Erna Dwi Susanti Personal Site

NAK, BACALAH SEGALA

Nak, kelak sebagai pembelajar, engkau tak pantas menyombong. Menganggap diri paling tahu, menilai diri adalah pribadi paling cerdas ataulah sekedar terbesit merasa diri paling pintar. Tidak Nak, tidak.

Kamu akan pintar tahu dari ketamakanmu mencari tahu, kamu akan cerdas bergantung pada ketajamanmu mengasah akal untuk berpikir pun menganalisa, kamu akan pintar setelah kamu senantiasa terbuka -berani membuka diri- untuk mempelajari apa saja dari siapa saja. Lantas kontrollah.

Seperti malam ini, di tengah tidurmu. Kedua orangtuamu tampak suka bahagia memandangimu sembari membuka lembar demi lembar hingga khatam. Untuk malam ini, Ayah Bundamu sedang beda selera baca. Ingatlah Nak, buku apapun itu - asal manfaat - maka bacalah.

PENDIDIKAN ITU KOBARAN API

Mendidik adalah mengajarkan paham yang benar pada pihak yang merasa belum terpahamkan, bukan tentang memaksa paham pada orang yang tidak mau paham. Karena mendidik bukanlah paksaan.

Mendidik adalah menanamkan nilai, mentransformasikan sebuah hal yang dianggap baik. Dari pihak yang sudah mengerti eksistensi dari nilai itu sendiri pada pihak yang tengah belajar, mengejar hakikat dari nilai. Karena mendidik adalah kerendahan hati untuk menerima dari yang lebih mengerti.

Mendidik itu membagikan terang pada tempat yang gelap, memberikan kemanfaatan pada hal yang belum manfaat. Ibarat malam ada kobaran api hangat yang juga menerangi, seperti William Butler Yeats pernah menyampaikan bahwa pendidikan tidak seperti isi sebuah ember, tetapi seperti cahaya dari kobaran api.

Buku Series Balita : Emaknya Balita Kudu Pasang Kacamata Kuda

Uh yess, kali ini gak lagi menyoal godaan baju-baju balita aneka rupa, gendongan baby yang unyu-unyu bentuknya, atau pernak-pernik bayi yang menggoda iman lainnya. Apalagi godaan terberat bagi seorang yang terindikasi kejangkit bibliomania seperti saya dan orang (mungkin) seperti anda?

Duh mak, ampuuun rasa perjuangannya. Setiap hari di lini medsos ketemunya tawaran buku series khusus balita. Mulai dari seri dongeng, edukasi, sejarah, fabel, dan banyak jenis lainnya. Saya ga bisa memungkiri, masing-masing paket sangat keren mengemas kontennya, apik dan menarik. Pas bangetlah untuk komunikasi dan nge-edukasi balita, palagi yang bertekad untuk menanamkan kebiasaan baca dini pada anak. Bermutu dan rekomended banget.

Tapi, titik tekannya ada di sini. Ada di kata 'TAPI' sesudah penilaian positifnya. Masing-masing series memasang harga yang cukup tinggi untuk standarisasi buku (yaa maklum, rerata buku dijual di pasaran harganya puluhan hingga ratusan ribu saja). Buku series macam ginian pasang harga 2 juta sekian-sekian sampai 4 juta sekian-sekian per paketannya. Aslinya gak akan rugi sih kalau dibandingkan beli buku bijian, dagh ini kan buku series (1 paket berisi sekita 8-16 an buku). Kualitas cetakannya juga rerata bagus-bagus, kertasnya high quality, kontennya keren dan namanya buku pasti ga akan sekali pakai terus terbuang.

Tapi aduhai, (lagi-lagi) yang namanya beli buku itu selalu bikin candu. Bulan ini beli, bulan depan bawaannya pengen beli lagi. Kayak gitu selalu berulang kali. Kebayangkan, anggap aja sebulan untuk jatah buku 3,5 juta (ini baru yang series balita lho ya), belum buku parenting, buku ala-ala lainnya, belum lagi kebutuhan primer, sekunder dan tersier lainnya #upss.

