Erna Dwi Susanti Personal Site

Melukis Di Atas Kanvas Tuhan

"Saya tahu Mbah, sangat tahu kalau semua itu sudah ada penentu dan pembuatan ketetapannya. Tapi apa iya, sekali saja saya boleh menolak? Boleh meninggikan kedengkian atas kesabaran dan penerimaan saya selama ini?", Musen coba mengutarakan pemberontakannya. Ia sadar betul bahwa langkah dia untuk tidak menerima kenyataan adalah pilihan yang salah.

Teduh memandang, sang kakek mendekap Musen dan berujar dengan parau, "Memang Le, sabar dan kesabaran itu perlu dibangun dari belajar. Dari sedikit demi sedikit kesiapan atas ujian. Mbah mengerti keadaanmu, Mbah bisa merasakan apa yang kamu rasakan".

Bertubi-tubinya batu uji dan cobaan yang dirasa Musen mengantarkannya pada kondisi yang gamang diceritakan. Pada dirinya saja ia malu, bagaimana lagi kalau orang-orang sekitarannya mulai tahu kenyataan? Tapi titik kulminasi sedang berada dalam puncaknya. Ia tak ragu harus bagaimana dan harus berbuat apa.

Melihat teman-temannya yang masih seusia belasan tahun kian menuai pilu hati dan kesabaran. Dengki. Ia ingin sekali saja menapakkan hatinya pada kedengkian, mengiri atas kebahagian yang dicapai orang, meski sekali saja, meski sehari saja. Ia ingin tidak seperti biasanya. Melepas jubah kesantunannya, membiarkan hatinya yang selama ini bungkam untuk berani bersuara, berteriak jika ia merasakan perlu. Tapi hanya pada dia. Hanya pada kakeknya saja pemberontakan itu dapat Musen salurkan.

Sebagai seorang anak yang tak berbapak. Ah bukan, ia berbapak. Sepertihalnya dalam setiap jawaban atas tanya-tanya yang tertuju padanya, Musen selalu menjelaskan, "Ibuku masih kerja di sana dan Bapak masih kembali ke negaranya". Iya, ia selalu menyampaikan kalau Bapaknya masih kembali ke negara asalnya.

Duhai, pasangan mata manakah yang akan menolak untuk mengatakan kalau dia anak blasteran? Kulit bersih, mata sipit, tinggi seperti kebanyakan peranakan pada umumnya. Musen berdarah Cina.

Namun janganlah mendatangkan tanya, ia berasal dari Cina sebelah mana, atau sekedar tanya pernahkah kamu ke Cina? Ia akan membungkam diri dari seribu jawaban, pergi atau dengan sigap mengganti topik pembicaraan lain lagi. Musen tak ingin terusik.

Dia berbapak dan dia beribu. Tapi tak pernah bertemu, hingga ia tak pernah tahu siapakah Bapaknya itu dan dimanakah ia menetap, sungguh Musen tak tahu namun masih ingin mencari tahu.

Perihal ibu ia tahu, seorang wanita yang bekerja dari tenggelamnya matahari sampai dini hari jelang terbit lagi. Berpindah dari satu kota ke kota lain. Dari satu orang ke orang lain. Kadang mengeluhkan keletihannya, kadang menampakkan kebahagiaannya. Tak tertebak. "Ibu bekerja apa?", beberapa kali ia tak dapat urungkan pertanyaannya. "Bekerja untuk mencukupi kebutuhanmu, Sen. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga kita", cukup itu, berulang dan terus diulang. Tak ada jawaban yang beda, tak ada penjelasan yang tak sama. Jawaban Ibu Musen itu-itu saja. Ah entahlah, ia hanya bisa menyimpul dar apa yang didengar dari orang-orang, jika ibunya seorang perempuan malam, seorang wanita panggilan, kupu-kupu malam.

Kedewasaan semakin membuat Musen paham, panggilan itu untuk menyapa mereka yang bekerja sebagai wanita pekerja seks. Ia diam dan belajar menerima kenyataan. Berdamai dengan diri dan sibuk membujuk pada hati. Bagaimanapun dia adalah ibumu. Ia doktrin dirinya. Tapi alangkah kejamnya hardikan dan sindiran perkataan orang-orang. Ia terlabel sebagai seorang anak yang haram, tak suci. Hingga ia tertekan, seperti sore itu dalam dekap teduh sang kakek.

