Erna Dwi Susanti Personal Site

Melukis Di Atas Kanvas Tuhan

"Saya tahu Mbah, sangat tahu kalau semua itu sudah ada penentu dan pembuatan ketetapannya. Tapi apa iya, sekali saja saya boleh menolak? Boleh meninggikan kedengkian atas kesabaran dan penerimaan saya selama ini?", Musen coba mengutarakan pemberontakannya. Ia sadar betul bahwa langkah dia untuk tidak menerima kenyataan adalah pilihan yang salah.

Teduh memandang, sang kakek mendekap Musen dan berujar dengan parau, "Memang Le, sabar dan kesabaran itu perlu dibangun dari belajar. Dari sedikit demi sedikit kesiapan atas ujian. Mbah mengerti keadaanmu, Mbah bisa merasakan apa yang kamu rasakan".

Bertubi-tubinya batu uji dan cobaan yang dirasa Musen mengantarkannya pada kondisi yang gamang diceritakan. Pada dirinya saja ia malu, bagaimana lagi kalau orang-orang sekitarannya mulai tahu kenyataan? Tapi titik kulminasi sedang berada dalam puncaknya. Ia tak ragu harus bagaimana dan harus berbuat apa.

Melihat teman-temannya yang masih seusia belasan tahun kian menuai pilu hati dan kesabaran. Dengki. Ia ingin sekali saja menapakkan hatinya pada kedengkian, mengiri atas kebahagian yang dicapai orang, meski sekali saja, meski sehari saja. Ia ingin tidak seperti biasanya. Melepas jubah kesantunannya, membiarkan hatinya yang selama ini bungkam untuk berani bersuara, berteriak jika ia merasakan perlu. Tapi hanya pada dia. Hanya pada kakeknya saja pemberontakan itu dapat Musen salurkan.

Sebagai seorang anak yang tak berbapak. Ah bukan, ia berbapak. Sepertihalnya dalam setiap jawaban atas tanya-tanya yang tertuju padanya, Musen selalu menjelaskan, "Ibuku masih kerja di sana dan Bapak masih kembali ke negaranya". Iya, ia selalu menyampaikan kalau Bapaknya masih kembali ke negara asalnya.

Duhai, pasangan mata manakah yang akan menolak untuk mengatakan kalau dia anak blasteran? Kulit bersih, mata sipit, tinggi seperti kebanyakan peranakan pada umumnya. Musen berdarah Cina.

Namun janganlah mendatangkan tanya, ia berasal dari Cina sebelah mana, atau sekedar tanya pernahkah kamu ke Cina? Ia akan membungkam diri dari seribu jawaban, pergi atau dengan sigap mengganti topik pembicaraan lain lagi. Musen tak ingin terusik.

Dia berbapak dan dia beribu. Tapi tak pernah bertemu, hingga ia tak pernah tahu siapakah Bapaknya itu dan dimanakah ia menetap, sungguh Musen tak tahu namun masih ingin mencari tahu.

Perihal ibu ia tahu, seorang wanita yang bekerja dari tenggelamnya matahari sampai dini hari jelang terbit lagi. Berpindah dari satu kota ke kota lain. Dari satu orang ke orang lain. Kadang mengeluhkan keletihannya, kadang menampakkan kebahagiaannya. Tak tertebak. "Ibu bekerja apa?", beberapa kali ia tak dapat urungkan pertanyaannya. "Bekerja untuk mencukupi kebutuhanmu, Sen. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga kita", cukup itu, berulang dan terus diulang. Tak ada jawaban yang beda, tak ada penjelasan yang tak sama. Jawaban Ibu Musen itu-itu saja. Ah entahlah, ia hanya bisa menyimpul dar apa yang didengar dari orang-orang, jika ibunya seorang perempuan malam, seorang wanita panggilan, kupu-kupu malam.

Kedewasaan semakin membuat Musen paham, panggilan itu untuk menyapa mereka yang bekerja sebagai wanita pekerja seks. Ia diam dan belajar menerima kenyataan. Berdamai dengan diri dan sibuk membujuk pada hati. Bagaimanapun dia adalah ibumu. Ia doktrin dirinya. Tapi alangkah kejamnya hardikan dan sindiran perkataan orang-orang. Ia terlabel sebagai seorang anak yang haram, tak suci. Hingga ia tertekan, seperti sore itu dalam dekap teduh sang kakek.

"Sungguh Le, tidak ada istilah untuk anak haram. Perilaku penyebabnya yang salah, yang ngawur dan terlanjur biarkanlah. Kamu terlahir dalam keadaan suci. Masih sama seperti mereka yang di sana, yang dilahirkan dengan identitas nama-nama raja. Berbahagialah Nak, optimislah. Sekolahmu yang bener, ibadahmu yang banter (red: kuat/kencang), minta ke Gusti Allah untuk memberikan jalan kesempatan menebus semuanya. Membersihkan apa yang mampu dibersihkan dengan ketaatan, permohonan ampunan dan doa-doa pengharapan. Mintalah Kanvas ke Tuhan, lukislah harapan-harapanmu di atasnya".