Jadi saran-rekomendasi serta wejangan dari saya "Dalam rangka menghadapi tawaran dan godaan series buku balita, emaknya balita kudu pasang kacamata kuda". Kudu selektif ekstra ya mak, pilih buku yang benar-benar bagus (really, ini syusyaaaah banget), cari tahu dulu ke teman yang udah punya - pinjem dulu bukunya - baca2 - kalau emang bagus dibeli gak apa2. Selain itu skala prioritas kita selaku emak-emak muda harus tetap terjaga. Jangan terlalu sadis sama Ayahnya Balita. #CatetYa "Jangan terlalu sadis sama Ayahnya Balita 😂

#BundanyaYahya, 4 Mei 2017

Suara Yahya tentang Berbeda

Bun, menulis itu memang beresensi tinggi. Dari sana kita bisa menebarkan suara kita sampai bahkan mampu menggiring opini publik. Mengajak bahkan menjadi penggerak.

Tapi Bunda, didik terus Yahya ya, hingga Yahya menulis bukan semata-mata untuk membumikan apa yang Yahya pribadi nilai benar. Tapi Yahya memadupadankan antara data dalam fakta yang ada, mengumpulkannya, menganalisa berlanjut menyimpulkan. Itukan sistematika yang diminta dalam pengetahuan?

Bunda, tempo waktu. Ayah berikan kabar tentang tulisan seorang kakak yang viral dengan pendapatnya. Ia menulis tentang menghargai perbedaan, bagaimana seorang dapat berlaku konsisten dan bijak menyemai kerukunan dalam perbedaan. Menganggap satu sama lain adalah sama, tidak ada beda.

Tapi Bunda, kalaulah memang demikian, kenapa seorang Rasul Muhammad rela meniadakan tangis dan menahan lara karena tekadnya untuk menyeru pada ketauhidan kalau pada ujung-ujungnya dipahami bahwa semua keyakinan adalah sama? Dan kalau sang kakak bilang, Jawa dan Cina adalah sama, Indonesia. Lantas di mana letak kedaulatan?

Duhai Bunda, ajaklah aku untuk bertemu dengan sang kakak tercinta. Biarlah Yahya duduk bersamping dengannya, menuai bahasan dengan cakapan yang menentramkan. Agarlah kami dan kita semua paham, berbeda untuk jadi tentram itu tidaklah dengan mengakui semua sama. Tapi cukuplah saling meyakini warna kita masing-masing dan menghargai bahwa ada batas sebrang yang tak pantas dilebursatukan. Tentang warisan, tentang perbedaan. Bahwasanya memang perbedaan bukanlah sebuah perjuangan atas warisan, tapi keteguhan tentang keyakinan. Meyakini apa yang kita tapaki atas kesadaran kehendak kita, bukan perintah keluarga atau saudara.

Yahya dan Bunda, 20 Mei 2017 | Ngawi

Yahya, Mari Nak Kita Mengulang Bulan!

Sebulan kemarin sholih, ketetapan membungkus rapat sebuah kecemasan. Menahan rintihan sakit yang terus meningkat dan berulang, ia seolah menyempurnakan rangkaian proses bernama perjuangan, berjuang untuk melegalkan diri menjadi seorang ibu, melahirkanmu.

Tak ada tanda yang terasa, maka wajar kalau hari itu aktivitaspun berjalan seperti biasa. Mengitari pelataran depan-olahraga ringan, lantas menyibukkan diri di dapur mempersiapkan semuanya, seperti pagi-pagi biasa. Namun sangat singkat dan tiba-tiba, tepat di HPL-1, kamu ditakdirkan melengkapi kami, Ayah dan Bunda. Tuhan memberikan karuniaNya, hanya cukup 3 jam 40 menit saja bunda diberikan ujian bernama sakitnya persalinan.

Sholihnya Ayah Bunda, hitungan satu bulan telah kita jalani bersama. Selalu ada banyak hal baru yang menuntut bunda dan ayah belajar, beradaptasi dan terus menerus menempa diri menuju kapasitas mumpuni, mampu dan pantas menjadi orangtuamu.