"Sungguh Le, tidak ada istilah untuk anak haram. Perilaku penyebabnya yang salah, yang ngawur dan terlanjur biarkanlah. Kamu terlahir dalam keadaan suci. Masih sama seperti mereka yang di sana, yang dilahirkan dengan identitas nama-nama raja. Berbahagialah Nak, optimislah. Sekolahmu yang bener, ibadahmu yang banter (red: kuat/kencang), minta ke Gusti Allah untuk memberikan jalan kesempatan menebus semuanya. Membersihkan apa yang mampu dibersihkan dengan ketaatan, permohonan ampunan dan doa-doa pengharapan. Mintalah Kanvas ke Tuhan, lukislah harapan-harapanmu di atasnya".

Madiun, 20 Oktober 2016 - Erna Dwi Susanti

Menakar Kompetensi Pemuda dalam Kontribusi Kekinian

Oleh Erna Dwi Susanti

Menjadilah kemufakatan bersama bahwa pemuda adalah pemegang kendali puncak tertinggi aktivitas produktif. Usia dan tenaga yang masih totalitas memberikan kesempatan besar bagi mereka untuk berkarya nyata, turut menyumbang tata laksana kesejahteraan. Dengan tekadnya yang besar, kesempatan yang luas dan tenaga yang total maka ia akan berproduktivitas optimal. Produktif di setiap langkah dan karya, memberikan sumbangsih pada masyarakat (berkontribusi).

Langkah yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah bentuk kontribusi yang harus dijalani. Kontribusi semisal apakah yang menjadi tuntutan masa kini? Hal demikian membutuhkan telaahan khusus agar tekad, kesempatan dan kemampuan berkarya para pemuda tidak menjadi kesia-siaan. Menggebu namun harus diarahkan, menyesuaikan dengan tuntutan kekinian, mengemasnya secara menarik, mewujudkannya secara apik. Kontribusi efektif dan efisien, tepat pada sasaran.

Eksistensi Sebuah Kontribusi

Terlebih pemuda, yang memiliki antusias tinggi untuk menggapai apa yang diingini. Mengejar apa yang ia harapkan, mengikuti apa yang menjadi keumuman. Karena apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang dinilai sebagai kekinian dan menjadi bentuk perwujudan eksistensi yang sesuai. Hakikatnya bukanlah demikian. Penelaahan kritis dan pandangan strategis akan bentuk kontribusilah yang menjadikan pemuda benar-benar menitikan peran kebermanfaatan. Mereka berhasil mewujudkan eksistensi sebuah kontribusi.

Pemuda yang menyandang kodrat dasar untuk senantiasa mengaktualisasikan diri, dengan sentuhan penelaahan dan pemikiran tersebut di atas akan mampu menghantarkan pemuda pada kebermanfaatan. Bukan sekedar mereka (kumpulan ataupun komunitas-komunitas pemuda) yang bergerak nyata untuk dianggap kekinian, atau sekedar mengikuti kebiasaan umum agar nilai konformitas tetap terjaga.

Momentum Menakar Kompetensi

Setelah dipahami harapan ideal kontribusi yang seharusnya diberikan. Maka saat itulah, pemuda lantas menakar kompetensi yang ia miliki. Menakar kompetensi adalah ketika pemuda-pemuda tersebut memiliki keberanian untuk mengerti dan memahami seberapa kapasitas yang mereka miliki. Pemuda berani menakar dan mengejawentahkannya dalam rencana-rencana kerja untuk memberikan kontribusi terbaik di masanya.

Hingga pada akhirnya, pengertian benar-benar dipahami seberapa kapasitas yang mereka punyai dan kontribusi seperti apa yang harusnya mereka jalani. Seiring dengan perjalanan, kapasitas-kapasitas mereka ditingkatkan, dinaikkan. Agar kontribusi semakin meningkat, kebermanfaatan semakin bertambah.

Menyoal Ketetapan Logika Langit

Oleh Erna Dwi Susanti

Mengulas tentang takdir, tentang ketetapan, kehendak dan sebuah kepastian. Ketaatan manusia sebagai hamba yang diciptakan Tuhan untuk senantiasa mematuhi apa yang dikehendaki Tuhan padanya. Semakin taat maka semakin patuh. Demikianlah golden concept yang sering dijunjung tinggi para pemilik hakikat keimanan. Mereka percaya akhirnya mereka menguatkan kepercayaan dengan keimanan, taat dan patuh, di mana ketetapan telah digariskan maka mereka harus menaati dan harus mematuhi.

Jika sebuah nalar diberikan kebebasan untuk kembali menyoal sebuah logika, maka ia akan memiliki keberanian untuk menimbang. Menuai analisa atas setiap keadaan. Premis-premis terkumpulkan dan ia berkeputusan. Dengan sentuhan hakikat keimanan yang ia miliki, di mana ia patuhi tugas kehidupan dengan hati terpadu nalar maka ia akan dapati sebuah perenungan. Logika langit akan berkata menyelaraskan kinerja bumi.

