Erna Dwi Susanti Personal Site

Menyambut Gayung Occident


Oleh Erna Dwi Susanti

Goethe (1749-1832) M dalam bukunya West-Oestlicher Divan tampak begitu bijak menyikapi keberadaan Bangsa Timur dan Bangsa Barat. Ia menganggap Timur dan Barat sama-sama milik Tuha Menjawab Penjajahan Occidentn. Di sana ia menulis, "Gottes ist der Orient, Gottes ist der Okzident".

Dan orang-orang mungkin saja terperangah dengan diktum Goethe kala itu. Namun akhirnya seorang A. Dasgupta penulis buku Goethe and Tagore segera mengemukakan pada khalayak bahwa ternyata diam-diam ia memplagiat ayat al Qur'an --wa lillahi al mashriq wa al magrib--, lantas kemudian Goethe menambahkan, "The Northland and the Sotherrn land, Rest in the quite of His hand".

😅 Fakta berulang, inilah yang terjadi. Cerita tentang plagiat Goethe dalam tulisannya tersebut hanya sebagian kecil dari puluhan pengalihan keterpikatan publik. Statement-statement menarik banyak yang terkenal, terpublikasikan dan dibenarkan oleh masyarakat umum sebagai statement yang ditemukan kalangan Barat (Occident). Klaim penemuan, teori-teori keilmuan, dan ribuan pengetahuan yang berasal dari Timur (Orient) menjadi hak milik dan terbrandingkan sebagai hak Barat.

Kenapa itu semua terjadi? Karena kita enggan mengkaji apa yang tengah miliki. Pun jika telah ada beberapa kalangan alim/intelektual muslim dan cendikiawan keagamaan masih minimnya tekad untuk mengabadikan dalam dokumentasi-dokumentasi karya tulis, wasiat mendidik dengan tulisan hingga bermuara pada minimnya penyebaran paham dan pengetahuan.

Kurang yakin apa kita atas kesempurnaan agama ini? Petunjuk yang telah terang menuntun pada kebenaran. Jawablah kondisi tersebut, biarkan laksana gayung yang harus tersambut, menyambut gayung-gayung berulang itu dengan sikap, dengan tekad dan dengan tindakan. Teruslah belajar, mengkaji, memamahami, membuka diri dalam ruang-ruang diskusi, menuliskan apa yang telah benar ter-ilmui. Hingga seruan-seruan (dakwah) kita terus berjalan, terus mengalir, berkembang tidak stagnan dalam kejumudan. Wallahu'alam bish shawab.

[Madiun, 21 Januari  2016]

Sumber gambar : ern.ulya

Menggenaplah Penghambaan dan Peneladanan

Adalah cinta yang mengantarkan pada ketaatan, adalah cinta yang mengenalkan arti keteladanan, adalah cinta yang kadang meminta kesadaran jiwa untuk tunduk patuh, takzim dan hormat pada ketetapan. Karena adalah cinta yang menjadi ruh penghambaan, menghambanya seorang makhluk pada Tuhannya. Karena adalah cinta yang menjadi ghiroh bhakti keteladan, kemauan seorang ummat mengikuti sang utusan dari Tuhan.

Bukti penyempurnaan ibadah pada Rabb, pada Allah pemilik nama dan sifat yang agung, telah dipertemukanlah dalam bahtera keluarga insan-insan pemilik iman dan hati yang sama. Karena telah menjadi janji dariNya, bahwa iman yang sama dan hati yang senada akan dipertemukan, akan dipersatukan.

Kerangka mengikut pada tuntunan sunnah pula, genap dan menggenapi akhirnya terparipurnakan.

Bait sajak apalagi yang pantas mewakili bahagianya rasa kami mendengarkan berita gembira ini? Selain lantunan puji atas do'a semoga sakinah, mawaddah, rahmah dan dakwah senantiasa menyerta biduk keluarga Ka Sahrul dan Teh Anita. Barakallah,

Dari loyalis #romantisgariskeras - #RGK
(Surabaya - Madiun - Bandung - Jakarta - 21 Januari 2016)

Daripada Tanya Mending Doa

Ijin masukkin k kluster news deh ya.. hai hai, news yang menghibur. Selamat menyimak 😅

=========

Part I

Meskipun teman, gak semua hobi dan kebiasaan harus sama. Termasuk selera kuliner. Al hasil, keseringan harus wisata kuliner seorang diri. Ah, sudahlah gak apa2.

