Sebuah
senyum memang ampuh dan menentramkan. Siapa yang merasa benci pada senyuman? (Lho.
Sepi dan tidak ada yang angkat tangan), oke semua sepakat kalau kita semua
menyukainya. Siapa yang tidak suka dengan orang yang dengan ramah menyapa kita
di jalanan, saat berjalan dan menyeret langkah dengan berat menuju ke lokasi
kegiatan tiba-tiba di sapa dan disenyumin oleh seorang dengan manis dan
kesahajaannya. Semua suka diperlakukan seperti yang demikian. Hmmm, semacam ada
aura keseimbangan tersendiri, seolah ada gelora kebangkitan motivasi darinya.
Senyum indah yang menentramkan.
Pagi
masih sedikit menyisakan sinar bersihnya mentari, meski tercampur dengan
kebisingan kendaraan di kawasan wisata kuliner, alam dan fashion terkemuka, Dago Bandung.
Masih
di tengah kelancaran lalu lintas yang jarang macet kecuali untuk malam ahad,
jalan Djuanda memberikan kesempatan berhikmah kembali. Samping pusat
perbelanjaan di sekitaran gang menuju rumah kostan berpapasan dengan seorang
senior yang selang satu trap di atas. Tingkat 4 akhir sedang aku masih damai
dengan tingkat 4 awal. Mereka sibuk mengurus KIA (Karya Ilmiah Akhir) atau
sebut saja di ranah ke-sarjanaan dengan istilah skripsi. Tampak kaget jelas,
muka yang disajikan sungguh berbeda dari yang biasa, tampak ceria dan berbinar.
Dengan manis ia tersenyum menyapa, “Assalamu’alaykum”..
“Wa’alaykumsalam...”,
sedikit ragu aku menjawabnya. Kenapa ragu? Karena tak sewajarnya sesosok yang
lebih ambil diam tampak hadir di hadapan dengan segala keramahan dan
keceriaannya. Ikhwan pula. (Ssttt, insya Allah ikhwan dan akhwat di kampus ini
mah bisa dipercaya). Muncullah satu tanda tanya, ada apa ini?
Oh,
aha! Teriakku girang dalam hati karena dengan pasti aku sudah mempunyai tebakan
kuat. Tampaknya seniorku itu sudah mengantongi jadwal sidang KIA nya, dan ia akan lulus dengan segera. Aamiin, semoga
dimudahkan perjalananmu ya, komandan.
Tak
ada pengukur panjang yang bisa aku gunakan untuk mengukur ketinggian semangatku
saat itu. Yang awalnya aku dengan langkah gontai berjalan meninggalkan kostan
untuk menuju kampus besar peradaban. Ternyata senyum mengalirkan motivasi dan
menularkan kebahagiaan tersendiri, terimakasih.
Bukan
itu sebenarnya yang hendak terbagi dari cerita barusan, senyum manis seringlah
kita jumpai. Energi positif dari senyum juga sudah banyak diteliti oleh para
ahli, sekarang saatnya buah keceriaan itu ditarik dalam kubang syukur bernama
hikmah.
Tidak
pernah mencoba menerka apakah seharian kita akan terus bermuka manis di hadapan
saudara kita? Atau terus-terusan kita akan bermuram durja di depan mereka? Atau
seimbang antara manis dan masamnya? Atau justru kita memilih diam, netral dan
tak berekspresi, semuanya sungguh tidak bisa untuk kita terka. Ala kadarnya
semua hanya bisa untuk diniat dan dipaksakan. Diniati untuk bermuka manis dan
meninggalkan jauh muka masam, karena Rasulullah SAW juga telah mewanti-wantikan
dalam nasehatnya “senyummu pada saudaramu adalah sedekah”. Jadi niatkan
bersedekah setiap harinya, niatkan bermuka manis setiap waktunya.
Tapi
segalanya kan juga dipengaruhi oleh keadaan? Segalanya kan dicampuri sama
peristiwa yang menghadang dan menantang? Kalau sedang good feel mah mudah-mudah
saja buat senyum, tapi kalau dalam keadaan bad feel tentu sangat susah, sulit
dan menyengsarakan kalau harus tetap bermuka manis.
Hmm,
inilah hakikat pemaksaan yang perlu kita gunakan, memaksakan setiap keadaan
yang menghadang (baca: tidak menyenangkan) menjadi keadaan yang membahagiakan.
Memoles yang pahit menjadi yang manis. Bagaimana jalannya? Apalagi kalau tidak
mencampur yang pahit tadi dengan gula sebanyak-banyaknya? Tepat! Gula itulah
yang berasal dari dalam hati kita, yang 75% sangat menentukan penyikapan kita
atas keadaan. Seberat apapun ayo mencoba untuk tetap tersenyum tegar dan menguatkan.
Senyumlah,
Bersedekahlah dengan segala kekuatanmu....
Tentramkan
hati saudaramu yang sedang galau.
Bandung, 5 Juli
2012
Ern Hidayatul
Ulya
0 komentar:
Posting Komentar