Erna Dwi Susanti Personal Site

Pelayan Keabadian



PELAYAN KEABADIAN

“Selalu ada yang menunggu untuk menggantikan dan membangun kembali”
_Marie Chauvel_

“Apa jadinya mereka kalau tidak ada aku?”, “Ah, paling nanti juga tidak akan ada banyak yang berubah dan bisa dilakukan!”, “Pasti juga hanya membual dan omong kosong, tak lebih hanya keseringan diam di tempat saja”. Tersadari dalam ucapan secara lisan dan dalam hati, maupun tanpa sadar muncul dalam umpatan kalimat itu muncul ke permukaan. Merasai posisi yang cukup berarti dalam satu keadaan, sehingga wacana dalam jiwa merasa bangga akan dapat dengan mudah dikembangbiakkan. Merasa diri paling berarti. Dengan semena mena dalam berkarya, dengan asal-asalan dalam menjalankan amanah dan banyak penyimpangan tindakan yang lainnya, kembali lagi karena merasa diri paling berarti. Terlebih dalam kebersamaan dengan lingkup jama’ah.

Di aspek yang satunya juga tidak jarang untuk kita rasakan, “saya tidak ada apa-apanya di antara mereka”, “mereka bisa bergerak meski tanpa adanya saya”, “saya tidak bisa apa-apa dan saya tidak banyak bisa diharapkan dalam kelompok ini”, “saya pilih berhenti saja”. Kalau yang di paragraf  atas menunjukkan dengan garis ke-PD annya atau dramatisnya disebut dengan garis kecongkakannya sedang di sini adalah yang kurang memiliki kepercayaan diri, tidak memiliki motivasi dan rendahnya pengakuan pada diri sendiri, tidak memandang segala kekuatan yang telah dikaruniakan padanya.

Menyadur kalimat yang diucapkan oleh Marie Chauvel dalam novel The Da Vinci Code tulisan Dan Brown  “Selalu ada yang menunggu untuk menggantikan dan membangun kembali” inilah titik temu dan kata-kata simpel yang bisa mencambuk kesewenangan kita. Setidaknya mengajarkan kita akan arti kesadaran. Dalam aspek keberjamaahan dalam dakwah di sini juga bisa ditegaskan, selaku pengemban amanah kita hanyalah orang yang melaksanakan tugas. Di mana mengemban memiliki arti  sebagai seorang pelayan, yang melayani tanpa harus meninggikan diri. Menghambakan segenap kepemilikan hanya pada-Nya. Karena setiap ada keengganan atas amanah yang dititipkan hakikatnya amanah itu tidak akan terlantar, pasti akan ada hamba pilihanNya yang lain menjalankannya, menuntaskan dan memparipurnakan. Karena kita hanya pengemban amanah perjuangan dalam dakwah ini, dan sangat mudah bagi Allah selaku majikan kita untuk mencari pengganti pelayanannya. Dan memang selalu ada yang menunggu untuk menggantikan dan membangun kembali. Kesadaran tinggi dituntut dalam ranah ini. Jadilah yang terbaik!

Ikhwah, bukan berarti Allah merendahkan kira dengan martabat sebagai pelayan, namun Dia berkehendak ketawadhuan muncul di setiap hambaNya, Dia juga berkehendak setiap dari hamba yang diciptakanNya memiliki perjuangan keras dalam perlombaan kebikan sehingga bisa menggenggam satu predikat yang sudah diberikan sebagai hamba terbaikNya. Mencobalah untuk menjadi pelayan di setiap keadaan, dalam ranah peribadatan, dalam ranah kehidupan sosial bernegara, berorganisasi maupun dalam pertemanan dan segala kesempatan dan keadaan yang ada. Jangan rendah diri namun janganlah bertinggi hati.

*Bahan renungan: Sampai kapankah kita akan berhenti menganiaya saudara dengan amanah yang sengaja kita tinggalkan?
Bandung, 5 Juli 2012
Ern Hidayatul Ulya






sumber gambar: saifulhadiningratan.wordpress.com


MENENTRAMKAN yang GALAU



Sebuah senyum memang ampuh dan menentramkan. Siapa yang merasa benci pada senyuman? (Lho. Sepi dan tidak ada yang angkat tangan), oke semua sepakat kalau kita semua menyukainya. Siapa yang tidak suka dengan orang yang dengan ramah menyapa kita di jalanan, saat berjalan dan menyeret langkah dengan berat menuju ke lokasi kegiatan tiba-tiba di sapa dan disenyumin oleh seorang dengan manis dan kesahajaannya. Semua suka diperlakukan seperti yang demikian. Hmmm, semacam ada aura keseimbangan tersendiri, seolah ada gelora kebangkitan motivasi darinya. Senyum indah yang menentramkan.