Yahya, jika kamu tanya apakah ayah dan bunda bahagia? Tentu saja iya nak. Bahagia itu pasti.  Begitu juga kadang air mata, ia selalu menjadi pelengkap tawa.

Aduhai sholih, kebersamaan kita akan terus kita tingkatkan harga kualitasnya, semoga keberkahan senantiasa mengikat tali antara kita. Tumbuhlah dalam segala kebaikan dan pengharapan, semoga Ayah dan Bunda juga senantiasa dimampukan untuk menjaga amanah sebagai orangtuamu. Aamiin.

Dan Yahya Anakku, Mari Nak, kita mengulang bulan. 8 Februari 2017 - 8 Maret 2017

With love Ayah - Bunda

Yes, Homeschoolingku Libur

Yes, Homeschoolingku Libur

Pagi tadi, bangun tidur, sebelum subuh aku tanya pada Bunda, "Bun, hari ini hari apa?". "Hari Ahad, Nak!", jawab Bunda.

"Yes, berarti hari ini sekolahku libur dulu ya, Bun. Waktunya Yahya untuk nyenyakin bobok dan istirahat santai", pintaku ke Bunda.

Bunda tampak geleng-geleng, lantas melirik dan tersenyum, dijawabnya "Oke, homeschoolingnya libur, tapi belajarnya tetap gak libur lho ya".

"Oke Bunda, Yahya lanjutin bobok lagi yaa" 😁

Bundaku tidak memaksa aku harus belajar formal, sejak jauh hari saat masih di kandunganpun aku telah didaulat jadi muridnya. Senyaman mungkin aku diajak belajar. Kurikulumnya? Suka-suka kita, lebih tepatnya dari hidup dan kehidupan kami belajar. Ah, siapa sih yang gak suka punya guru sekeren ia. Love you, Bunda. [Yahya ~ 1 month 18 day]

📷 photo by #AyahYahya - @sukepangon

Ego Ber-team

Siar, bersiar, penyiar dan menyiar-kan : itu tidak hanya perkara mengucap satu lain hal yang menarik. Tidak melulu tentang intonasi yang ditata dengan apik. Tapi ini tentang penyertaan jiwa, kehadiran ruh dan kepedulian yang menjadi tanggungjawabnya. Itulah orang menyebutnya juga dengan -pembelajaran-. Belajar menyampaikan kebenaran tanpa keberpihakan, menjadi netral tanpa menghitung besaran nominal siapa yang bayar. Benarkan. Akuratkan. Lengkapkan. Dan, selamat bertugas untuk meramaikan #jurnalisdunia 😊💪

PERCAYA

Mahal, betul kata orang. Percaya, mempercayai dan dipercaya itu mahal. Kadang pengorbanan besarpun rela dilakukan untuk dapat kepercayaan atau ngasih kepercayaan. Duh, manusia, kayaknya butuh banget deh bermodalkan percaya.

Sepertihalnya bubur jagung tadi siang, sengaja saya buat juga dari modal percaya. Dikasih tahu resepnya, saya percaya penjelasannya lantas saya coba. Berkesan banget, dan semua pada suka.

Melukis Di Atas Kanvas Tuhan

"Saya tahu Mbah, sangat tahu kalau semua itu sudah ada penentu dan pembuatan ketetapannya. Tapi apa iya, sekali saja saya boleh menolak? Boleh meninggikan kedengkian atas kesabaran dan penerimaan saya selama ini?", Musen coba mengutarakan pemberontakannya. Ia sadar betul bahwa langkah dia untuk tidak menerima kenyataan adalah pilihan yang salah.

Teduh memandang, sang kakek mendekap Musen dan berujar dengan parau, "Memang Le, sabar dan kesabaran itu perlu dibangun dari belajar. Dari sedikit demi sedikit kesiapan atas ujian. Mbah mengerti keadaanmu, Mbah bisa merasakan apa yang kamu rasakan".

Bertubi-tubinya batu uji dan cobaan yang dirasa Musen mengantarkannya pada kondisi yang gamang diceritakan. Pada dirinya saja ia malu, bagaimana lagi kalau orang-orang sekitarannya mulai tahu kenyataan? Tapi titik kulminasi sedang berada dalam puncaknya. Ia tak ragu harus bagaimana dan harus berbuat apa.