Sesampai di tempat makan langganan.

"Mas baksonya seperti biasa ya", ☺

Sigap dilengkapi nada sumringah mas bakso sudah bisa ditebak akan menanyakan pertanyaan apa. Ohhoo, pertanyaannya rerata kreatif, beda-beda di setiap harinya. Tapi tetap saja sama, kontennya itu-itu saja. 😥

"Kapan bawa temen mbak? Kok setiap ke sini sendirian terus ",😅

"Mas, daripada rajin ngulang pertanyaannya mending rajinin deh doanya. Biar mas gak capek dan ada hasilnya. Gak bosan ya dapat jawaban sama tiap waktunya? 😆

"Mbak, mbok iya o idealis dan standarnya diturunkan", 😊

"Mas saya sudah lapar, lagi gak ada mood buat diskusi", 😩

REGARD :
🐦 @ernHU | 💻 IG : ern.ulya | 🌏: ernatintapena.blogspot.com

MISYKAT

Sebuah buku yang dikenai  judul MISYKAT oleh penulisnya, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Direktur Jnstitute for Study of Islamic Thought and Civilizations (INSIST) ini mengharapkan buku tersebut nantinya mampu menjelaskan dan menerangkan apa yang selama ini kabur dan tidak jelas, mengisi apa yang selama ini kosong dan membuka apa yang selama ini ditutup-tutupi. Sebagaimana kata Misykat sendiri yang diadop dari An Nur : 35, Misykat ditafsiri sebagai lobang kecil dalam rumah seperti jendela kecil yang memantulkan cahaya. Dapat diartikan juga tempat lampu. Seperti halnya yang dipilihkan Al Ghazzali untuk menamakan bukunya dengan Misykat al Anwar (tempat atau lampu yang berisi cahaya-cahaya)

Buku dengan gaya tulisan seperti ini mungkin dapat dipertanyakan efektifitasnya dalam menjelajahi problematika yang ditimbulkan oleh arus westernisasi dan liberalisasi dan bahkan ditambah dengan globalisasi. Akan tetapi, tulisan pendek atau panjang itu masih dapat menyampaikan sebuah idea. Bahkan sebuah ideologi atau teori ilmiah dapat diekspresikan dalam satu kata atau satu kalimat. Sebab setiap kata berisi makna dan setiap makna mengandung konsep dan setiap konsep dihasilkan oleh worldview atau ideologi. Maka, kata atau kalimat itu bisa menjadi medium penyampaian ide, pendapat dan paham. Bahkan gagasan besar pun bisa dituangkan dalam bentuk puisi.

selengkapnya - saya merekomendasikan rekan-rekan semua untuk membacanya juga. ^_^ (ern)

Meninggikan Derajat Pengemis

"Memberi uang kepada pengemis itu bukan perilaku yang menolong, tidak mendidik dan bukan sebuah solusi penyelesaian masalah"

Well, so far saya sepakat dengan statement tersebut. Saya setuju dengan pendefinisian pola sikap dalam penyikapan masalah sosial. Di mana memberikan uang pada pengemis bukanlah sebuah langkah tepat untuk membantu mereka bangkit dari keterpurukan, mengentaskan mereka dari belenggu kemiskinan. Sekali lagi adalah benar, bahwa memberi uang pada pengemis bukan jawaban yang tepat. Seperti halnya yang dicontohkan oleh pemimpin ummat Islam, Muhammad SAW. Yang suatu ketika ada orang papa yang menghadap padanya. Berceritalah ia kalau tidak memiliki apa-apa. Ia minta rasa belas kasih dari Muhammad. Namun yang diberikan Rasulullah kala itu bukan sekeping dirham atau dinar, justru sebuah kapak.

