Selamat
pagi, Bapak yang berjas rapi di Istana Negaraku hari ini. Tujuh belas Agustus
kata Almarhum Bapakku dulu, adalah hari kemerdekaan Negeriku. Aku masih ragu
meski hanya sekedar menyebutnya, Indonesia. Khawatir salah sebut dan akhirnya masuk
penjara. Biasanya, anak dungu seperti aku, tak pandai betul mengeja; kalau tak Indonesa
– Endonesa – Indosia, ah apatah sulit melafalkannya. Tapi mohon ya Pak, jangan
siksa aku seperti yang pernah dirasa Bapakku. Aku hanya anak ingusan yang sudah
tidak bertuan.
Bapak,
yang berdasi bersih. Senyum manis tersungging indah di sudut bawah wajah manis.
Ah, tampak gagah sungguh penampilanmu. Kata kakekku, engkau adalah presidenku.
Apalagi maksud presiden itu? Aku hanya sebatang jiwa yang ditemani kakek renta.
Tak pernah dikenalkan baca apalagi definisi kata-kata. Aku anak jelata yang hanya
punya nama.
Presiden
itu pimpinannya para pemimpin, itu tebakanku. Kalau di kampungku ada namanya
kepala Desa, mungkin bapak adalah kepala-kepalanya Kepala Desa. Kepala Desa di
kampungku orangnya sangat sibuk, mungkin bapak punya kesibukan di atas
kesibukannya. Di kampungku, yang jadi Kepala Desa adalah orang soleh, gemar
baca kitab suci di surau, gemar ikut kerja bhakti, giat bersambang ke
rumah-rumah kami meski di seberang lautan. Mungkin engkau jauh lebih sempurna ya pak Presiden?
Ah,
Bapak. Aku lupa belum menyapakan diri dengan nama. Aku adalah Alit. Kakekku
yang memberi nama. Aku masih sepuluh tahun di 68 Tahun Indonesia merdeka ini. Tapi
jangan salah pak Presiden, kecil-kecil gini aku sudah bisa mandiri, bisa
mencari uang sendiri, tidak mengandalkan belas kasihan dari negeri, terlebih
dengan jalan korupsi. Mengemis dan mengamenpun sudah aku syukuri, setidaknya
aku masih punya nurani untuk tidak mendzolimi.
Pak
Presidenku, di seberang jalan itu ada jembatan bukan? Di kolong kecil yang tak
meneduhkan itulah kini aku tinggal. Di pangkalan seberang itu biasa aku
mangkal. Tapi tolong ya pak, jangan usir aku dan kawananku dari jalan
penghidupan ini. Aku tak seberuntung keponakan ataupun cucu bapak. Yang bisa
hidup dengan senyum merekah bungah. Mengais rejeki di jalanan bukanlah
keinginan tapi menjadi kewajiban. Karna negeriku baru mencari jalan menuju
kesejahteraan rakyat katanya.
Jabatan
kecil ini tak sanggup menggapaimu di sana presiden. Bertandang di istana saja
aku tidak pernah bisa. Lagi-lagi seruan sadis dan galak yang aku dengar “Sudah
pergi sana!”. Waktu aku belajar ngaji di gubung ustad Mahmud, khalifah Umar
sangat santun dan dermawan. Ternyata aku salah, presidenku bukanlah Umar.
Pak
presiden, beberapa jam lagi katanya ada upacara penaikan bendera. Memperingati kemerdekaan
Republik Endonesa, Indonesa, eh
Indonesia. Tapi pak Presiden, barusan aku diberi cerita oleh teman. Enam puluh
delapan tahun yang lalu, secara diplomatik pendukung pertama kemerdekaan
Indonesia itu katanya Negara Mesir, tapi sekarang Mesir sedang berkabung. Apakah
benar kita akan merdeka di atas penjajahan?
Temanku
juga bilang, kemarin Gubernurnya di lapangan depan Gedung Sate juga
menyampaikan “Mesir bukan hanya mendukung kemerdekaan, tapi juga turut serta
memperjuangkan kemerdekaan dengan menghadang sekutu penjajahan”. Presidenku,
gelar pendidikan tinggi sudah engkau miliki. Tidaklah mungkin etika balas budi
aku ajarkan pada pimpinan sepertimu.
Meski
sebatang kara, aku tahu etika menjunjung tata krama. Menata rapi budi pekerti
dan membersihkan sungguh arti unggah –
ungguh (pola perilaku). Kalau engkau tak mau bersikap balas budi dalam
dilema dunia kali ini, ke sinilah Presidenku. Temani kami menikmati dunia
jalanan, kenalkan kami pada prosesi upacara
kemerdekaan. Biar tidak menjadi negara yang
lupa etika dan tata krama, ajarkan
padaku bagaimana menaikkan bendera setengah tiang. Karena aku malu pada Tuhan.
Label:
OPINI