Logika langit adalah ketetapan Tuhan, dan kinerja bumi adalah ikhtiar yang diupayakan oleh hamba untuk menjemput ketetapan dan impian. Ia mengusaha sebuah kerja untuk memperoleh hasil, di sinilah kinerja bumi terjalankan. Selanjutnya ia akan menengadah dalam doa dan kepasrahan untuk menunggu keputusan dan ketetapan Tuhan, inilah yang disebut menanti logika langit.

Tidak ada perubahan nasib suatu golongan manakala tak ada upaya atas mereka untuk mengubah keadaan. Tuhan memberikan ruang-ruang untuk berusaha, untuk menyempurnakan dan menjemput ketetapan yang disebut dengan takdir. Takdir sudah ada yang diputuskan sejak jaman azali, jaman saat ruh ditiupkan pada jasad, jaman saat nyawa berjanji taat pada Tuhannya. Namun juga ada sebuah ketetapan yang belum dibakukan, yang dapat disempurnakan dengan ikhtiar-ikhtiar, doa dan pengharapan.

Berusahalah, karena kita manusia. Punya tugas untuk mengusaha. Kita bukanlah Tuhan, kita masih harus menenguhkan taat dengan ikhtiar dan ketawakalan.

Mengenalkanmu Pada Tuhan

Sayang, adakah tugas lain yang harus bunda kerjakan selain mengenalkanmu pada penciptamu? Tidak Nak, semata-mata tugas bunda hanyalah menyerukan kebaikan, meneruskan risalah-risalah kehambaan, menumbuhkanmu dalam ketaatan, meyakini bahwa adalah Allah, Rabb seruan semesta alam.

Jika ini disebut sepele, tentulah bukan. Perkara kompleks, komprehensif dan berkelanjutan. Sayang, bagaimana kamu nantinya adalah amanah dan tanggungjawab Ayah Bunda. Tabularasa, kalau psikologi menyebut sebuah teori. Di mana anak adalah natural, warnanya tergantung bagaimana orangtua mengajar dan mendidiknya. Percis dengan nash dalam hadist, memilih menjadi Majusi atau Nasrani itu orangtua penentunya.

Duhai sayang, kita akan terus belajar bersama. Sepertihalnya komitmen Ayah dan Bunda yang akan selalu meniti hikmah atas setiap keadaan, dalam semua kejadian. Kelak, tumbuhlah kamu dalam keberanian untuk menjadi pembelajar. Menjadi pembelajar yang tangguh, mengenali ciptaan hingga kuat berkeyakinan. Sampai sedalam-dalamnya, hingga sesempurna kamu mengenal pada penciptamu.

- Salam rindu, dari Ayah dan Bundamu | 5th Month | 19 September 2016 |

Adaptasi

Menyesuaikan diri dengan lingkungan, keadaan, status, serta orang-orang yang bersamanya kita tinggal. Adaptasi mengenalkan kita bagaimana rangkaian proses belajar berkepanjangan itu harus diupayakan, menyampaikan kita pada satu kondisi yang menuntut sebuah sikap dan kedewasaan ekstra. Mengupgrade kapasitas, bahkan memaksa diri untuk berani dewasa lebih dini. Adakah batas akhir untuk proses adaptasi? Tidak. Karena adaptasi adalah proses yang tak pernah mengenal kata akhir, selesai beradaptasi pada satu hal kita harus segera beradaptasi pada lain hal. Tahap demi tahap sudah siap dengan segala pernak-perniknya.

Warna adaptasi,

Penyikapan yang kita berikan atas sebuah adaptasi bukanlah sebuah sistematika yang monoton. Ia variatif, beragam dan unik. Tidak selalu adaptasi berisikan senyum dan langkah ringan, namun adaptasi juga butuh tekad, butuh kekuatan karena terkadang ia cukup berat.

Tapi tenang, proses belajar dalam adaptasi ini tidak seorang diri. Kita punya pendamping, kita punya teman, punya orang yang bisa kita sebut sebagai kawan. Ia lah yang akan menguatkan saat lemah, ia yang akan mengingatkan saat terlupa, yang akan mengajarkan saat tidak bisa, yang akan menuntun saat kita canggung, yang akan mendoakan kita dalam panjatan pinta sepertiga malam.

Semoga kita semua diberikan kekuatan, kesabaran, kelapangan, keikhlasan dan kebersamaan dalam proses ini. Selamat beradaptasi kawan-kawan :-) #AhsanulAmala

=============
Madiun, 2 Juni 2016

Memilih Genap

Jika kau tanya,
Kenapa aku memilihmu
Itu karena Allah memberiku cinta
yang ditujukan kepadamu.