Pagi masih sedikit menyisakan sinar bersihnya mentari, meski tercampur dengan kebisingan kendaraan di kawasan wisata kuliner, alam dan fashion  terkemuka, Dago Bandung.

Masih di tengah kelancaran lalu lintas yang jarang macet kecuali untuk malam ahad, jalan Djuanda memberikan kesempatan berhikmah kembali. Samping pusat perbelanjaan di sekitaran gang menuju rumah kostan berpapasan dengan seorang senior yang selang satu trap di atas. Tingkat 4 akhir sedang aku masih damai dengan tingkat 4 awal. Mereka sibuk mengurus KIA (Karya Ilmiah Akhir) atau sebut saja di ranah ke-sarjanaan dengan istilah skripsi. Tampak kaget jelas, muka yang disajikan sungguh berbeda dari yang biasa, tampak ceria dan berbinar. Dengan manis ia tersenyum menyapa, “Assalamu’alaykum”..

“Wa’alaykumsalam...”, sedikit ragu aku menjawabnya. Kenapa ragu? Karena tak sewajarnya sesosok yang lebih ambil diam tampak hadir di hadapan dengan segala keramahan dan keceriaannya. Ikhwan pula. (Ssttt, insya Allah ikhwan dan akhwat di kampus ini mah bisa dipercaya). Muncullah satu tanda tanya, ada apa ini?

Oh, aha! Teriakku girang dalam hati karena dengan pasti aku sudah mempunyai tebakan kuat. Tampaknya seniorku itu sudah mengantongi jadwal sidang KIA nya, dan  ia akan lulus dengan segera. Aamiin, semoga dimudahkan perjalananmu ya, komandan.

Tak ada pengukur panjang yang bisa aku gunakan untuk mengukur ketinggian semangatku saat itu. Yang awalnya aku dengan langkah gontai berjalan meninggalkan kostan untuk menuju kampus besar peradaban. Ternyata senyum mengalirkan motivasi dan menularkan kebahagiaan tersendiri, terimakasih.

Bukan itu sebenarnya yang hendak terbagi dari cerita barusan, senyum manis seringlah kita jumpai. Energi positif dari senyum juga sudah banyak diteliti oleh para ahli, sekarang saatnya buah keceriaan itu ditarik dalam kubang syukur bernama hikmah.

Tidak pernah mencoba menerka apakah seharian kita akan terus bermuka manis di hadapan saudara kita? Atau terus-terusan kita akan bermuram durja di depan mereka? Atau seimbang antara manis dan masamnya? Atau justru kita memilih diam, netral dan tak berekspresi, semuanya sungguh tidak bisa untuk kita terka. Ala kadarnya semua hanya bisa untuk diniat dan dipaksakan. Diniati untuk bermuka manis dan meninggalkan jauh muka masam, karena Rasulullah SAW juga telah mewanti-wantikan dalam nasehatnya “senyummu pada saudaramu adalah sedekah”. Jadi niatkan bersedekah setiap harinya, niatkan bermuka manis setiap waktunya.

Tapi segalanya kan juga dipengaruhi oleh keadaan? Segalanya kan dicampuri sama peristiwa yang menghadang dan menantang? Kalau sedang good feel mah mudah-mudah saja buat senyum, tapi kalau dalam keadaan bad feel tentu sangat susah, sulit dan menyengsarakan kalau harus tetap bermuka manis.

Hmm, inilah hakikat pemaksaan yang perlu kita gunakan, memaksakan setiap keadaan yang menghadang (baca: tidak menyenangkan) menjadi keadaan yang membahagiakan. Memoles yang pahit menjadi yang manis. Bagaimana jalannya? Apalagi kalau tidak mencampur yang pahit tadi dengan gula sebanyak-banyaknya? Tepat! Gula itulah yang berasal dari dalam hati kita, yang 75% sangat menentukan penyikapan kita atas keadaan. Seberat apapun ayo mencoba untuk tetap tersenyum tegar dan menguatkan.

Senyumlah, Bersedekahlah dengan segala kekuatanmu....
Tentramkan hati saudaramu yang sedang galau.

Sumber gambar: nyunyu.com
Bandung, 5 Juli 2012
Ern Hidayatul Ulya