Melihat teman-temannya yang masih seusia belasan tahun kian menuai pilu hati dan kesabaran. Dengki. Ia ingin sekali saja menapakkan hatinya pada kedengkian, mengiri atas kebahagian yang dicapai orang, meski sekali saja, meski sehari saja. Ia ingin tidak seperti biasanya. Melepas jubah kesantunannya, membiarkan hatinya yang selama ini bungkam untuk berani bersuara, berteriak jika ia merasakan perlu. Tapi hanya pada dia. Hanya pada kakeknya saja pemberontakan itu dapat Musen salurkan.

Sebagai seorang anak yang tak berbapak. Ah bukan, ia berbapak. Sepertihalnya dalam setiap jawaban atas tanya-tanya yang tertuju padanya, Musen selalu menjelaskan, "Ibuku masih kerja di sana dan Bapak masih kembali ke negaranya". Iya, ia selalu menyampaikan kalau Bapaknya masih kembali ke negara asalnya.

Duhai, pasangan mata manakah yang akan menolak untuk mengatakan kalau dia anak blasteran? Kulit bersih, mata sipit, tinggi seperti kebanyakan peranakan pada umumnya. Musen berdarah Cina.

Namun janganlah mendatangkan tanya, ia berasal dari Cina sebelah mana, atau sekedar tanya pernahkah kamu ke Cina? Ia akan membungkam diri dari seribu jawaban, pergi atau dengan sigap mengganti topik pembicaraan lain lagi. Musen tak ingin terusik.

Dia berbapak dan dia beribu. Tapi tak pernah bertemu, hingga ia tak pernah tahu siapakah Bapaknya itu dan dimanakah ia menetap, sungguh Musen tak tahu namun masih ingin mencari tahu.

Perihal ibu ia tahu, seorang wanita yang bekerja dari tenggelamnya matahari sampai dini hari jelang terbit lagi. Berpindah dari satu kota ke kota lain. Dari satu orang ke orang lain. Kadang mengeluhkan keletihannya, kadang menampakkan kebahagiaannya. Tak tertebak. "Ibu bekerja apa?", beberapa kali ia tak dapat urungkan pertanyaannya. "Bekerja untuk mencukupi kebutuhanmu, Sen. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga kita", cukup itu, berulang dan terus diulang. Tak ada jawaban yang beda, tak ada penjelasan yang tak sama. Jawaban Ibu Musen itu-itu saja. Ah entahlah, ia hanya bisa menyimpul dar apa yang didengar dari orang-orang, jika ibunya seorang perempuan malam, seorang wanita panggilan, kupu-kupu malam.

Kedewasaan semakin membuat Musen paham, panggilan itu untuk menyapa mereka yang bekerja sebagai wanita pekerja seks. Ia diam dan belajar menerima kenyataan. Berdamai dengan diri dan sibuk membujuk pada hati. Bagaimanapun dia adalah ibumu. Ia doktrin dirinya. Tapi alangkah kejamnya hardikan dan sindiran perkataan orang-orang. Ia terlabel sebagai seorang anak yang haram, tak suci. Hingga ia tertekan, seperti sore itu dalam dekap teduh sang kakek.

"Sungguh Le, tidak ada istilah untuk anak haram. Perilaku penyebabnya yang salah, yang ngawur dan terlanjur biarkanlah. Kamu terlahir dalam keadaan suci. Masih sama seperti mereka yang di sana, yang dilahirkan dengan identitas nama-nama raja. Berbahagialah Nak, optimislah. Sekolahmu yang bener, ibadahmu yang banter (red: kuat/kencang), minta ke Gusti Allah untuk memberikan jalan kesempatan menebus semuanya. Membersihkan apa yang mampu dibersihkan dengan ketaatan, permohonan ampunan dan doa-doa pengharapan. Mintalah Kanvas ke Tuhan, lukislah harapan-harapanmu di atasnya".

Madiun, 20 Oktober 2016 - Erna Dwi Susanti