Jika Aku Maju, Ikutilah Aku
Jika Aku Berhenti, Doronglah Aku
Jika Aku Terjatuh, Bangkitkanlah
Aku
Dan Aku adalah Indonesia
Sekilas
gambaran pesan pembaharuan untuk generasi pembawa panji perjuangan. Jika memang
Indonesia sedang maju dalam kebenarannya maka patuh dan ikutilah ia. Jika
memang Indonesia sedang terhenti dalam langkah perjalanannya maka doronglah ia untuk
segera menancap gas mengusung perombakan. Jika memang Indonesia sedang terjatuh
maka segera bangkitkanlah ia agar berkemas menyusul ketertinggalan, serta mampu
pulang membawa kemenangan. Inilah tuntutan ideal yang jadi pengharapan atas
Indonesia. Semua menjadi sadar dan rela bergerak serta bertindak. Namun realita
belum segemilang cita-cita. Semangat kebangkitan masih nyaring tergadaikan.
Rebutan
pamor ke-idealan
Sorak
sorai suara pentas dan pesta kebangkitan sudah mulai kembali diperdengarkan.
Tak terdeteksi dari penjuru mana, kelompok siapa, gerakan apa, partai warna apa
atau perseorangan manakah yang terlebih dahulu membuka mata, bersiap sedia dan
dengan serempak mengatakan “kami sudah bangkit”. Tak dipungkiri, hanya sebatas
hiasan dan teriakan dalam kesamar-samaran sajalah yang selama ini asyik
menghiasi negeri dalam rangka menyambut, mengisi derap kemeriahan ‘moment kebangkitan’. Tanpa ada
perlombaan dan penjurian yang jelas, mereka yang ada dalam polesan atribut ‘kelompok-kelompok pejuang’
mengatasnamakan sebagai pemenang, juara-juara kebangkitan. Kelompok kami yang
menang dan kelompok kalian yang jadi pecundang. Secara terang maupun abstrak,
keadaan seperti inilah yang sedang hangat mewarnai kancah kehidupan Indonesia.
Dari mana berawal untuk bangkit dan menyajikan kebangkitan?
Kodrat
me-manja
Sejenak
ingin bermain cerita, seorang anak kecil, pemuda, orang tua, maupun lanjut usia
saat terbangun dari tidur tidak pernah langsung dengan sigap melompat dari
ranjang dan menyandang perlengkapannya, kemudian lari untuk menjalankan
aktivitas rutinnya. Jarang – sedikit atau
mungkin tidak ada yang demikian, mereka akan butuh waktu sesaat untuk
bermanja ria dalam pertengahan alam sadar dan tidak sadarnya, antara tidur dan
jaganya. Menggeliat ke kanan, ke kiri, mengucek mata dan perlahan lantas
berdo’a. Beranjak, bersiap-siap baru kemudian menjalankan aktivitasnya. Ritme
simpel yang disetujui oleh semua kalangan.
Implikasi
dari itu semua juga berlaku dalam konteks kebangkitan satu negara. Termasuk di
dalamnya adalah Indonesia. Meskipun negara bukanlah manusia, tapi tak bisa
dilepaskan konteks manusia sebagai subsistem dari negara sehingga penalaran dan
analogi ‘bangun tidur’ di atas masih bisa diterapkan. Sehingga muncul
kewajaran, butuh tenggang untuk bermanja-manja ria. Benarkah harus terus dimaklumi atau disiasati?
Pemakluman
yang terus menerus pada penggerak sistem (baca: manusia) hanya akan menjadikan
mereka semakin merasa aman dan takut menghadapi gejolak perubahan. Bagaimana
konsep kebangkitan bisa terbangun, manakala menghadapi gejolak saja enggan.
Sebagaimana kata pengukir kata bijak “Tidak akan ada pelaut yang tangguh jika
tak ada ombak yang besar” maka dari itu muncul inisiatif baru dalam ranah
siasat, kita mengenal istilah kredit atau cicilan. Menyajikannya
dari sedikit demi sedikit, dari selangkah demi selangkah. Mengkredit sampai
melunasi.
Kredit
Kebangkitan
Perlahan
bangunkan penggerak-penggerak sistem yang ada, lanjutkan pada pemberian jeda
singkat untuk mengembalikan kesadaran mereka, segera instruksikan dengan suara
hati agar mereka berkemas, dudukkan mereka dalam majelis santai kemudian
paparkan perlahan dan dengan penuh kejelasan akan hakikat pentingnya bangun
untuk bergerak, jika mereka sudah menganggukan kepala persetujuan dengan
kesadaran tinggi maka gandeng tangan mereka dan bisikan perlahan “mari
kita kejar perubahan, sudah saatnya kita bangkit dan lari sekarang”.
Timbangan
i’tikad
Manusia
terwujud dari keanekaragaman, dari penyusun tubuhnyapun juga beragam sampai
akhirnya terwujud keberanekaan hasil atas keadaan yang satu dan yang lainnya.
Simple untuk disimpulkan, sama konsepnya dengan pemikiran, persepsi maupun
pilihan. Garis lurus yang masih bisa dinampakkan di sini, orang – orang akan
memiliki konsepsi yang beda dalam menghadapi kebangkitan. Dengan pola
pencicilan akan ada berjuta persepsi yang hadir. Mulai dengan senang hati
karena merasa diperingan, ada yang bersuara keberatan karena kalau bisa nanti
kenapa harus sekarang? Dan dengan dalih yang lainnya.
