau, sungguh-sungguh menakjubkan. Sosok yang sangat mengidolakan bapak Jusuf Kalla ini nampak memiliki ketegaran yang luar biasa. Mengumpulkan kayu bakar dari sepanjang jalan yang beliau tempuh untuk kemudian menjualnya menjadi satu pekerjaan sampingan beliau. Luar-luar dan sangat luar biasa.

Ibu Acah, satu kata yang mengawali keriangan hidupmu, dan satu kata yang menjadi kunci pembelajaranku, TIDAK.

Pantas dan tak berlebihlah jika kami sematkan kata “Nehi” untuk bu Acah. Dan menyimpulkannya dalam bait judul dan cerita makna, serta pertanda bahwa kita pernah berjumpa. “ACAH-ACAH NEHI”.


Kadakajaya-Sumedang, 25 April 2012
17:50
Ern Hidayatul Ulya. (Erna Dwi Susanti)