-an-

======

Genap 12 Mei 2016
[ErKa]

Berhenti Menawar Kematian, Mengeja Hikmat Isra' Mi'raj

Andaikan saja takdir kematian itu 'sah' untuk di tawar, tentu akan terang aku menawar pada Tuhan, meminta agar keduanya untuk diundurkan dulu kepulangannya. Barang sebentar saja, barang beberapa hari saja. Menunggu beberapa waktu hingga impian mereka dapat saya antarkan menjadi nyata. Pun jika meningggal, meninggalnya juga paripurna. Ah itu hanya pikiran saya semata. Tapi tidak demikian dengan skala aturan Tuhan. Bukankah seorang hamba tak akan dicabut nyawa, sampai benar-benar habis jatah nikmat untuknya? Allahumaghfirlaha - allahumaghfirlahu.

Bukankah isra' mi'raj juga sebagai bentuk hadiah pelipur lara untuk Rasulullah yang kala itu ditinggal kedua orang tercintanya? Bulan duka cita. Yaa, pemaknaan isra' mi'raj tampaknya tidak hanya  seremonial semata diperingati, tapi haruslah diilmui, diyakini dan diaplikasikan hikmat-hikmatnya. Mendalam sedihnya Rasul kala itu, tapi dalam perjalanan isra' mi'raj bukan hanya kondisi pribadi yang dipikirkan, justru ummat, untuk ummatnya yang sholeh.

Allah sampaikan langsung sebuah salam keselamatan untuk Rasul "Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh" --  Lapang, tegar dan mendalam Rasul membalas"Assalamu’alaina wa’ala ibadillahi sholihin".

Semoga doa terbaik senantiasa membersamai mereka yang lebih dulu meninggalkan kita, karena mungkinlah mereka sudah dirindukan oleh pemilikNya. Semua titipan, hanya titipan. Sedih itu fitrah, seperti halnya Rasulullah Muhammad juga pernah sedih, namun tidak berlarut, tidak berlanjut.

Ern | Ngawi, 07 Mei 2016

Dalam Dhuha-dhuha Kita

Bukankah kemegahan, keindahan, kekuatan, kekuasaan itu milik Ia? Dimiliki olehNya, tempat sandaran terkuat kita, Tuhan. Maka taatlah, maka merunduklah. Agar kemegahan itu teralirkan pada ikhtiarmu, agar keindahan itu terpancar pada bahasa ketundukanmu, agar kekuatan itu membersamai langkah gerakanmu, agar kekuasaan itu tak dzolim mendampingimu.

KAMMI Bergerak

🍃 #KAMMIBergerak 🍃
==================

Dulu, kita pernah duduk semeja - membincang tentang sistematika ketaatan rakyat pada pemimpinnya - menyoal keadilan pemimpin pada rakyat yang dipimpinnya - dulu.

==

Kini, etika-etika berdialog, bernegosiasi dan diskusi itu masih mengatur komunikasi. Saling kuat kita menghargai, saling paham kita menghormati. Jalan kita tak harus selalu bersamaan, tak selalu kudu beriringan. Di sanapun kamu kerja, di sinipun saya juga, jauh di sebrang merekapun juga berkarya. Nyata.

==

Esok, pola tindak tanduk kita tak adalah yang dapat menyangka. Peradaban di ujung mana yang akan lebih dulu menggapai gemilang, kerjaku memotivasimu, kerjamu memotivasiku, kita menyemangati mereka, mereka menyemangati kita. Jiwa. Raga

==

Bisalah adab memberikan kita aturan, menjaga garis potensi untuk tetap berkiprah dalam juang. Adalah sedikit perdaya yang kadang terlupa, merdeka sesungguhnya belum lahir sempurna. Katanya kita harus menjaga, mengisi dan terus memperjuangkan agar merdeka itu benar-benar paripurna merdeka. Merdeka sesungguhnya.

==

Aku akan bergerak, menapak setapak demi setapak. Bergerak. Kamupun tak usah segan mengikutiku. Membersamai, seirama dengan laku jalanku. Kita akan bergerak. Menapak, serempak dan terus menapak. Karena aku, kamu masih KAMMI, yang akan terus menguatkan, menyongsong kejayaan negara kita, Indonesia. Hingga tegap dan lantang kita padu suarakan #KAMMIBergerak.

Erna | Madiun, 19 April 2016

==============================
🌎 www.ernatintapena.blogspot.co.id
==============================

Tunduknya Nyawa-nyawa

Tuan bilang manusia hanya menjalankan?