Sedikit
untuk mengurai definisi kebangkitan, yang secara gamblang diketahui oleh banyak
pihak yakni berawal dari kata bangkit dan mendapat awalan ke- dan akhiran –an.
Muncul kemudian dengan kata lengkap berwujud kebangkitan, di mana Kamus Besar
Bahasa Indonesia mendefinisikannya sebagai kebangunan (menjadi sadar) di opsi definisi
pertama kemudian perihal bangkit dari mati sebagi opsi definisi keduanya.
Analisis
Bisikan Sejarah
Notabene,
jika lembaran sejarah perlahan mau mencoba disingkap akan ada penjabaran demi
penjabaran kecil yang meluas menuturkan cerita-cerita perjuangan sampai detik
ini nuansa kebangkitan-kebangkitan itu tetap diperingatkan. Suatu sejarah bukan
untuk dilupa atau hanya sekedar diperingati saja, semacam monumen, misalnya, ia
dibangun dengan satu harapan murni untuk mengenang dan sebagai cambuk
pergerakan dengan semangat awal yang sudah pernah ada dan mereka patrikan.
Dalam bahasan ini tentunya tentang konsep kebangkitan nasional. Di Solo jawa
Tengah, dengan ukuran yang masih cukup megah monumen itu tegak menjulang ke
atas, dilengkapi dengan cerita sejarah berikhtiarnya seorang Soetomo untuk
mendirikan pagar perjuangan yang mengajak kawanan yang kian waktu kian merasa terjajah
dan tertindas dengan satu wadah bernama Boedi Oetomo pada tahun 1908, dituruti
jejaknya oleh nuansa dan cerita politik yang belum tercover dalam wadah
tersebut dengan berdirinya partai politik pertama yang bernama Indische Partij serta berlanjut pada
tahun yang sama Haji Samanhudi dengan SDI (Sarekat Dagang Islam), diikuti oleh
Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan serta Dwijo Sewoyo bersama
rekanannya mendirikan Asuransi Jiwa. Luar biasa, memang tahun yang mengajarkan
kata bangkit dan terpuruk. Bangkit dari keterpurukan.
Inti
dari bisikan sejarah masih ada pada satu kata ‘mereka tidak betah dengan
keadaan yang ada’. Sehingga bisa tersaji satu benang merah di sini, jika
masyarakat ingin diajak bangkit maka salah satu jalannya yakni dengan
memberikan mereka bisikan-bisikan realita yang disandingkan dengan sejarah masa
lampau, agar mereka menganalisa sampai kemudian memiliki satu kepemahaman yang
mengantarkan pada taraf kesadaran. Dengan demikian akan hadir sebuah iktikad
yang semakin bertambahnya waktu akan semakin bertambah kuat jalaran semangat (ghirahnya) untuk berdiri. Lantas,
berbekallah hikmah dari sejarah.
Eskalator
Kebangkitan
Sepanjang
hayat, cerita hanya akan sekedar menjadi cerita jika tanpa pendistribusian
bara-bara perjuangan gagasan pokoknya. Hanya sekedar dongeng jika tidak ada
penghayatan di dalamnya dan hanya akan jadi sekedar lelucon dalam banyolannya.
Tragis, jika wacana perjuangan sejarah menjadi sebuah cerita – novel – maupun
fiksi belaka. Ambil intisari untuk bekal perjalanan.
Kalau
teori dalam pelajaran Ilmu Alam di Sekolah Dasar biasanya dipaparkan dengan
detail bahwa dengan adanya teknologi memiliki beberapa tujuan di antaranya
adalah sebagai alat untuk memudahkan aktivitas, meringankan dan mengurangi
pengeluaran waktu, tenaga atau bahkan biaya. Singkatnya dengan teknologi
segalanya akan lebih efisien dan tidak dipungkiri akan bisa efektif
terjalankan. Demikian dalam ranah kenasionalan ini, nampaknya memang dengan
segera kita berdayakan sistem sumber yang ada. Sudah sekian lama kita mengenal adanya
tangga berjalan (eskalator), yang mana ia tersusun atas anak tangga-anak tangga
yang berderet dan dengan ritme pasti ia terus berputar membawa penumpang yang
minta diantar ke lantai atas ataupun lantai bawah. Analogi yang sama dalam kebangkitan,
masih terarah pada proses perbaikan di mana kebangkitan dituntut untuk terus
bergerak maka dengan menggunakan eskalator kebangkitan akan muncul gerak-gerak
masiv pembaharuan. Tidak akan terhenti dalam beroperasi, ia akan tetap sempurna
dalam keberfungsiannya. Meskipun ia tergerakkan karena listrik, jika listrik
padam masih ada kegunaannya dengan jalan meniti anak tangga demi anak tangga
dengan berjalan. Entah dalam kondisi yang seperti apapun kebangkitan akan tetap
berjalan.
Semangat
menggembara, tuntaskan perjuangan dan kembalikan kemenangan dengan sebuah
langkah awal berupa ‘pinangan kebangkitan’. Meng-kredit untuk me-lunaskan.
Label:
OPINI