"Wahai Rasulullah, apa gerangan yang engkau maksudkan?," tanya bimbang sang papa. "Yang aku butuhkan uang uang untuk membelanjai keluargaku. Membelanjai anak pun istriku. Bukan seonggok kapak yang tak kuketahui apa yang akan kugunakan apa ini nantinya", lanjutnya.

Rasulullah menegaskan padanya, mengisyaratkan sebuah ikhtiar untuk bekerja sampai ia mampu menafkahi keluarganya dengan jerih keringatnya.

Ya, adalah sebuah kapak itu untuknya berusaha, mencari kayu dan menjualnya hingga mendapatlah ia kepingan dirham untuk belanja. Simple point nya adalah kala itu Rasulullah menanamkan etos kerja pada sang papa, tidak memfasilitasinya hingga akhirnya ia terus menerus menjadi peminta. Rasulullah telah mengajarkan teori dan konsep pemberdayaan. (Mungkin ada kisah yang sama dengan beberapa perbedaan alur, silakan menyesuaikan dan menambahkan).

Kisah semacam tersebut kemudian juga diadop dalam konsep pengorganisasian - pengembangan masyarakat (community organization and community development), pemberdayaan masyarakat (empowerment) -- dibuatlah konsepsi perlakuan, berikan ia kail bukan ikan, dan ajarkan ia cara membuat kail agar dapat lebih mandiri untuk mencari ikan, hingga ia produktif.

Bukankah beda dahulu dengan sekarang? Iya tentu beda. Tapi secara garis besar masih sama. Orang peminta-minta (pengemis) masih tetap ada bahkan meningkat jumlahnya. Rerata dijadikanlah mengemis atau meminta menjadi pekerjaan rutin dalam kesehariannya, setiap harinya.

Lantas bagaimana sikap kita seharusnya? Berlatar belakang profesi sebagai seorang pekerja sosial tentulah doktrin larangan memberi pada pengemis itu selalu coba untuk saya terapkan. Teman-teman yang sering bepergian dengan saya tak luput mendengar ceramah singkat dan protes langsung dari saya.

Dan keseringan pula jawaban yang saya dapatkan adalah sama, "Itukan sarana kita untuk ibadah", "Kalau kita tidak memberikan uang pada mereka itu sama saja kita menutup pintu rejeki mereka yang memang dititipkan pada kita", dan beberapa ketidaksepakatan mereka lainnya.

Baiklah gaes, tidak harus dengan berdebat masalah ini kita selesaikan. Kalau kita ingin berbagi, menyedekahkan sebagian rejeki yang kita miliki jaman sekarang sudah ada banyak sarana untuk menyalurkan. Insya Allah jaminan rejeki mereka tidak akan tertutup dengan tidak kita berikan uang pada mereka. Tuhan tidak menyukai dan tidak menghendaki ummatnya merendahkan harga diri yang memang sudah Dia tinggikan.

"Tapi apakah berlebih dan disalahkan kalau pemberian tersebut kita berikan sebagai bagian dari bentuk syukur. Semisal sekedar sebungkus nasi, toh kita sering keluar masuk tempat makan 'mewah', pelatihan-pelatihan di hotel berbintang, dengan fasilitas istimewa dan bahkan itu pakai uang negara. Yang mungkin saja, uang yang kita gunakan kala itu seharusnya diperuntukkan bagi mereka? Bukankah fakir miskin dan anak terlantar dalam amanat undang-undang harus dipelihara oleh negara?".

Tidak, tidak berlebih kalau itu sekedar bentuk syukur atas nikmat yang teranugerahkan. Tapi lagi-lagi lakukan itu dengan cara yang tepat. Bukan sekedar memberi yang kita anggap itu solusi tapi ternyata justru menyalahi.

Mari kita tinggikan derajat pengemis, dengan tidak memberi kemudian merendahkan martabat mereka. Tinggikan derajat mereka sebagaimana Tuhan telah meninggikannya.

..... [to be continue]

Serial : Isu Rumah Bambu - Ern || Madura, 17 Januari 2016

Sumber gambar : rayasorayaa.blogspot.com

Madura