Ohh bukan,
maaf tuan,
Pendapat saya belum dapat tergadaikan,

Berbekallah manusia dicipta,
kuatlah ia jika terasah potensinya,
melemahlah ia jika sekedar berjalan tanpa paham aras pijakan,
Tak berpendirian.

Berjalanlah ia karana wajib,
Namun ada ketetapan untuk ia mengusaha,
Menentukan benang kemana harus dipintal,

Nyawa-nyawa,
ada ketundukannya,
ada ketetapannya,
ada perjalanannya.

Barakallah -

Madiun, 25 Februari 2016 - Ern


Mie Cup dan Strategi Pendekatan

Pihak terlibat mungkin akan senyam senyum membacanya. Bersetting tempat di gerbong sebuah kereta api, trayek Surabaya - Jember. Pada sebuah perjalanan agenda jaulah daerah dan rapat rutin satu organisasi wilayah di Jawa Timur.

L : "Kayaknya kita pesen mie cup enak deh ukh", ajak seorang ketua Bidang Perempuan.
M : "Iya mba, yuk", seorang staf kaderisasi menimpali dengan kesepakatan.
E : "Okey, saya panggil masnya ya mba",  persetujuan seorang staf humas.

*** mas pramusajinya datang ***

L : "Mas ayam bawangnya 1, bakso 2 ya". Gak lama, yang dipesan di antar.
E : "Makasih. Sudah lama ya mas kerja di sini", (kebiasaan #ngepo mulai dijalankan).
P : "Lumayan mba, hampir 1 tahunan", menjawab dengan ramah.
E: "Ini mas nya lagi sibuk ndak?" (Pertanyaan basa basi lagi)
P : "Sudah waktunya istirahat kok mba", sahutnya

Kursi di gerbang beberapa ada yang kosong,

E : "Kalau masnya luang dan ga keberatan, ngobrol-ngobrol sebentar boleh?",

Terjadilah perbincangan menarik, mulai dari sistem kerja, pembagian tugas, jam kerja, rekruitmen kerja sampai cerita pengalaman mas pramusaji beserta mimpi-mimpi yang pernah ia punya sebelumnya. Menarik. Menginspirasi.

Well, bukan niat pendekatan untuk bagaimana dan dalam rangka apa. Tapi pendekatan yang semata-mata ingin berbagi hikmah dan menggali cerita dari orang lain, dari orang baru di sekitar kita. Karena kita tak pernah tau, bait cerita manakah yang akan memberi inspirasi dan menyumbang kontribusi bagi perbaikan dan upgrading diri. Maka terus dan teruslah membuka pikiran, sikap dan percakapan, banyak orang yang hadir dan punya arti di sekitaran kita.

And, did you know guys? Terkadang atau bahkan keseringan ada banyak orang yang butuh telinga untuk mendengar. Setidaknya, saat kaki melangkah keberkahan akan terus menyerta. Bukankah keberkahan adalah kebaikan yang tersambung dengan kebaikan?

[to be continue .....]

Serial #AngkringanPeksos

____________
Regard :

Erna Dwi Susanti | Madiun, 17 Februari 2016 |


PROFESI DAN AKSELERASI KEDEWASAAN

Saya sampaikan di awal tulisan ini bahwa pekerja sosial bukanlah manusia langitan, bukan juga malaikat yang tanpa celah yang hanya berkapasitas untuk taat. Pekerja sosial profesional hanyalah manusia biasa, sebagaimana standar keumumannya, ia bakal bermasalah juga. Tentulah, setiap jiwa yang berharap akan punya masalah, ketimpangan antara harapan dan kenyataan, bukankah itu masalah.

Double Problem
______________

Selaku individu, ia memiliki masalah. Selaku seorang profesional ia memiliki tanggungjawab profesi, membantu individu/keluarga/masyarakat menyelesaikan masalah dan membantu mengembalikan keberfungsian sosial. Dua kondisi yang memang harus disikapi.

Namun atas keikhlasan ikrar profesi, mereka (para pekerja sosial profesional) ringan untuk memberikan kerja dan bhakti. Helping people to help them selves. Mereka sudah berada dalam kondisi keyakinan bulat, dalam menghadapi kondisi tersebut akan berlaku efek domino. Mereka membantu dan mereka akan dibantu. Mereka membantu menyelesaikan permasalahan sesama, mereka akan dibalas dengan hadirnya bantuan langsung oleh Tuhannya. Mereka percaya, penyelesaian masalah dengan campur tangan dan keajaiban  dari Tuhan sangatlah sempurna. Akan rampung dengan paripurna.