Madiun, 20 Oktober 2016 - Erna Dwi Susanti

Menakar Kompetensi Pemuda dalam Kontribusi Kekinian

Oleh Erna Dwi Susanti

Menjadilah kemufakatan bersama bahwa pemuda adalah pemegang kendali puncak tertinggi aktivitas produktif. Usia dan tenaga yang masih totalitas memberikan kesempatan besar bagi mereka untuk berkarya nyata, turut menyumbang tata laksana kesejahteraan. Dengan tekadnya yang besar, kesempatan yang luas dan tenaga yang total maka ia akan berproduktivitas optimal. Produktif di setiap langkah dan karya, memberikan sumbangsih pada masyarakat (berkontribusi).

Langkah yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah bentuk kontribusi yang harus dijalani. Kontribusi semisal apakah yang menjadi tuntutan masa kini? Hal demikian membutuhkan telaahan khusus agar tekad, kesempatan dan kemampuan berkarya para pemuda tidak menjadi kesia-siaan. Menggebu namun harus diarahkan, menyesuaikan dengan tuntutan kekinian, mengemasnya secara menarik, mewujudkannya secara apik. Kontribusi efektif dan efisien, tepat pada sasaran.

Eksistensi Sebuah Kontribusi

Terlebih pemuda, yang memiliki antusias tinggi untuk menggapai apa yang diingini. Mengejar apa yang ia harapkan, mengikuti apa yang menjadi keumuman. Karena apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang dinilai sebagai kekinian dan menjadi bentuk perwujudan eksistensi yang sesuai. Hakikatnya bukanlah demikian. Penelaahan kritis dan pandangan strategis akan bentuk kontribusilah yang menjadikan pemuda benar-benar menitikan peran kebermanfaatan. Mereka berhasil mewujudkan eksistensi sebuah kontribusi.

Pemuda yang menyandang kodrat dasar untuk senantiasa mengaktualisasikan diri, dengan sentuhan penelaahan dan pemikiran tersebut di atas akan mampu menghantarkan pemuda pada kebermanfaatan. Bukan sekedar mereka (kumpulan ataupun komunitas-komunitas pemuda) yang bergerak nyata untuk dianggap kekinian, atau sekedar mengikuti kebiasaan umum agar nilai konformitas tetap terjaga.

Momentum Menakar Kompetensi

Setelah dipahami harapan ideal kontribusi yang seharusnya diberikan. Maka saat itulah, pemuda lantas menakar kompetensi yang ia miliki. Menakar kompetensi adalah ketika pemuda-pemuda tersebut memiliki keberanian untuk mengerti dan memahami seberapa kapasitas yang mereka miliki. Pemuda berani menakar dan mengejawentahkannya dalam rencana-rencana kerja untuk memberikan kontribusi terbaik di masanya.

Hingga pada akhirnya, pengertian benar-benar dipahami seberapa kapasitas yang mereka punyai dan kontribusi seperti apa yang harusnya mereka jalani. Seiring dengan perjalanan, kapasitas-kapasitas mereka ditingkatkan, dinaikkan. Agar kontribusi semakin meningkat, kebermanfaatan semakin bertambah.

Menyoal Ketetapan Logika Langit

Oleh Erna Dwi Susanti

Mengulas tentang takdir, tentang ketetapan, kehendak dan sebuah kepastian. Ketaatan manusia sebagai hamba yang diciptakan Tuhan untuk senantiasa mematuhi apa yang dikehendaki Tuhan padanya. Semakin taat maka semakin patuh. Demikianlah golden concept yang sering dijunjung tinggi para pemilik hakikat keimanan. Mereka percaya akhirnya mereka menguatkan kepercayaan dengan keimanan, taat dan patuh, di mana ketetapan telah digariskan maka mereka harus menaati dan harus mematuhi.

Jika sebuah nalar diberikan kebebasan untuk kembali menyoal sebuah logika, maka ia akan memiliki keberanian untuk menimbang. Menuai analisa atas setiap keadaan. Premis-premis terkumpulkan dan ia berkeputusan. Dengan sentuhan hakikat keimanan yang ia miliki, di mana ia patuhi tugas kehidupan dengan hati terpadu nalar maka ia akan dapati sebuah perenungan. Logika langit akan berkata menyelaraskan kinerja bumi.

Logika langit adalah ketetapan Tuhan, dan kinerja bumi adalah ikhtiar yang diupayakan oleh hamba untuk menjemput ketetapan dan impian. Ia mengusaha sebuah kerja untuk memperoleh hasil, di sinilah kinerja bumi terjalankan. Selanjutnya ia akan menengadah dalam doa dan kepasrahan untuk menunggu keputusan dan ketetapan Tuhan, inilah yang disebut menanti logika langit.

Tidak ada perubahan nasib suatu golongan manakala tak ada upaya atas mereka untuk mengubah keadaan. Tuhan memberikan ruang-ruang untuk berusaha, untuk menyempurnakan dan menjemput ketetapan yang disebut dengan takdir. Takdir sudah ada yang diputuskan sejak jaman azali, jaman saat ruh ditiupkan pada jasad, jaman saat nyawa berjanji taat pada Tuhannya. Namun juga ada sebuah ketetapan yang belum dibakukan, yang dapat disempurnakan dengan ikhtiar-ikhtiar, doa dan pengharapan.

Berusahalah, karena kita manusia. Punya tugas untuk mengusaha. Kita bukanlah Tuhan, kita masih harus menenguhkan taat dengan ikhtiar dan ketawakalan.