Akselerasi Kedewasaan
____________________

Fokus garapan pekerja sosial yang mencakup 3 (tiga) lini, mikro, mezo dan makro menuntut pendewasaan dini para pelakunya. Semisal dalam pelesaian kasus permasalahan anak berhadapan dengan hukum, yang sebenarnya ia bukan sebuah profesi berlatar hukum (maka kondisi ini membawa ia pada keberanian untuk belajar tentang hukum, pidana, perdata, peradilan, dan sebagainya). Menyelesaikan permasalahan klien korban KDRT, ia harus berjibaku dengan status keluarga, permasalahan yg dihadapi dala, keluarga, memfasilitasi pihak-pihak terkait untuk memutuskan perkara tentang keluarga sedangkan di lain sisi ia belum berkeluarga atau baru berkeluarga. Permasalahan rumit menangani pengemis, gelandangan, anak terlantar, korban penyalahgunaan napza, wanita rawan sosial ekonomi dan lain sejenisnya.

Keseluruhan garapan itu tidaklah serta merta dapat dijalankan pasca ia menamatkan pendidikan profesi selama kurun waktu 4 (empat) tahun. Skill, yang harus menyertai knowledge (pengetahuan) dan value (nilai) akan terupgrade di lapangan praktik nantinya. Di lapangan praktik itulah benturan-benturan kondisi akan menjadikan pekerja sosial dewasa. Ia dituntut keadaan untuk bisa menyelesaikan permasalahan, maka karena ikrar dan rasa tanggungjawab profesi itulah ia mengakselerasikan dirinya agar berkompetensi, berkapasitas militan dalam jenjang karir dan pengabdian.

Madiun, 15 Februari 2016 -
Erna Dwi Susanti, (Pekerja Sosial Rehabilitasi Sosial Napza)
Serial #AngkringanPeksos

Menyambut Gayung Occident


Oleh Erna Dwi Susanti

Goethe (1749-1832) M dalam bukunya West-Oestlicher Divan tampak begitu bijak menyikapi keberadaan Bangsa Timur dan Bangsa Barat. Ia menganggap Timur dan Barat sama-sama milik Tuha Menjawab Penjajahan Occidentn. Di sana ia menulis, "Gottes ist der Orient, Gottes ist der Okzident".

Dan orang-orang mungkin saja terperangah dengan diktum Goethe kala itu. Namun akhirnya seorang A. Dasgupta penulis buku Goethe and Tagore segera mengemukakan pada khalayak bahwa ternyata diam-diam ia memplagiat ayat al Qur'an --wa lillahi al mashriq wa al magrib--, lantas kemudian Goethe menambahkan, "The Northland and the Sotherrn land, Rest in the quite of His hand".

😅 Fakta berulang, inilah yang terjadi. Cerita tentang plagiat Goethe dalam tulisannya tersebut hanya sebagian kecil dari puluhan pengalihan keterpikatan publik. Statement-statement menarik banyak yang terkenal, terpublikasikan dan dibenarkan oleh masyarakat umum sebagai statement yang ditemukan kalangan Barat (Occident). Klaim penemuan, teori-teori keilmuan, dan ribuan pengetahuan yang berasal dari Timur (Orient) menjadi hak milik dan terbrandingkan sebagai hak Barat.

Kenapa itu semua terjadi? Karena kita enggan mengkaji apa yang tengah miliki. Pun jika telah ada beberapa kalangan alim/intelektual muslim dan cendikiawan keagamaan masih minimnya tekad untuk mengabadikan dalam dokumentasi-dokumentasi karya tulis, wasiat mendidik dengan tulisan hingga bermuara pada minimnya penyebaran paham dan pengetahuan.

Kurang yakin apa kita atas kesempurnaan agama ini? Petunjuk yang telah terang menuntun pada kebenaran. Jawablah kondisi tersebut, biarkan laksana gayung yang harus tersambut, menyambut gayung-gayung berulang itu dengan sikap, dengan tekad dan dengan tindakan. Teruslah belajar, mengkaji, memamahami, membuka diri dalam ruang-ruang diskusi, menuliskan apa yang telah benar ter-ilmui. Hingga seruan-seruan (dakwah) kita terus berjalan, terus mengalir, berkembang tidak stagnan dalam kejumudan. Wallahu'alam bish shawab.

[Madiun, 21 Januari  2016]

Sumber gambar : ern.ulya

Menggenaplah Penghambaan dan Peneladanan

Adalah cinta yang mengantarkan pada ketaatan, adalah cinta yang mengenalkan arti keteladanan, adalah cinta yang kadang meminta kesadaran jiwa untuk tunduk patuh, takzim dan hormat pada ketetapan. Karena adalah cinta yang menjadi ruh penghambaan, menghambanya seorang makhluk pada Tuhannya. Karena adalah cinta yang menjadi ghiroh bhakti keteladan, kemauan seorang ummat mengikuti sang utusan dari Tuhan.

Bukti penyempurnaan ibadah pada Rabb, pada Allah pemilik nama dan sifat yang agung, telah dipertemukanlah dalam bahtera keluarga insan-insan pemilik iman dan hati yang sama. Karena telah menjadi janji dariNya, bahwa iman yang sama dan hati yang senada akan dipertemukan, akan dipersatukan.

Kerangka mengikut pada tuntunan sunnah pula, genap dan menggenapi akhirnya terparipurnakan.

Bait sajak apalagi yang pantas mewakili bahagianya rasa kami mendengarkan berita gembira ini? Selain lantunan puji atas do'a semoga sakinah, mawaddah, rahmah dan dakwah senantiasa menyerta biduk keluarga Ka Sahrul dan Teh Anita. Barakallah,

Dari loyalis #romantisgariskeras - #RGK
(Surabaya - Madiun - Bandung - Jakarta - 21 Januari 2016)

Daripada Tanya Mending Doa

Ijin masukkin k kluster news deh ya.. hai hai, news yang menghibur. Selamat menyimak 😅

=========

Part I

Meskipun teman, gak semua hobi dan kebiasaan harus sama. Termasuk selera kuliner. Al hasil, keseringan harus wisata kuliner seorang diri. Ah, sudahlah gak apa2.

Sesampai di tempat makan langganan.

"Mas baksonya seperti biasa ya", ☺

Sigap dilengkapi nada sumringah mas bakso sudah bisa ditebak akan menanyakan pertanyaan apa. Ohhoo, pertanyaannya rerata kreatif, beda-beda di setiap harinya. Tapi tetap saja sama, kontennya itu-itu saja. 😥

"Kapan bawa temen mbak? Kok setiap ke sini sendirian terus ",😅

"Mas, daripada rajin ngulang pertanyaannya mending rajinin deh doanya. Biar mas gak capek dan ada hasilnya. Gak bosan ya dapat jawaban sama tiap waktunya? 😆

"Mbak, mbok iya o idealis dan standarnya diturunkan", 😊

"Mas saya sudah lapar, lagi gak ada mood buat diskusi", 😩

REGARD :
🐦 @ernHU | 💻 IG : ern.ulya | 🌏: ernatintapena.blogspot.com

MISYKAT

Sebuah buku yang dikenai  judul MISYKAT oleh penulisnya, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Direktur Jnstitute for Study of Islamic Thought and Civilizations (INSIST) ini mengharapkan buku tersebut nantinya mampu menjelaskan dan menerangkan apa yang selama ini kabur dan tidak jelas, mengisi apa yang selama ini kosong dan membuka apa yang selama ini ditutup-tutupi. Sebagaimana kata Misykat sendiri yang diadop dari An Nur : 35, Misykat ditafsiri sebagai lobang kecil dalam rumah seperti jendela kecil yang memantulkan cahaya. Dapat diartikan juga tempat lampu. Seperti halnya yang dipilihkan Al Ghazzali untuk menamakan bukunya dengan Misykat al Anwar (tempat atau lampu yang berisi cahaya-cahaya)

Buku dengan gaya tulisan seperti ini mungkin dapat dipertanyakan efektifitasnya dalam menjelajahi problematika yang ditimbulkan oleh arus westernisasi dan liberalisasi dan bahkan ditambah dengan globalisasi. Akan tetapi, tulisan pendek atau panjang itu masih dapat menyampaikan sebuah idea. Bahkan sebuah ideologi atau teori ilmiah dapat diekspresikan dalam satu kata atau satu kalimat. Sebab setiap kata berisi makna dan setiap makna mengandung konsep dan setiap konsep dihasilkan oleh worldview atau ideologi. Maka, kata atau kalimat itu bisa menjadi medium penyampaian ide, pendapat dan paham. Bahkan gagasan besar pun bisa dituangkan dalam bentuk puisi.

selengkapnya - saya merekomendasikan rekan-rekan semua untuk membacanya juga. ^_^ (ern)

Meninggikan Derajat Pengemis

"Memberi uang kepada pengemis itu bukan perilaku yang menolong, tidak mendidik dan bukan sebuah solusi penyelesaian masalah"

Well, so far saya sepakat dengan statement tersebut. Saya setuju dengan pendefinisian pola sikap dalam penyikapan masalah sosial. Di mana memberikan uang pada pengemis bukanlah sebuah langkah tepat untuk membantu mereka bangkit dari keterpurukan, mengentaskan mereka dari belenggu kemiskinan. Sekali lagi adalah benar, bahwa memberi uang pada pengemis bukan jawaban yang tepat. Seperti halnya yang dicontohkan oleh pemimpin ummat Islam, Muhammad SAW. Yang suatu ketika ada orang papa yang menghadap padanya. Berceritalah ia kalau tidak memiliki apa-apa. Ia minta rasa belas kasih dari Muhammad. Namun yang diberikan Rasulullah kala itu bukan sekeping dirham atau dinar, justru sebuah kapak.

"Wahai Rasulullah, apa gerangan yang engkau maksudkan?," tanya bimbang sang papa. "Yang aku butuhkan uang uang untuk membelanjai keluargaku. Membelanjai anak pun istriku. Bukan seonggok kapak yang tak kuketahui apa yang akan kugunakan apa ini nantinya", lanjutnya.

Rasulullah menegaskan padanya, mengisyaratkan sebuah ikhtiar untuk bekerja sampai ia mampu menafkahi keluarganya dengan jerih keringatnya.

Ya, adalah sebuah kapak itu untuknya berusaha, mencari kayu dan menjualnya hingga mendapatlah ia kepingan dirham untuk belanja. Simple point nya adalah kala itu Rasulullah menanamkan etos kerja pada sang papa, tidak memfasilitasinya hingga akhirnya ia terus menerus menjadi peminta. Rasulullah telah mengajarkan teori dan konsep pemberdayaan. (Mungkin ada kisah yang sama dengan beberapa perbedaan alur, silakan menyesuaikan dan menambahkan).

Kisah semacam tersebut kemudian juga diadop dalam konsep pengorganisasian - pengembangan masyarakat (community organization and community development), pemberdayaan masyarakat (empowerment) -- dibuatlah konsepsi perlakuan, berikan ia kail bukan ikan, dan ajarkan ia cara membuat kail agar dapat lebih mandiri untuk mencari ikan, hingga ia produktif.

Bukankah beda dahulu dengan sekarang? Iya tentu beda. Tapi secara garis besar masih sama. Orang peminta-minta (pengemis) masih tetap ada bahkan meningkat jumlahnya. Rerata dijadikanlah mengemis atau meminta menjadi pekerjaan rutin dalam kesehariannya, setiap harinya.

Lantas bagaimana sikap kita seharusnya? Berlatar belakang profesi sebagai seorang pekerja sosial tentulah doktrin larangan memberi pada pengemis itu selalu coba untuk saya terapkan. Teman-teman yang sering bepergian dengan saya tak luput mendengar ceramah singkat dan protes langsung dari saya.

Dan keseringan pula jawaban yang saya dapatkan adalah sama, "Itukan sarana kita untuk ibadah", "Kalau kita tidak memberikan uang pada mereka itu sama saja kita menutup pintu rejeki mereka yang memang dititipkan pada kita", dan beberapa ketidaksepakatan mereka lainnya.

Baiklah gaes, tidak harus dengan berdebat masalah ini kita selesaikan. Kalau kita ingin berbagi, menyedekahkan sebagian rejeki yang kita miliki jaman sekarang sudah ada banyak sarana untuk menyalurkan. Insya Allah jaminan rejeki mereka tidak akan tertutup dengan tidak kita berikan uang pada mereka. Tuhan tidak menyukai dan tidak menghendaki ummatnya merendahkan harga diri yang memang sudah Dia tinggikan.

"Tapi apakah berlebih dan disalahkan kalau pemberian tersebut kita berikan sebagai bagian dari bentuk syukur. Semisal sekedar sebungkus nasi, toh kita sering keluar masuk tempat makan 'mewah', pelatihan-pelatihan di hotel berbintang, dengan fasilitas istimewa dan bahkan itu pakai uang negara. Yang mungkin saja, uang yang kita gunakan kala itu seharusnya diperuntukkan bagi mereka? Bukankah fakir miskin dan anak terlantar dalam amanat undang-undang harus dipelihara oleh negara?".

Tidak, tidak berlebih kalau itu sekedar bentuk syukur atas nikmat yang teranugerahkan. Tapi lagi-lagi lakukan itu dengan cara yang tepat. Bukan sekedar memberi yang kita anggap itu solusi tapi ternyata justru menyalahi.

Mari kita tinggikan derajat pengemis, dengan tidak memberi kemudian merendahkan martabat mereka. Tinggikan derajat mereka sebagaimana Tuhan telah meninggikannya.

..... [to be continue]

Serial : Isu Rumah Bambu - Ern || Madura, 17 Januari 2016

Sumber gambar : rayasorayaa.blogspot.com

Madura